Meski bukan kalangan akademisi, saya kerap mendengar cerita kawan2 di bidang akademi yg waktunya tersita banyak utk mengurusi rutinitas yang tidak menghasilkan kebaruan, juga relasi hierarkis yang bikin mereka kurang mantap utk melakukan terobosan. Dugaan saya, ekosistemnya memang cukup mendukung kita utk berada dalam tempurung yg itu-itu saja. Tapi sekali lagi, ini sekadar dugaan orang awam
Iya, orang kita lebih menghargai praktek dibanding teori. Lebih menghargai pertumbuhan ekonomi daripada penelitian ilmiah. Pokoknya yg menghasilkan uang lebih dihargai. Anak SMK meremehkan anak SMA karena mereka bisa langsung kerja, menganggap anak SMA bisa apa? Perusahaan lebih suka merekrut lulusan teknik yg lebih praktis applicable daripada lulusan sains murni. Apalagi lulusan soshum yg ngga berkorelasi langsung dengan profit, makin ngga dianggap. hahaha
Benar, saya memiliki kerabat yang merupakan seorang akademisi. Mengurus administrasi terkait profesi dengan birokrasi yang entah.siapa.yang.membuat.kenapa.bisa.serumit.ini terkadang membuat kerabat saya mengeluh dan merasa apa yang dilakukannya tidak sejalan dengan titel awalnya yakni 'akademisi'.
Wah, konten ini menjawab keresahan saya juga. Ada semacam "imperialisme pengetahuan" yg terpelihara dalam dunia riset di kampus2. Seperti halnya ekonomi, kita hanya menjadi negara penghasil bahan mentah dan konsumen. Org2 Indonesia kok bangga sekali mengenakan produk2 luar yg branded dan mahal2. Bahkan mereka bisa berhimpun dlm komunitas2 brand yg sama itu dan merayakannya (reifikasi). Wah sedih sekali
Saya pernah baca komentar Jonathan Barnes kalau dulu Aristoteles juga dalam ilmu biologi melakukan yang mirip dengan yang dipaparkan, yaitu menugaskan para muridnya mengumpulkan banyak data lapangan melalui berbagai observasi untuk kemudian dia rangkum ke dalam tulisan (kalau nggak salah De Anima) yang ujung2nya bermuara ke metafisika. Tapi memang lebih sulit kelihatannya untuk bergerak dari yang praxis menuju theoria secara umum. Masalahnya ini lebih ke upaya filosofis, bahwa butuh lebih dari kecerdasan biasa untuk bisa melakukannya. Kontemplasi atau “seeing” (theoria) yang dimiliki para filsuf diperlukan alih2 hanya berpikir di ranah praxis atau konkret-partikular. Dan tidak semua yang belajar ilmu2 sosial tampaknya cukup “menggemari” kegiatan berfilsafat (dalam arti berfilsafat secara intens). Dan lagi, kelihatannya keberadaan teori atau theoretical framework lain sebagai perbandingan tetap tak terelakkan dibutuhkan kalaupun akan mengupayakan teori baru supaya ada kesinambungan penalaran induksi dan deduksi. Bagaimana kira2 menurut Bung Martin?
Tidak terlepas dari arus perkembangan jaman. Sangat banyak (anak muda) yang ber-westernisasi atau pembarat-baratan demi terpenuhinya hasrat kepuasan duniawi/material. Tentunya ini penyebab paling mutlak mengapa ilmu sosial-budaya sulit berkembang di Indonesia.
Iya, orang kita lebih menghargai praktek dibanding teori. Lebih menghargai pertumbuhan ekonomi daripada penelitian ilmiah. Pokoknya yg menghasilkan uang lebih dihargai. Anak SMK meremehkan anak SMA karena mereka bisa langsung kerja, menganggap anak SMA bisa apa? Perusahaan lebih suka merekrut lulusan teknik yg lebih praktis applicable daripada lulusan sains murni. Apalagi lulusan soshum yg ngga berkorelasi langsung dengan profit (mis. sosiologi, antropologi, sastra, filsafat :v), makin ngga dianggap. hahaha kalau berteori takut bertentengan dengan hukum agama, makanya dahlah wkwkwkkk
@@Ger4rds tidak bisa menyalahkan generasi kita juga, toh generasi sekarang merupakan didikan generasi yang lalu. Itu berarti orang tua kita gagal dalam menyalurukan nilai sosial-budaya leluhur, pondasi yang dimiliki kurang kuat sehingga tergerus teknologi dan aliran informasi yang sangat cepat.
@@Kirana125 Praktek aja juga masih gak becus, industri pengolahan minyak dan bahan baku aja masih bergantung ke Singapura dan China. Engineer di indo walaupun terdengarnya lebih prestijius drpd Sains murni tetap saja yang masuk ke industri yg sesuai itu gak banyak. Bahkan, banyak FG Teknik Kimia dan Industri yang kerja di bank.
Pencerahan edukatif yg luar biasa, saya setuju Kak kita harus mampu mendobrak ketertindasan kita oleh dunia pertama. Kita harus berani untuk melakukan inovasi dalam perkembangan sosial budaya kita
"Enlightenment is man's emergence from his self-incurred immaturity" -Immanuel Kant- Mungkin lotere sejarah turut andil menjadikan peradaban Barat memiliki sifat-sifat archetypal seorang saintis: rasional, induktif, kritis, mampu mengambil jarak dari laku (yang cenderung menjadi kebiasaan sehingga taken for granted), penasaran, mudah terpukau, otonom, dll. Kalau sasarannya adalah berkembangnya keilmuan kita di taraf kemandirian dalam produksi teori mungkin terbangunnya sifat-sifat di atas tadi yang mustinya dijadikan sasaran pendidikan formal kita. Lingkungan pendidikan non-formal, seperti keluarga tentu juga musti mendukung supaya kita bisa terlepas dari mentalitas client-patron. Alih-alih membanjiri peserta didik dengan data (yang justru merupakan suatu hal yang manusia sekarang tidak kekurangan, malah kelebihan) dan "force-feeding" mereka dengan off-the-shelf theoretical frameworks kurikulum pendidikan kita musti dirancang untuk memanusiakan manusia, yang tentunya juga berarti mendewasakan (mencapai potensi optimalnya).
Kalau boleh jujur, metode 'menteorikan praktik' seperti kasus Mbah Mujahir saja sulit untuk diterima dalam sistem akademik kita saat ini karena banyak hal yang membatasinya. Untuk bisa transformasi mindset penelitian di Indonesia saat ini (tidak sebatas sosial-budaya) hanya ada 2 kemungkinan : Sistemnya yang harus dirombak total, atau peneliti kita yang harus inisiatif merubah mindset itu. Terima kasih banyak pencerahannya.... 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Bukan mahasiswanya, mungkin ya. Dosen dan kampusnya terlampau luar biasa cerdasnya. Sehingga kecerdasan mereka hanya berguna di luar Indonesia saja mungkin ya. Atau, dalam bahasa yg paling halus, kecerdasan kampus dan para dosen Indonesia ya kurang banyak gunanya. -- Hasilnya, mahasiswanya banyak banget yg nalarnya luar biasa amboi kecenya 😬
@@yuniwati9369 justru mahasiswa bisa menjadi "dirinya" apabila menjadi sesuatu yang kadang melenceng dari jurusannya. ini adalah PR akademisi dimana tidak mengemas suatu bibit perkembangan ilmu pengetahuan secara menarik sehingga mahasiswa tidak fokus pada jurusannya.
Ketika menyangkut hal teoritis akademisi kita terbagi dua; ada yang merasa itu tidak penting, ada yang merasa itu sangat penting. Masalahnya keduanya akan sama di akhir, kelompok "tidak penting" akan jadi pengikut teori (metode dan paradigma) yang disetujui di lembaganya tanpa punya hasrat untuk benar-benar memahaminya (yang penting penelitian kelar sesuai keinginan para petinggi hirarki validasi akademik), sementara kelompok "penting" hanyalah orang-orang fanatik terhadap teori (dari pemikir/segolongan cara berpikir) dan sering terjebak menjadi merasa paling benar dalam memahami teori itu (kemungkinan demi dianggap jadi expert), tapi tidak mau membuat pemikirannya (teorinya) sendiri karena merasa apa yang diexpertkannya saat ini sudah valid tanpa ruang diskusi lagi (matinya ijtihad). Keduanya kalo dalam istilah Fiqih; Taqlid.
