Mempertanyakan Di Mana Allah? - Pelajaran Aqidah Bag. 2... ᴴᴰ | Tgk. Amri Fatmi Anziz, MA

แชร์
ฝัง
  • เผยแพร่เมื่อ 1 ต.ค. 2024
  • Animasi Oleh KMA.TV Crew : / ariadliansyah
    Thumbnail Oleh KMA.TV Crew : / julian.elhiendre
    Sertai kami di Facebook: www. KMA.TV
    Follow di Twitter: / kma_tv
    Instagram: KMA.TV
    Website: www.kmamesir.org
    Judul : Mempertanyakan Di Mana Allah? - Pelajaran Aqidah Bag. 1... ᴴᴰ | Tgk. Amri Fatmi Anziz, MA
    Kredit:
    Nasyid Latar:
    Tempat : Hayyul Asyier - Kairo - Mesir

ความคิดเห็น • 26

  • @bachriunbachriun7523
    @bachriunbachriun7523 5 ปีที่แล้ว +11

    Keberadaan Allah, secara akal ada beberapa alternatif : 1.Allah berada di atas makhluk Nya. Ini menunjukkan sifat kesempurnaan dan sesuai dgn al Qur'an dan Sunnah yi Allah Istiwa (tinggi) di atas 'Arsy (nskhlukNya). 2.Allah berada di dalam makhlukNya (alam). Ini menunjukkan sifat kekurangan, krn Allah bertempat, berada di-mana2 (ditempat yg kotor) dan lebih besar makhluk drpd Allah 3. Makhluk masuk kedalam Zat Allah . Ini menunjukkan sifat kekurangan, karena dlm zat Allah terdpt yg baik, yg kotor, syaitan, iblis dll 4.Allah tdk ada di-mana2, Ini menunjukkan bahwa Allah itu tidak ada sama dgn Atheis. Sebaiknya kita ikuti petunjuk Al Qur'an dan Sunnah dan jangan mengikuti Filsafat atau Ilmu Kalam seperti penjelasan Ust tsb yg memutar-mutar.

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
      1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
      Kata yang bermakna fisik.
      Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
      Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.

  • @indisfamily262
    @indisfamily262 2 ปีที่แล้ว +2

    Muter² penjelasan nya...nggak ielas

  • @ridduanduan6310
    @ridduanduan6310 21 วันที่ผ่านมา

    Terimakasih ustadzna

  • @cahayakotanabi2067
    @cahayakotanabi2067 3 ปีที่แล้ว +1

    Penejelasan yang ambigu sekali

  • @bagusreview6097
    @bagusreview6097 5 หลายเดือนก่อน

    Muter2 trus penjelasan nya dan susah di pahami

  • @hariyatirahim4258
    @hariyatirahim4258 2 ปีที่แล้ว

    "Allahuakbar"

  • @rizoftfull
    @rizoftfull 5 ปีที่แล้ว +1

    Alhamdulilah. Terima kasih ilmunya, penjelasan yang baik.

  • @LingkungSeniSantriKalijaga
    @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

    Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
    1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
    Kata yang bermakna fisik.
    Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
    Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.

  • @mkhadapimardani6755
    @mkhadapimardani6755 7 ปีที่แล้ว +2

    masyaAllah sangat bermanfaat ustadz

    • @KMATVOfficial
      @KMATVOfficial  7 ปีที่แล้ว +1

      Alhamdulillah

    • @ataget5417
      @ataget5417 5 ปีที่แล้ว

      Yg bisa pegang dalil nya cuma tiga generasi .

  • @redyandrimof7565
    @redyandrimof7565 4 ปีที่แล้ว

    setuju, ustadz. sebagaimana pemahaman 4 imam mahzab bahwa Allaah ada di atas Arsy. Barakallaahu fiikum

  • @nasyifadiffa644
    @nasyifadiffa644 5 ปีที่แล้ว

    Terimakasih ustadz,,

  • @radiokniferagunan3754
    @radiokniferagunan3754 5 ปีที่แล้ว +3

    Disini ada logika??? Muter muter. Hahaha

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว +1

      Penjelasan segini gamblangnya disebut muter2? Bahkan sudah dicontohkan kejadiannya di zaman salaf lo.

    • @ataget5417
      @ataget5417 5 ปีที่แล้ว

      Melihat apakah bukan sifat makhluk ustat.tolong jelasin

    • @MUHAMMADTRISNOMELICANDRA
      @MUHAMMADTRISNOMELICANDRA 5 ปีที่แล้ว

      Ahaha benar

    • @candraadikurnia9042
      @candraadikurnia9042 5 ปีที่แล้ว +1

      @@ataget5417 setahu saya melihat, mendengar dan lainnya adalah sifat Allah sebagaimana tertuang dlm 20 sifat Allah. Kalaupun sifatnya ada pd makhluk itu keberkahan yg Allah berikan. Dan itu memiliki batas. Kesempurnaan dan ke-Maha-an hanya milik Allah. Wallahu a'lam

    • @rizoftfull
      @rizoftfull 5 ปีที่แล้ว

      Bagus kok penjelasannya.

  • @MUHAMMADTRISNOMELICANDRA
    @MUHAMMADTRISNOMELICANDRA 5 ปีที่แล้ว +4

    Muter _ muter terus Tgk. Filsafat telah memberikan kontribusi berfikir yang byk melawan dalil :(

    • @rizoftfull
      @rizoftfull 5 ปีที่แล้ว +1

      Terima kasih penilaiannya. Asbab penilaian anda, saya coba nonton video ini sampai selesai. Dan Alhamdulilah saya mendapat ilmu dari ceramah beliau. Semoga Allah menjaga beliau.

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
      1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
      Kata yang bermakna fisik.
      Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
      Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.

  • @haulakaudin1601
    @haulakaudin1601 4 ปีที่แล้ว +1

    Jangan diputar putar pak. Anda memberi ilmu atau menyesatkan?

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
      1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
      Kata yang bermakna fisik.
      Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
      Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.