Akhirnya saya yang tidak mampu menarasikan apa yang saya rasakan, dapat dinarasikan oleh Bang Martin. Iyak betul, kita hanya dijadikan kuli data, sebagai contoh, Bank Dunia membiayai sebuah survey ekonomi rumah tangga di Indonesia, datanya diberikan ke mereka, yah memang ada keuntungan finansial yang didapat, tapi kita hanya menjadi mengirim data tanpa membuat suatu teori.
Faktanya bangsa ini memang pandai berolah Rasa tapi kurang Pandai dalam berolah pikir. Itu terbukti dengan banyaknya ritus" Kebudayaan, sperti tari-tarian monument dsb, yang memang itu menjadi karakter Bangsa ini. Namun memang Fakta bahwa kita sulit mentransformasi nilai" Itu menjadi semacam pikiran atau dirumuskan menjadi semacam teori baru untuk dipelajari. Makanya bangsa ini memang kesulitan dalam hal merumuskan apapun sampai sekarang dan bahkan sering tidak kena misalnya dlam hal politik dsb, karena memang kita mengimpor pikiran" Yg cendrung tidak sesuai untuk diaplikasikan ke karakter bangsa ini. Makanya sampai sekrang kita kebingungan mau dibawa kemana fokus pembangunannya, dan akhirnya kita tetap menjadi alat atau objek jajahan secara eksploitasi alam sampai saat ini. Karena kita sibuk mengimpor pikiran dan mungkin tidak ada produksi pikiran. #asumsi saya
ada hubungannya dengan kualitas penelitian mahasiswa di indonesia yang dimana dari suatu alumni yang berani mengambil judul baru jumlahnya mungkin kurang dari 5%. sisanya suka dan rasanya mudah untuk sekedar melanjutkan penelitian sebelumnya tanpa adanya intensi untuk mengembangkan teori yang ada sehingga konklusinya hanya berdampak secara praktik. Memang cukup untuk manfaat jangka pendek, namun jika ditarik hingga 20 tahun lebih dan teori yang digunakan hanya itu itu saja sedangkan negara lain sudah berkembang jauh. Mungkin ini ada faktor dari kelebihannya lapangan kerja sehingga universitas bukan lagi tempat untuk menuntut ilmu dan mengembangkan pola pikir masyarakat, melainkan hanya sekedar medan untuk menjadi yang paling terang bagi para pencari tenaga kerja, juga menjadi bibit bibit baru yang berkontribusi menambah kesenjangan sosial.
Saya pernah mengalami, satu tim anggota penelitin dengan beberapa dosen. Para dosen sama sekali tidak turun lapangan melakukan kajianatau observasi secara mendalam, bahkan tidak melakukan tulisan secara tuntas, tapi kemudian seakan merekayg dominan sebagai karyanya. Miris sekali.
Saya adalah orang yang lebih sering belajar berbagai hal tentang sains namun saya tidak menutup pemikiran untuk belajar sosial-humaniora. Setelah menonton video ini, saya mendapatkan ilmu baru. Terima kasih bang. Keep it up👍
Karena kita negara kita banyak campur tangan negara lain, kenapa kita tidak menuttup diri dari dunia, kita tidak butuh dunia dunia butuh kita. Salam waras.
Aku juga pernah merasakan hal yg sama saat menyusun skripsi, bahwa saat menyusun skripsi kita terlalu terpaku pada deduktif-isme padahal kita harusnya didorong untuk hal2 yg bersifat induktif-isme
Makasih banyak utk penjelasan yang menarik ini bung. Tetapi, jika diijinkan untuk berpendapat, menurut sy ilmu pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat scr kolektif sebagai akibat dr pergerakan modal dan relasi kekuasaan dalam masyarakat. Dan, karena itu, menurut sy, pembentukan ilmu berorientasi teori itu tak bisa dipisahkan dari modal dan kekuasaan. Jadi, tdk serta merta, seperti yg bung MS, jelaskan bahwa org barat bisa ciptakan teori dan kita hanya mempraktikan teori krn mental inlander kita. Sy kira akumulasi modal dan revolusi sosial yg duluan terjadi di barat membuat mereka lebih maju scr intelektual dari negara2 dunia ketiga. Jika kita lihat dana riset di negara maju hari ini itu jauh lebih besar dr negara2 dunia ketiga. Pertanyaannya, mereka bisa spt itu: mereka punya kapital utk itu. Kapital dr mana, ya dari kapitalisme dan impirialisme. Tapi, juga revolusi sosial di barat, buat masyarakat mereka lebih egaliter: kritik yg jadi bagian ptg dr ilmu pengetahuan itu lebih bisa hidup di barat daripada di negara2 lain, termasuk yg sama2 hari ini punya kemampuan modal yg sama spt Cina misalnya. Dan di barat tidak semua sama, yang hanya akumulasi modal, tnpa revolusi sosial untuk meratakan ketimpangan sosial spt Amerika Serikat itu juga tdk menghasilkan banyak pemikir2 teorikus spt di Prancis dan Jerman misalnya. Ilmuwan2 Amerika yg saya tau banyak yg pragmatis dan tak hasilkan teori walau ada beberapa. Tp krn Amerika punya modal besar, mereka biasa memboyong teoritikus dr Prancis dan Jerman ke Universitas2 ternama di Amerika Serikat. Jadi, singkatnya, menurut sy, suatu masyarakat bisa menghasilkan ilmuwan yg berorientasi teoritis bila ada: akumulasi modal dan pemerataan sosial akibat revolusi sosial. Karena itu, kita tak bisa serta merta spt seruan MS bahwa bangkitkan ilmuwan berorientasi teori tanpa membereskan aspek struktural yg berkaitan dgn modal dan keadilan sosial.
Apakah bukan masalah budget juga y? Untuk mendeskripsikan sesuatu yg partikular, cukup dengan meneliti area yg sempit saja, jadi lebih murah. Sementara untuk membuat teori yg lebih universal, butuh merumuskan dan pembuktian dari banyak data. *Mungkin* orang2 Eropa bisa membuat banyak teori karena mereka punya budaya literatur dan pengarsipan yang kuat dari ratusan tahun yang lalu. Jadi kalau mau buat teori, bahannya sudah banyak tersedia. Sementara kita budaya jaman dulunya lebih banyak ke lisan, jadi kalau mau mengumpulkan, harus didatangi dulu satu2. Plus kalau mau data modern, minta data dari pemerintah suka tidak mudah, dan kualitasnya sering rendah. Kalau memang benar begitu (cmiiw), mungkin dorongan yg lebih baik itu bukan untuk membuat teori dulu, tapi untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan aksesibilitas pengarsipan data. Karena kalau bahannya belum cukup tapi sudah buat teori, takutnya kualitas teorinya malah tidak bagus.
Yap budget emang jadi masalah yang besar, tapi bukanlah yang terbesar. Masalah terbesar ya pola pikir yang melenceng dan niat yang setengah-setengah. Kebetulan saya menimba ilmu di jurusan antropologi di suatu universitas diluar pulau Jawa, saya cukup lega dan bangga karena sejak saya "ospek" jurusan sudah dididik untuk turun ke lapangan/masyarakat dan membuat sebuah karangan etnografi dari masyarakat tersebut. Beberapa waktu berlalu dan univ saya ada kesempatan untuk studi banding dengan jurusan antropologi salah satu universitas ternama di Jawa, hasilnya mengejutkan, dengan nama besar dan fasilitas yang terkenal lengkap, kegiatan penelitian mereka boleh dibilang mandeg dan "disitu-situ aja" malah lebih membanggakan event-event mereka sendiri. Dari peristiwa itu saya berpikir bahwa dana sebetulnya bukan penghalang terbesar, tapi kemauan, juga niat. Apalah arti sebuah institusi pendidikan tinggi tapi malah mengutamakan event-event dan hura-hura dibanding tujuan awal.
Menurut saya ya karena faktor utama BUDAYA kita yang memang masih dibawah dari BUDAYA negara barat, apakah itu budaya menulis, budaya pengarsipan data, budaya penelitian, budaya atau mental yg suka menerabas, gampangan dll. Sebagai contoh anggaran penelitian apakah di instasi departemen, perguruan tinggi badan negara masih sering digunakan hanya sekedar untuk memenuhi pos anggaran tapi object penelitian itu sendiri belum menjadi yg utama .... kembali ke masalah faktor BUDAYA itu sendiri.
Di sepak bola juga sama. Kita selalu memandang eropa adalah kiblatnya yg paling universal untuk bisa di ambil ke sepak bola kita. Tapi kita tak bisa mmbuat sepak bola kita menjadi kiblat universal. Untuk di partikularkan ke negara" seluruh dunia. Atau liga kita jadi acuan untuk para pemain dtng berlaga di sini.
Bener banget,,Indonesia terlalu mengacu pada teori teori luar dalam hal ekonomi,budaya dsb.. Padahal Secara sosial budaya dan kebiasaan" masyarakat sangat sangat berbeda jauh dengan negara dunia pertama..
1 informan memberitakan 1 titik -> 100 informan memberitakan 100 titik-> lalu si tukang menyimpulkan tersebutlah yang menyambungkan 100 titik tersebut menjadi sebuah produk baru, yakni: 'cara pandang universal' (paradigma)-> dimana 1 paradigma tersebut bisa digunakan untuk memahami 100 titik baru yang datang dari 100 informan baru. wallahua'lam.
Suatu kebaruan yg di private, Itu lah yg terjadi di jaman sekarang. Seperti contohnya benih tumbuhan/ternak yg unggul buatan lokal eh malah di palsukan para oknum demi "in money we trust"
Atau bisa jadi jual label, kecap nomor satu istilahnya. Kualitas dianggap terbaik karena dikatakan terbaik, Persepsi orang yang mengkotak-kotakkan pengetahuan membatasi diri dengan kalimat "bukan ahlinya".
Indonesia telalu "surplus" budaya yg tdk terkonsen pada satu wilayah, ini menimbulkan diatraksi ketika sosialnya terkungkung pada satu media (informasi digital) yg penggunanya heterogen namun keinginan sosialnya mengarah pada satu "tradisi algoritmik". Mendefinisi perkembangan suatu Budaya yg baru muncul dari tradisi yg mirip "citayem" berlandaskan sosial masyarakat komunal di dunia digital, namun ketika suatu komunitas sosial "usang" menolak praktik baru dalam berbudaya tanpa mau masuk membaur maka budaya lokalitas tersebut mengalami stagnasi atau tak berani bertanding dalam ranah sosial yg realitasnya berbeda-beda.
Karena tidak ada bukti nyata penggunannya di kehidupan sehari-hari semenjak menyebarnya Islam yang membawa beberapa kebudayaan Arab dan penggunaan aksara latin dalam bahasa nasional Indonesia.
Nama: Adinda Fairuz Kelas: XII IPS 2 Absen: 1 Menurut saya perkembangan sosial dan budaya di indonesia sudah mulai banya perubahan. Banyaknya perubahan yang dialami indonesia ini bisa juga disebabkan akibat dari efek globalisasi.
Stuju kak..... Kebanyakan dri kita pnlitian sebatas bangga mencocokan teori2 luar dan d cetak dalam suatu buku tebal. Tapi kita lupa. Membuat sesuatu kontribusi yang bermanfaat dan nyata bagi orang banyak. Lebih dri skedar teori.... Klo bangga dengan teori nenek salto juga bisa baca dri google ya kak...
Sering ikut kuliah profesor dan doktor tapi blm ada yg punya pemahaman seperti ini. Umumnya mereka percaya teori2 besar sdh diakuisisi pemikir barat.kita cuma cari yg remeh temeh.itu juga kebanyakan replikasi alih2 discovery
waaaaa.....salfok kaosnyaaaaa Ko......he he ......btw, xie xie ya, ulasannya mantep. kutunggu selanjutnya selanjutnya selanjutnya. Tetap sehat dan salam waras
Kalo dari segi politik, bisa ga suatu bangsa membuat negeri seperti ini; Negeri dibagi dua, yang satu memuat para kaum intelektual, yang sebagian lagi memuat para kaum biasa. Yang kaum biasa membuat partikular, yang kaum intelektual membuat universal. Begitu seterusnya diputar. Dengan begitu mungkin negara tersebut bisa menjadi negara yang "menjajah" sekaligus "dijajah", dan mungkin akan bisa mendorong dari segi ekonomi bahkan pendidikan. Tapi kemungkinan akan terjadi rasisme atau semacamnya, namun hal ini bisa diminimalisir dengan hukum yang membuat jera dan tak tebang pilih.
Mau ikut mengeluh tapi sayakan anak Sastra Inggris, jadi wajar kalau berkiblat pada barat. Namun melihat beberapa penelitian dosen. Memang bener sih suka pakai teori barat untuk membuktikan sesuatu di negeri ini.
Ini salah semua pihak yg terkait. Salah mahasiswa karena tidak kreatif, tapi juga salah dosen karena melarang kreativitas tersebut. Pas mau berteori, eh ndak boleh soalnya mesti pake teori anu atau teori ono. Mahasiswa diremehkan karena dianggap masih belum dewasa secara keilmuan. Terakhir, ini juga salah kampus karena membatasi KKN (Kuliah Kerja Nyata) hanya untuk bberapa jurusan tertentu aja.
Sebenarnya bukannya tidak boleh berteori, tetapi kadangkala orang-orang berteori tanpa didukung oleh data / bukti. Namun ketika data / buktinya ditanyakan dan tidak bisa dijawab, orang tersebut malah merasa dilarang berteori dan merasa harus pakai teori X atau Y, padahal sebenarnya yang diminta adalah data / bukti.
@@GarvinGoeiPsikologi Terima kasih saudara karena sudah menambahkan. Berarti antara mahasiswa & dosen kudu ada sinergi. Dosen membuka kesempatan yg luas bagi mahasiswa untuk berteori, sedangkan mahasiswa harus bisa memberikan data/bukti pertanggungjawaban atas teorinya itu.
@@wibuhakase3522 betul sekali. Karena sewaktu saya masih mahasiswa, saya juga banyak mencoba mengungkapkan pikiran saya, ketika saya bisa menyampaikan pemikiran saya dengan dukungan bukti / data, dosen saya mau mendengarkan bahkan mempertimbangkannya. Tetapi saya mengamati teman2 saya yang ditolak pemikiran2nya, cenderung hanya berteori tanpa ada dasar / bukti / data, sehingga terkesan kurang valid dan akhirnya ditolak oleh dosen. Dan saat itu juga saya melihat rekan2 mahasiswa saya marah di belakang dengan berkata "dosen terlalu textbook, kita gk boleh berpikir secara terbuka". Padahal sebenarnya bukan itu masalahnya, mereka hanya kurang bisa menyajikan data atau bukti sebagai pendukung argumen / teori / pemikiran mereka.
Kayaknya yg boleh berteori itu disertasi S3, kalau level S1 ya sekedar karya ilmiah yg sifatnya deskriptif. Makanya mahasiswa S1 disuruh baca banyak jurnal, bikin paper jg harus mengutip, mau berteori takutnya sudah ada yg berteori sama sebelumnya. Mau berteori kan juga harus dibuktikan dg percobaan/menguji hipotesis yg mungkin butuh resources yg ga murah, apa sanggup? Apa worth it cm buat dapet gelar sarjana? Perbanyak bikin paper deskriptif sampai jumlah & kualitas tertentu sampai dianggap layak berteori. Jika kamu punya teori/gagasan baru, ya udah lanjut kuliah S3. Kalo ngga teorimu itu cuma sekedar jadi bahan obrolan tongkrongan/komen youtube.
@@Kirana125 betul, harusnya step2nya seperti itu. Tetapi banyak yang hanya mau berteori tanpa membaca, mengumpulkan bukti melalui prosedur ilmiah, dan berpikir. Jadilah teori2nya ngawur, lalu kalau diberi tahu malah merasa yg menegur sedang menghalang2i pemikirannya. Padahal bukan seperti itu.
Dosen mk metodologi penelitian, prodi saya pernah mengatakan berkaitan dengan metode penelitian grounded theory yg hasil dari metode ini adalah sebuah teori. Di Indonesia untuk mahasiswa S2 aja jarang menggunakan metode ini apa lagi mahasiswa S1. Mungkin ada yg menggunakan tapi hanya sedikit. Itulah kenapa teori banyak dihasilkan oleh para expert luar negeri. Saya tidak tau apakah itu benar atau tidak. Tapi itulah yang dosen saya katakan. Jika saya salah, CMIIW). Saya setuju bahwa penelitian" sosial budaya biasanya lebih banyak mempraktikan teori bukan menteorikan praktik.
Mungkin mas Martin bermaksud supaya para akademisi membuat teori baru yg sesuai dengan keadaan sekitar dan tidak mengimpor teori dari luar. Tapi menurut saya, bukankah ilmu pengetahuan itu bersifat universal (sampai ditemukan teori baru). Jadi, bukankah tidak masalah jikalau kita mengimpor pengetahuan dari luar juga.
mending skeptisisme aja dulu ah menjauhi hiruk pikuk kebingungan publik terutama kpd pemegang tampuk kekuasaan yg tak lagi mendengar jeritan jeritan nestapa mulut yg menganga lebar menunggu suapan nasi oleh rakyat jelata...bukannya g peduli tp sy bisa apa dengan keadaan ini saya bukan penguasa apa lagi sampe berkuasa..paling tidak selalu ada harapan di balik kepupusan harapan drpada daripada mending lebih baik lebih baik...ah..jaman memang makin sulit..skeptis aja ah..bukannya tidak peduli tapi aku bisa apa selain mendoakan yg terbaik bagi bangsa ini semoga cepat pulih dan kalian semua bisa punya uang lagi untk menghadapi dunia yg mestinya tidak abu abu ini..ya aku bisa apa
kontradiktif, bilang skeptis tapi masih berdoa. kalau masih percaya tuhan ya harus optimistis lah, gimana sih? wkwkwkkk
lagian siapa suruh hidup. life suck. lihat betapa buruknya dampak overpolulasi. perubahan iklim aja bikin negara eropa porak poranda kena badai. hidup manusia itu membawa konsekuensi thd kerusakan alam, ujung2nya hidup manusia jg yg susah. kena pandemi aja kalang kabut.
bisa apa? ya selamatkan diri kita masing-masing aja
@@Kirana125 : kan sy bilang skeptis...bukan pesimis...paling tidk sy masih bisa berdoa bukan pesimis..lu paham g sih pesimisme dan skeptisisme...ya udah terserah...sy mau tidur dlu ya..oh iya tolong bangunin sy klo negara ini sudah makmur dan sejahtera ya.ok.by
Sulit rasanya-bukan berarti tidak bisa-mengubah sesuatu yang sudah mengakar. Biarpun berhasil, kemungkinan bekasnya tetap ada. Memang kejam imperialisme, peninggalan2nya masih mekar terawat di tanah pertiwi
gimana mau maju, kuliah cuma jadi ajang pencarian title doang dan berakhir dengan jokian skripsi. padahal skripsi itu penelitian yang harusnya memajukan ilmu pengetahuan. bayangkan berapa jumlah masyarakat indonesia yang mengerjakan penelitian skripsi dan itu hanya menjadi sampah pada akhirnya
tapi terlepas dari teori nya dari luar atau dari dalam, teori tersebut kalau works memodelkan fenomena tertentu mau dimanapun, maka ya teori nya bisa dianggap "works". ga ada relevansinya mau dari luar atau dalam.
berarti kita seolah olah langsung menggunakan postulat versi kita tanpa pakem teori tersebut ya? Semisal teori barat itu ada yang cocok, langsung kita jadikan sampingan sebagai pegangan agar tidak terlalu melebar? Tapi ini sudah dalam lingkup disertasi atau justru sejak skripsi atau bebas?
Meski bukan kalangan akademisi, saya kerap mendengar cerita kawan2 di bidang akademi yg waktunya tersita banyak utk mengurusi rutinitas yang tidak menghasilkan kebaruan, juga relasi hierarkis yang bikin mereka kurang mantap utk melakukan terobosan. Dugaan saya, ekosistemnya memang cukup mendukung kita utk berada dalam tempurung yg itu-itu saja. Tapi sekali lagi, ini sekadar dugaan orang awam
Iya, orang kita lebih menghargai praktek dibanding teori. Lebih menghargai pertumbuhan ekonomi daripada penelitian ilmiah. Pokoknya yg menghasilkan uang lebih dihargai. Anak SMK meremehkan anak SMA karena mereka bisa langsung kerja, menganggap anak SMA bisa apa? Perusahaan lebih suka merekrut lulusan teknik yg lebih praktis applicable daripada lulusan sains murni. Apalagi lulusan soshum yg ngga berkorelasi langsung dengan profit, makin ngga dianggap. hahaha
Benar, saya memiliki kerabat yang merupakan seorang akademisi. Mengurus administrasi terkait profesi dengan birokrasi yang entah.siapa.yang.membuat.kenapa.bisa.serumit.ini terkadang membuat kerabat saya mengeluh dan merasa apa yang dilakukannya tidak sejalan dengan titel awalnya yakni 'akademisi'.
Mantap!
Maka dari itu saya berhenti kuliah 😅😂
Misalnya sekolah ya?
Kondisi ini diperparah dengan hegemoni bahasa Inggris dan formalisasi ranking publikasi ilmiah dalam reproduksi ilmu pengetahuan kita.
Wah, konten ini menjawab keresahan saya juga. Ada semacam "imperialisme pengetahuan" yg terpelihara dalam dunia riset di kampus2. Seperti halnya ekonomi, kita hanya menjadi negara penghasil bahan mentah dan konsumen. Org2 Indonesia kok bangga sekali mengenakan produk2 luar yg branded dan mahal2. Bahkan mereka bisa berhimpun dlm komunitas2 brand yg sama itu dan merayakannya (reifikasi). Wah sedih sekali
Saya pernah baca komentar Jonathan Barnes kalau dulu Aristoteles juga dalam ilmu biologi melakukan yang mirip dengan yang dipaparkan, yaitu menugaskan para muridnya mengumpulkan banyak data lapangan melalui berbagai observasi untuk kemudian dia rangkum ke dalam tulisan (kalau nggak salah De Anima) yang ujung2nya bermuara ke metafisika.
Tapi memang lebih sulit kelihatannya untuk bergerak dari yang praxis menuju theoria secara umum. Masalahnya ini lebih ke upaya filosofis, bahwa butuh lebih dari kecerdasan biasa untuk bisa melakukannya. Kontemplasi atau “seeing” (theoria) yang dimiliki para filsuf diperlukan alih2 hanya berpikir di ranah praxis atau konkret-partikular. Dan tidak semua yang belajar ilmu2 sosial tampaknya cukup “menggemari” kegiatan berfilsafat (dalam arti berfilsafat secara intens).
Dan lagi, kelihatannya keberadaan teori atau theoretical framework lain sebagai perbandingan tetap tak terelakkan dibutuhkan kalaupun akan mengupayakan teori baru supaya ada kesinambungan penalaran induksi dan deduksi. Bagaimana kira2 menurut Bung Martin?
Tulisan dikaosnya,
"Filsafat Kontinental"
Udah mau suudzon tapi ga jadi setelah baca komen ini
Ya lah
Tidak terlepas dari arus perkembangan jaman. Sangat banyak (anak muda) yang ber-westernisasi atau pembarat-baratan demi terpenuhinya hasrat kepuasan duniawi/material. Tentunya ini penyebab paling mutlak mengapa ilmu sosial-budaya sulit berkembang di Indonesia.
Klo gak ke barat an ya ke arab an , wong jowo lali jawa ne.
Iya, orang kita lebih menghargai praktek dibanding teori. Lebih menghargai pertumbuhan ekonomi daripada penelitian ilmiah. Pokoknya yg menghasilkan uang lebih dihargai. Anak SMK meremehkan anak SMA karena mereka bisa langsung kerja, menganggap anak SMA bisa apa? Perusahaan lebih suka merekrut lulusan teknik yg lebih praktis applicable daripada lulusan sains murni. Apalagi lulusan soshum yg ngga berkorelasi langsung dengan profit (mis. sosiologi, antropologi, sastra, filsafat :v), makin ngga dianggap. hahaha
kalau berteori takut bertentengan dengan hukum agama, makanya dahlah wkwkwkkk
@@Ger4rds tidak bisa menyalahkan generasi kita juga, toh generasi sekarang merupakan didikan generasi yang lalu. Itu berarti orang tua kita gagal dalam menyalurukan nilai sosial-budaya leluhur, pondasi yang dimiliki kurang kuat sehingga tergerus teknologi dan aliran informasi yang sangat cepat.
@@Kirana125 Praktek aja juga masih gak becus, industri pengolahan minyak dan bahan baku aja masih bergantung ke Singapura dan China. Engineer di indo walaupun terdengarnya lebih prestijius drpd Sains murni tetap saja yang masuk ke industri yg sesuai itu gak banyak. Bahkan, banyak FG Teknik Kimia dan Industri yang kerja di bank.
@@Ger4rds lah wong jowo ilang jowone dulu itu disebutkan ketika orang jawa yang hilang keislamannya
Masyarakat kita takut (minder) dan kurang berpikir keras (tidak kreatif) dalam menghasilkan teori sosial.
Parameternya apa kalau minder? Wong pada kelewat pd semua 🤣🤣
Iya sih cenderung ke buat hoaxs bukan teori
@@user-lr6hw4dq4t mindernya keluar golongan, tapi kalo di dalam golongan (negara) kurang ajar banget. Budaya KNIL masih ada
bukan tapi memang ga ada budaya berpikir dan berteori di dalam sosial budaya Indonesia, semua asal manut dan ikut2an aja
bukan minder, kurang baca saja....literasi orng kita tidak mendalam dan meluas. Aneh saya dengan kata-kata "minder". Apaan tuh minder
Pencerahan edukatif yg luar biasa, saya setuju Kak kita harus mampu mendobrak ketertindasan kita oleh dunia pertama. Kita harus berani untuk melakukan inovasi dalam perkembangan sosial budaya kita
"Enlightenment is man's emergence from his self-incurred immaturity" -Immanuel Kant-
Mungkin lotere sejarah turut andil menjadikan peradaban Barat memiliki sifat-sifat archetypal seorang saintis: rasional, induktif, kritis, mampu mengambil jarak dari laku (yang cenderung menjadi kebiasaan sehingga taken for granted), penasaran, mudah terpukau, otonom, dll.
Kalau sasarannya adalah berkembangnya keilmuan kita di taraf kemandirian dalam produksi teori mungkin terbangunnya sifat-sifat di atas tadi yang mustinya dijadikan sasaran pendidikan formal kita. Lingkungan pendidikan non-formal, seperti keluarga tentu juga musti mendukung supaya kita bisa terlepas dari mentalitas client-patron.
Alih-alih membanjiri peserta didik dengan data (yang justru merupakan suatu hal yang manusia sekarang tidak kekurangan, malah kelebihan) dan "force-feeding" mereka dengan off-the-shelf theoretical frameworks kurikulum pendidikan kita musti dirancang untuk memanusiakan manusia, yang tentunya juga berarti mendewasakan (mencapai potensi optimalnya).
Kalau boleh jujur, metode 'menteorikan praktik' seperti kasus Mbah Mujahir saja sulit untuk diterima dalam sistem akademik kita saat ini karena banyak hal yang membatasinya.
Untuk bisa transformasi mindset penelitian di Indonesia saat ini (tidak sebatas sosial-budaya) hanya ada 2 kemungkinan : Sistemnya yang harus dirombak total, atau peneliti kita yang harus inisiatif merubah mindset itu.
Terima kasih banyak pencerahannya.... 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Mahasiswa kita lebih banyak yang tidak fokus studi jurusannya.
Lebih fokus keorganisasi yg melenceng dri jurusan😂😂
Bukan mahasiswanya, mungkin ya.
Dosen dan kampusnya terlampau luar biasa cerdasnya. Sehingga kecerdasan mereka hanya berguna di luar Indonesia saja mungkin ya. Atau, dalam bahasa yg paling halus, kecerdasan kampus dan para dosen Indonesia ya kurang banyak gunanya. -- Hasilnya, mahasiswanya banyak banget yg nalarnya luar biasa amboi kecenya 😬
banyak yang asal milih jurusan bro ,,, asal univ negeri apapun jurusannya gasss.. itu yg menyebabkan salah satunya
@@yuniwati9369 justru mahasiswa bisa menjadi "dirinya" apabila menjadi sesuatu yang kadang melenceng dari jurusannya. ini adalah PR akademisi dimana tidak mengemas suatu bibit perkembangan ilmu pengetahuan secara menarik sehingga mahasiswa tidak fokus pada jurusannya.
Kenapakah dibatasi kefokusannya org?
Ketika menyangkut hal teoritis akademisi kita terbagi dua; ada yang merasa itu tidak penting, ada yang merasa itu sangat penting. Masalahnya keduanya akan sama di akhir, kelompok "tidak penting" akan jadi pengikut teori (metode dan paradigma) yang disetujui di lembaganya tanpa punya hasrat untuk benar-benar memahaminya (yang penting penelitian kelar sesuai keinginan para petinggi hirarki validasi akademik), sementara kelompok "penting" hanyalah orang-orang fanatik terhadap teori (dari pemikir/segolongan cara berpikir) dan sering terjebak menjadi merasa paling benar dalam memahami teori itu (kemungkinan demi dianggap jadi expert), tapi tidak mau membuat pemikirannya (teorinya) sendiri karena merasa apa yang diexpertkannya saat ini sudah valid tanpa ruang diskusi lagi (matinya ijtihad). Keduanya kalo dalam istilah Fiqih; Taqlid.
Jooooos of this my thinks .
Akhirnya saya yang tidak mampu menarasikan apa yang saya rasakan, dapat dinarasikan oleh Bang Martin. Iyak betul, kita hanya dijadikan kuli data, sebagai contoh, Bank Dunia membiayai sebuah survey ekonomi rumah tangga di Indonesia, datanya diberikan ke mereka, yah memang ada keuntungan finansial yang didapat, tapi kita hanya menjadi mengirim data tanpa membuat suatu teori.
Ini bangsa yang sinis terhadap pikiran, lagi bermental praktis..
Kaget...
Baru tahu
/
Ternyata mujaer sehebat itu
🙏🙏🙏
Faktanya bangsa ini memang pandai berolah Rasa tapi kurang Pandai dalam berolah pikir. Itu terbukti dengan banyaknya ritus" Kebudayaan, sperti tari-tarian monument dsb, yang memang itu menjadi karakter Bangsa ini. Namun memang Fakta bahwa kita sulit mentransformasi nilai" Itu menjadi semacam pikiran atau dirumuskan menjadi semacam teori baru untuk dipelajari. Makanya bangsa ini memang kesulitan dalam hal merumuskan apapun sampai sekarang dan bahkan sering tidak kena misalnya dlam hal politik dsb, karena memang kita mengimpor pikiran" Yg cendrung tidak sesuai untuk diaplikasikan ke karakter bangsa ini. Makanya sampai sekrang kita kebingungan mau dibawa kemana fokus pembangunannya, dan akhirnya kita tetap menjadi alat atau objek jajahan secara eksploitasi alam sampai saat ini. Karena kita sibuk mengimpor pikiran dan mungkin tidak ada produksi pikiran. #asumsi saya
gamblang membahas relasi antara subyek dan obyek kolonial
Keren om, video yang bikin pinter penontonnya 👏👏
Abstrack tak kelihatan liberal itu juga abstrack .. Tindak pikiran juga abstrak ... Good study .
ada hubungannya dengan kualitas penelitian mahasiswa di indonesia yang dimana dari suatu alumni yang berani mengambil judul baru jumlahnya mungkin kurang dari 5%. sisanya suka dan rasanya mudah untuk sekedar melanjutkan penelitian sebelumnya tanpa adanya intensi untuk mengembangkan teori yang ada sehingga konklusinya hanya berdampak secara praktik. Memang cukup untuk manfaat jangka pendek, namun jika ditarik hingga 20 tahun lebih dan teori yang digunakan hanya itu itu saja sedangkan negara lain sudah berkembang jauh. Mungkin ini ada faktor dari kelebihannya lapangan kerja sehingga universitas bukan lagi tempat untuk menuntut ilmu dan mengembangkan pola pikir masyarakat, melainkan hanya sekedar medan untuk menjadi yang paling terang bagi para pencari tenaga kerja, juga menjadi bibit bibit baru yang berkontribusi menambah kesenjangan sosial.
Saatnya merubah pola pikir. Berani kritis itu lebih baik daripada main aman.
menteorikan praktek
Saya pernah mengalami, satu tim anggota penelitin dengan beberapa dosen. Para dosen sama sekali tidak turun lapangan melakukan kajianatau observasi secara mendalam, bahkan tidak melakukan tulisan secara tuntas, tapi kemudian seakan merekayg dominan sebagai karyanya. Miris sekali.
Pembahasan yang menarik, karena saya tidak kepikiran sampai situ
Saya adalah orang yang lebih sering belajar berbagai hal tentang sains namun saya tidak menutup pemikiran untuk belajar sosial-humaniora. Setelah menonton video ini, saya mendapatkan ilmu baru. Terima kasih bang. Keep it up👍
bang martin ikut membangunkan kewaspadaan kebudayaan
Bagaimana caranya menghasilkan teori dari praktik yang ada? Buatkan video mengenai ini, Pak Martin 🙏
Karena kita negara kita banyak campur tangan negara lain, kenapa kita tidak menuttup diri dari dunia, kita tidak butuh dunia dunia butuh kita. Salam waras.
Terimakasih pencerahannya pak Martin 🙏🏻
Aku juga pernah merasakan hal yg sama saat menyusun skripsi, bahwa saat menyusun skripsi kita terlalu terpaku pada deduktif-isme padahal kita harusnya didorong untuk hal2 yg bersifat induktif-isme
Perkembangan harusnya ada ketertarikan publik dan organ organ pendukung yg buat suatu tren.
nice t-shirt Bung @martin
Makasih banyak utk penjelasan yang menarik ini bung. Tetapi, jika diijinkan untuk berpendapat, menurut sy ilmu pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat scr kolektif sebagai akibat dr pergerakan modal dan relasi kekuasaan dalam masyarakat. Dan, karena itu, menurut sy, pembentukan ilmu berorientasi teori itu tak bisa dipisahkan dari modal dan kekuasaan. Jadi, tdk serta merta, seperti yg bung MS, jelaskan bahwa org barat bisa ciptakan teori dan kita hanya mempraktikan teori krn mental inlander kita. Sy kira akumulasi modal dan revolusi sosial yg duluan terjadi di barat membuat mereka lebih maju scr intelektual dari negara2 dunia ketiga. Jika kita lihat dana riset di negara maju hari ini itu jauh lebih besar dr negara2 dunia ketiga. Pertanyaannya, mereka bisa spt itu: mereka punya kapital utk itu. Kapital dr mana, ya dari kapitalisme dan impirialisme. Tapi, juga revolusi sosial di barat, buat masyarakat mereka lebih egaliter: kritik yg jadi bagian ptg dr ilmu pengetahuan itu lebih bisa hidup di barat daripada di negara2 lain, termasuk yg sama2 hari ini punya kemampuan modal yg sama spt Cina misalnya. Dan di barat tidak semua sama, yang hanya akumulasi modal, tnpa revolusi sosial untuk meratakan ketimpangan sosial spt Amerika Serikat itu juga tdk menghasilkan banyak pemikir2 teorikus spt di Prancis dan Jerman misalnya. Ilmuwan2 Amerika yg saya tau banyak yg pragmatis dan tak hasilkan teori walau ada beberapa. Tp krn Amerika punya modal besar, mereka biasa memboyong teoritikus dr Prancis dan Jerman ke Universitas2 ternama di Amerika Serikat. Jadi, singkatnya, menurut sy, suatu masyarakat bisa menghasilkan ilmuwan yg berorientasi teoritis bila ada: akumulasi modal dan pemerataan sosial akibat revolusi sosial. Karena itu, kita tak bisa serta merta spt seruan MS bahwa bangkitkan ilmuwan berorientasi teori tanpa membereskan aspek struktural yg berkaitan dgn modal dan keadilan sosial.
Semoga Ada seorang Filsuf yang Akan mengetuai perubahan Filsafat Indonesia menjadi lebih maju
Dua kali nonton bikin makin tercerahkan.! Aww
hebat kontennya bang
terimakasih kaka martin.
Males mikir, Bung; sibuk menghamba pada kekuasaan, nyari pundi2, ha ha ha ha ha,
Pembahasannya keren, yok akademisi lebih berani yok
Setuju sekali...sy jg heran knp kita suka mengulang2 penelitian yg udh tau kemungkinan jawabannya
Riset sejarah aja gk dihargai kok
Apakah bukan masalah budget juga y? Untuk mendeskripsikan sesuatu yg partikular, cukup dengan meneliti area yg sempit saja, jadi lebih murah. Sementara untuk membuat teori yg lebih universal, butuh merumuskan dan pembuktian dari banyak data.
*Mungkin* orang2 Eropa bisa membuat banyak teori karena mereka punya budaya literatur dan pengarsipan yang kuat dari ratusan tahun yang lalu. Jadi kalau mau buat teori, bahannya sudah banyak tersedia. Sementara kita budaya jaman dulunya lebih banyak ke lisan, jadi kalau mau mengumpulkan, harus didatangi dulu satu2. Plus kalau mau data modern, minta data dari pemerintah suka tidak mudah, dan kualitasnya sering rendah.
Kalau memang benar begitu (cmiiw), mungkin dorongan yg lebih baik itu bukan untuk membuat teori dulu, tapi untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan aksesibilitas pengarsipan data. Karena kalau bahannya belum cukup tapi sudah buat teori, takutnya kualitas teorinya malah tidak bagus.
Anggaran riset kita paling kecil daripada negara lain yg maju.. cuma 0,0 sekian persen
terima kasih! argumen yang menarik.
Yap budget emang jadi masalah yang besar, tapi bukanlah yang terbesar. Masalah terbesar ya pola pikir yang melenceng dan niat yang setengah-setengah. Kebetulan saya menimba ilmu di jurusan antropologi di suatu universitas diluar pulau Jawa, saya cukup lega dan bangga karena sejak saya "ospek" jurusan sudah dididik untuk turun ke lapangan/masyarakat dan membuat sebuah karangan etnografi dari masyarakat tersebut. Beberapa waktu berlalu dan univ saya ada kesempatan untuk studi banding dengan jurusan antropologi salah satu universitas ternama di Jawa, hasilnya mengejutkan, dengan nama besar dan fasilitas yang terkenal lengkap, kegiatan penelitian mereka boleh dibilang mandeg dan "disitu-situ aja" malah lebih membanggakan event-event mereka sendiri. Dari peristiwa itu saya berpikir bahwa dana sebetulnya bukan penghalang terbesar, tapi kemauan, juga niat. Apalah arti sebuah institusi pendidikan tinggi tapi malah mengutamakan event-event dan hura-hura dibanding tujuan awal.
Menurut saya ya karena faktor utama BUDAYA kita yang memang masih dibawah dari BUDAYA negara barat, apakah itu budaya menulis, budaya pengarsipan data, budaya penelitian, budaya atau mental yg suka menerabas, gampangan dll. Sebagai contoh anggaran penelitian apakah di instasi departemen, perguruan tinggi badan negara masih sering digunakan hanya sekedar untuk memenuhi pos anggaran tapi object penelitian itu sendiri belum menjadi yg utama .... kembali ke masalah faktor BUDAYA itu sendiri.
@@samuelraskita4101 argumen yang menarik
Di sepak bola juga sama. Kita selalu memandang eropa adalah kiblatnya yg paling universal untuk bisa di ambil ke sepak bola kita. Tapi kita tak bisa mmbuat sepak bola kita menjadi kiblat universal. Untuk di partikularkan ke negara" seluruh dunia. Atau liga kita jadi acuan untuk para pemain dtng berlaga di sini.
Hah Ha... Ketika Xample.a adalah Dosen & Mahasiswa, tampaknya saya mulai perlu kembali tersenyum, yang untuk di beberapa sisi harus mengangguk... :D
Fokus kajian sosial-budaya diasumsikan kurang memberikan feedback untuk masa depan 😁
Mantap bang
mantaf
Bener banget,,Indonesia terlalu mengacu pada teori teori luar dalam hal ekonomi,budaya dsb..
Padahal Secara sosial budaya dan kebiasaan" masyarakat sangat sangat berbeda jauh dengan negara dunia pertama..
1 informan memberitakan 1 titik ->
100 informan memberitakan 100 titik->
lalu si tukang menyimpulkan tersebutlah yang menyambungkan 100 titik tersebut menjadi sebuah produk baru, yakni:
'cara pandang universal' (paradigma)->
dimana 1 paradigma tersebut bisa digunakan untuk memahami 100 titik baru yang datang dari 100 informan baru.
wallahua'lam.
Pengen bajunya 😍😍
NAH, INI BARU KEREN!
persis diskusi pas jadi mahasiswa dulu
Anjrit bener juga kita tidak diajak membuat terobosan baru tetapi tetap berkutat dengan rumus artikel lama.
Suatu kebaruan yg di private, Itu lah yg terjadi di jaman sekarang. Seperti contohnya benih tumbuhan/ternak yg unggul buatan lokal eh malah di palsukan para oknum demi "in money we trust"
Atau bisa jadi jual label, kecap nomor satu istilahnya. Kualitas dianggap terbaik karena dikatakan terbaik, Persepsi orang yang mengkotak-kotakkan pengetahuan membatasi diri dengan kalimat "bukan ahlinya".
@@willy.asyraf kecap sih langsung ketauan oleh rasa, klw bibit uda besar baru ketauan klw tidak unggul.
Indonesia telalu "surplus" budaya yg tdk terkonsen pada satu wilayah, ini menimbulkan diatraksi ketika sosialnya terkungkung pada satu media (informasi digital) yg penggunanya heterogen namun keinginan sosialnya mengarah pada satu "tradisi algoritmik".
Mendefinisi perkembangan suatu Budaya yg baru muncul dari tradisi yg mirip "citayem" berlandaskan sosial masyarakat komunal di dunia digital, namun ketika suatu komunitas sosial "usang" menolak praktik baru dalam berbudaya tanpa mau masuk membaur maka budaya lokalitas tersebut mengalami stagnasi atau tak berani bertanding dalam ranah sosial yg realitasnya berbeda-beda.
Koasnya demen bang 😂
Kaosnya bagus bang...
Belinya di instagramnya kelasisolasi
Bang podcast nya kapan ...bahasa jawa saat ini banyak terkikis anak jawa banyak yanh tidak bisa nulis dan membaca tuliisan jawa ...tanya kenapa?
Harusnya kamu nulis komen ini dalam bahasa Jawa. Coba tulis ulang. 😀
Karena tidak ada bukti nyata penggunannya di kehidupan sehari-hari semenjak menyebarnya Islam yang membawa beberapa kebudayaan Arab dan penggunaan aksara latin dalam bahasa nasional Indonesia.
Nama: Adinda Fairuz
Kelas: XII IPS 2
Absen: 1
Menurut saya perkembangan sosial dan budaya di indonesia sudah mulai banya perubahan. Banyaknya perubahan yang dialami indonesia ini bisa juga disebabkan akibat dari efek globalisasi.
Stuju kak..... Kebanyakan dri kita pnlitian sebatas bangga mencocokan teori2 luar dan d cetak dalam suatu buku tebal. Tapi kita lupa.
Membuat sesuatu kontribusi yang bermanfaat dan nyata bagi orang banyak. Lebih dri skedar teori....
Klo bangga dengan teori nenek salto juga bisa baca dri google ya kak...
Mas bahas deleuze & guattari dong
galfok sama kaos-nya.... 😬
Kenapa ilmu sosial budaya kita tidak berkembang...? Karena tidak adanya "Dedikasi dan Integritas" dari para ilmuwan sosial budaya kita.
Sering ikut kuliah profesor dan doktor tapi blm ada yg punya pemahaman seperti ini. Umumnya mereka percaya teori2 besar sdh diakuisisi pemikir barat.kita cuma cari yg remeh temeh.itu juga kebanyakan replikasi alih2 discovery
waaaaa.....salfok kaosnyaaaaa Ko......he he ......btw, xie xie ya, ulasannya mantep. kutunggu selanjutnya selanjutnya selanjutnya. Tetap sehat dan salam waras
Mindblown
Kalo dari segi politik, bisa ga suatu bangsa membuat negeri seperti ini;
Negeri dibagi dua, yang satu memuat para kaum intelektual, yang sebagian lagi memuat para kaum biasa. Yang kaum biasa membuat partikular, yang kaum intelektual membuat universal. Begitu seterusnya diputar. Dengan begitu mungkin negara tersebut bisa menjadi negara yang "menjajah" sekaligus "dijajah", dan mungkin akan bisa mendorong dari segi ekonomi bahkan pendidikan.
Tapi kemungkinan akan terjadi rasisme atau semacamnya, namun hal ini bisa diminimalisir dengan hukum yang membuat jera dan tak tebang pilih.
gk bisa bang
gk bgt
Bagaimana kita dapat melakukan penelitian dan merumuskan teori selama ilmu pengetahuan dikotomi dengan halal dan haram atau tidak sesuai syariat
Diakhir video baru sadar, bajunya keren 😂
Thx bang
pendapat lain teori itu hasil menunda reaksi dan diganti dgn menulis
Mau ikut mengeluh tapi sayakan anak Sastra Inggris, jadi wajar kalau berkiblat pada barat. Namun melihat beberapa penelitian dosen. Memang bener sih suka pakai teori barat untuk membuktikan sesuatu di negeri ini.
belum tentu sih. Bagaimana dengan sastra Inggris di Singapura atau India? Mereka bikin karya dalam English sebagai ex bangsa terjajah.
Okay sip
Pantas saja saya telusuri journal ilmiah kita aneh2. Ternyata namanya partikularitas.
Aneh kalo itu disebut kontribusi.
Lhooo.kok.ngak M3rokok Bang.segan ya sama Guru😂😂😂😂.
Kalau dalam dunia psikologi, antara penjajah dan bekas jajahannya bisa dikatakan seperti pengidap stockholm syndrom
Bener juga yah 😀
Stockholm syndrom itu pseudoscience. Yang ngebuat istilah itu pun kriminolog bukan psikolog.
Ini salah semua pihak yg terkait. Salah mahasiswa karena tidak kreatif, tapi juga salah dosen karena melarang kreativitas tersebut. Pas mau berteori, eh ndak boleh soalnya mesti pake teori anu atau teori ono. Mahasiswa diremehkan karena dianggap masih belum dewasa secara keilmuan. Terakhir, ini juga salah kampus karena membatasi KKN (Kuliah Kerja Nyata) hanya untuk bberapa jurusan tertentu aja.
Sebenarnya bukannya tidak boleh berteori, tetapi kadangkala orang-orang berteori tanpa didukung oleh data / bukti. Namun ketika data / buktinya ditanyakan dan tidak bisa dijawab, orang tersebut malah merasa dilarang berteori dan merasa harus pakai teori X atau Y, padahal sebenarnya yang diminta adalah data / bukti.
@@GarvinGoeiPsikologi Terima kasih saudara karena sudah menambahkan. Berarti antara mahasiswa & dosen kudu ada sinergi. Dosen membuka kesempatan yg luas bagi mahasiswa untuk berteori, sedangkan mahasiswa harus bisa memberikan data/bukti pertanggungjawaban atas teorinya itu.
@@wibuhakase3522 betul sekali. Karena sewaktu saya masih mahasiswa, saya juga banyak mencoba mengungkapkan pikiran saya, ketika saya bisa menyampaikan pemikiran saya dengan dukungan bukti / data, dosen saya mau mendengarkan bahkan mempertimbangkannya. Tetapi saya mengamati teman2 saya yang ditolak pemikiran2nya, cenderung hanya berteori tanpa ada dasar / bukti / data, sehingga terkesan kurang valid dan akhirnya ditolak oleh dosen. Dan saat itu juga saya melihat rekan2 mahasiswa saya marah di belakang dengan berkata "dosen terlalu textbook, kita gk boleh berpikir secara terbuka". Padahal sebenarnya bukan itu masalahnya, mereka hanya kurang bisa menyajikan data atau bukti sebagai pendukung argumen / teori / pemikiran mereka.
Kayaknya yg boleh berteori itu disertasi S3, kalau level S1 ya sekedar karya ilmiah yg sifatnya deskriptif. Makanya mahasiswa S1 disuruh baca banyak jurnal, bikin paper jg harus mengutip, mau berteori takutnya sudah ada yg berteori sama sebelumnya.
Mau berteori kan juga harus dibuktikan dg percobaan/menguji hipotesis yg mungkin butuh resources yg ga murah, apa sanggup? Apa worth it cm buat dapet gelar sarjana? Perbanyak bikin paper deskriptif sampai jumlah & kualitas tertentu sampai dianggap layak berteori.
Jika kamu punya teori/gagasan baru, ya udah lanjut kuliah S3. Kalo ngga teorimu itu cuma sekedar jadi bahan obrolan tongkrongan/komen youtube.
@@Kirana125 betul, harusnya step2nya seperti itu. Tetapi banyak yang hanya mau berteori tanpa membaca, mengumpulkan bukti melalui prosedur ilmiah, dan berpikir. Jadilah teori2nya ngawur, lalu kalau diberi tahu malah merasa yg menegur sedang menghalang2i pemikirannya. Padahal bukan seperti itu.
Menyakitkan tapi ini faktanya, negara butuh banyak mengandalkan manusia intelek untuk merubah.
Dosen mk metodologi penelitian, prodi saya pernah mengatakan berkaitan dengan metode penelitian grounded theory yg hasil dari metode ini adalah sebuah teori. Di Indonesia untuk mahasiswa S2 aja jarang menggunakan metode ini apa lagi mahasiswa S1. Mungkin ada yg menggunakan tapi hanya sedikit. Itulah kenapa teori banyak dihasilkan oleh para expert luar negeri. Saya tidak tau apakah itu benar atau tidak. Tapi itulah yang dosen saya katakan. Jika saya salah, CMIIW). Saya setuju bahwa penelitian" sosial budaya biasanya lebih banyak mempraktikan teori bukan menteorikan praktik.
Iya teori substantif bisa dihasilkan dari riset GT, tapi ya sulit lulus tepat waktu 😁
Karena males mikir. period
Karena orde baru
Mungkin mas Martin bermaksud supaya para akademisi membuat teori baru yg sesuai dengan keadaan sekitar dan tidak mengimpor teori dari luar. Tapi menurut saya, bukankah ilmu pengetahuan itu bersifat universal (sampai ditemukan teori baru). Jadi, bukankah tidak masalah jikalau kita mengimpor pengetahuan dari luar juga.
mending skeptisisme aja dulu ah menjauhi hiruk pikuk kebingungan publik terutama kpd pemegang tampuk kekuasaan yg tak lagi mendengar jeritan jeritan nestapa mulut yg menganga lebar menunggu suapan nasi oleh rakyat jelata...bukannya g peduli tp sy bisa apa dengan keadaan ini saya bukan penguasa apa lagi sampe berkuasa..paling tidak selalu ada harapan di balik kepupusan harapan drpada daripada mending lebih baik lebih baik...ah..jaman memang makin sulit..skeptis aja ah..bukannya tidak peduli tapi aku bisa apa selain mendoakan yg terbaik bagi bangsa ini semoga cepat pulih dan kalian semua bisa punya uang lagi untk menghadapi dunia yg mestinya tidak abu abu ini..ya aku bisa apa
kontradiktif, bilang skeptis tapi masih berdoa. kalau masih percaya tuhan ya harus optimistis lah, gimana sih? wkwkwkkk
lagian siapa suruh hidup. life suck. lihat betapa buruknya dampak overpolulasi. perubahan iklim aja bikin negara eropa porak poranda kena badai. hidup manusia itu membawa konsekuensi thd kerusakan alam, ujung2nya hidup manusia jg yg susah. kena pandemi aja kalang kabut.
bisa apa? ya selamatkan diri kita masing-masing aja
@@Kirana125 : kan sy bilang skeptis...bukan pesimis...paling tidk sy masih bisa berdoa bukan pesimis..lu paham g sih pesimisme dan skeptisisme...ya udah terserah...sy mau tidur dlu ya..oh iya tolong bangunin sy klo negara ini sudah makmur dan sejahtera ya.ok.by
@@Kirana125 : ya itu katamu "selamatkan diri masing masing"...ekstrimis individulis sekali anda..ya namanya juga pendapat serah andalah...
, di indonesia kebanyakan justru didominasi ama ilmu sosial. Toh liat ilmuwan indonesia kebanyakan didominasi ama politik...
Sulit rasanya-bukan berarti tidak bisa-mengubah sesuatu yang sudah mengakar. Biarpun berhasil, kemungkinan bekasnya tetap ada. Memang kejam imperialisme, peninggalan2nya masih mekar terawat di tanah pertiwi
Salfok sama t sirt nya bang martin
Bang jika boleh bagi referensi soal ini dong
LANJUT BAHAS POTSMODENISM BG
gimana mau maju, kuliah cuma jadi ajang pencarian title doang dan berakhir dengan jokian skripsi.
padahal skripsi itu penelitian yang harusnya memajukan ilmu pengetahuan.
bayangkan berapa jumlah masyarakat indonesia yang mengerjakan penelitian skripsi dan itu hanya menjadi sampah pada akhirnya
bang, kaosnya beli dimana ?
tapi terlepas dari teori nya dari luar atau dari dalam, teori tersebut kalau works memodelkan fenomena tertentu mau dimanapun, maka ya teori nya bisa dianggap "works". ga ada relevansinya mau dari luar atau dalam.
Nying...😁 KAOS NYA
Untuk mengahsilkan "Teori Baru", bisakah riset dilakukan tanpa landasan Teori.
berarti kita seolah olah langsung menggunakan postulat versi kita tanpa pakem teori tersebut ya?
Semisal teori barat itu ada yang cocok, langsung kita jadikan sampingan sebagai pegangan agar tidak terlalu melebar?
Tapi ini sudah dalam lingkup disertasi atau justru sejak skripsi atau bebas?
bajunya asik tin 🤣🤣
Untuk belajar atau menggali sebuah artefak kebudayaan. kita harus mulai dari mana ya?
Anthropology
Belum nyimak. Tpi sdh sya simpan vdeonya. Sya fokus sma bjunnya bung ? Bisa order 🙏🏾
Ada di instagram @keosmologi bung
@@muhammadfarizardanfitrians5605 siap trimakasih
kita masih masih mahasiswa...mereka yg dosennya. Jadi gmana kita seharusnya Bang?
Bagus bajunya Bang 😂