Mempertanyakan Di Mana Allah? - Pelajaran Aqidah Bag. 1... ᴴᴰ | Tgk. Amri Fatmi Anziz, MA

แชร์
ฝัง
  • เผยแพร่เมื่อ 17 ต.ค. 2017
  • Animasi Oleh KMA.TV Crew : / ariadliansyah
    Thumbnail Oleh KMA.TV Crew : / julian.elhie. .
    Sertai kami di Facebook: www. KMA.TV
    Follow di Twitter: / kma_tv
    Instagram: KMA.TV
    Website: www.kmamesir.org
    Judul : Mempertanyakan Di Mana Allah? - Pelajaran Aqidah Bag. 1... ᴴᴰ | Tgk. Amri Fatmi Anziz, MA
    Kredit:
    Nasyid Latar:
    Tempat : Hayyul Asyier - Kairo - Mesir

ความคิดเห็น • 145

  • @kurniawandwiseptian
    @kurniawandwiseptian 6 ปีที่แล้ว +13

    mari disebar agar sanak saudara tidak tersesat

  • @masruhan9178
    @masruhan9178 8 วันที่ผ่านมา +1

    Alhamdulilah, ketemu chanel, terima kasih,

  • @mr.4rb1jum_bee36
    @mr.4rb1jum_bee36 4 ปีที่แล้ว +4

    MasyaAllah, penjelasannya sangat gamblang dan jelas. saya tau beliau dari ceramah UAS saat di Aceh. semoga Allah panjangkan umur ustadz2 cerdas yg ada di Indonesia ini, aamiin yaa Robbal 'aalamiin ...

  • @LingkungSeniSantriKalijaga
    @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว +3

    Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
    1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
    Kata yang bermakna fisik.
    Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
    Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.

  • @mr.beardel-sawanji8041
    @mr.beardel-sawanji8041 5 ปีที่แล้ว +7

    سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم...
    Mudah2an diriku dipertemukan oleh Allah Jalla jalaluh dengan bliau.. Amin ya Allah.
    Paparan yang panjang lebar.. Jelas. Logika... Salam Ananda Khaidir tumpôk blang. Sawang. Aceh Utara

    • @lisaminarti7845
      @lisaminarti7845 2 ปีที่แล้ว

      Saya sungguh terpukau atas penjelasannya trmksh ustad👍👍👍👍👍👍👍👍👍

  • @acilmulyana5059
    @acilmulyana5059 2 ปีที่แล้ว +2

    Ustadz cerdas, menggunakan nash agama dan konsep fisika ruang dan waktu untuk menjelaskan aqidah Islam.

  • @samsulbahrinurdin5034
    @samsulbahrinurdin5034 3 ปีที่แล้ว +3

    Jazakallahu Khairan ustadz Amri

  • @nogarsoyawa8952
    @nogarsoyawa8952 2 ปีที่แล้ว +3

    Aku masih tetap kokoh Allah tinggi di atas arsy

  • @mamiz9652
    @mamiz9652 3 หลายเดือนก่อน

    Nyimak guru mulia..🙏🙏🙏🤲🤲🤲

  • @zahermanherman6677
    @zahermanherman6677 2 ปีที่แล้ว +2

    Semoga ust slalu sehat dan teruslah tebarkan kebenaran.Aamiin yra.

  • @muhammadsaiful3805
    @muhammadsaiful3805 6 ปีที่แล้ว +5

    Subhanallah, pnjelasan terbaik

  • @ruslimarie663
    @ruslimarie663 5 หลายเดือนก่อน

    Inilah ilmu pengetahuan yang sangat ditunggu....... ikutan nyimak....... semoga Ustadz sehat selalu dan panjang umur.

  • @mkhadapimardani6755
    @mkhadapimardani6755 6 ปีที่แล้ว +7

    masyaAllah.. sungguh bermanfaat ustadz

  • @abangaldy5023
    @abangaldy5023 2 ปีที่แล้ว +2

    Alhamdulillah.... Semoga almuqarram selalu dalam lindungan Allah, penjelasan Tgk sudah sangat jenius dan valid. saya sangat yakin itu. tapi bagaimana dengan sebahagian saudara kita yang meYAKINI bahwa Allah itu bersemanyam di 'ARAS. mohon penjelasannya. Karena banyak sekali sekolah Islam terpadu yang ada di Makassar mengajar kan anak didiknya demikian. Terimakasih.

    • @user-hp8ei6qw3b
      @user-hp8ei6qw3b 3 หลายเดือนก่อน

      Sekarang kalau menyekolahkan anak, pahami lah qaedah yang telah ulama buat "dalam fiqh mengikuti Qaeda-qaedah yang telah dikeluarkan dari Al-Qur'an dan hadis oleh ulama mazhabil arba'(khususnya kita di Indonesia Mazhab Syafi'i), sedangkan dalam tauhid mengikuti Qaedah-qaedah yang telah dikeluarkan dari Al-Qur'an dan hadits oleh imam Asy'ari dan imam almaturidi, sedangkan tasawuf mengikuti Qaedah-qaedah yang telah dikeluarkan dari Al-Qur'an dan hadits oleh imam Junaid albagdadi, abu Hasan asyadzili dan imam Al-Ghazali.......

  • @bachriunbachriun7523
    @bachriunbachriun7523 5 ปีที่แล้ว +7

    Qs An Nisa (4): 87 yg artinya :. "Dan siapakah yg lebih benar perkataannya drpd Allah" Qs. An Nisa (4): 122 yg artinya : Dan siapakah yg lebih benar perkataannya drpd Allah". Berdasarkan ayat tsb diatas, mk tdk ada yg lebih fasih, jujur dan benar perkataannya drpd Allah baik dlm khabar, perintah, janji dan ancaman yg terdpt dlm Al Qur'an. Oki apa saja yg difirmankan Allah dlm Al Qur'an khususnya ttg Sifat2 dan Perbuatan Allah wajib kita imani, kita benarkan (tetapkan) tanpa "tahrif (merubah), ta'thil (peniadaan), takyif (bagaimana keadaannya) dan tamtsil ( menyerupakan). Kata "Istiwa" mnrt firman Allah, jangan ditahrif (dirubah) dgn kata "Istaula = menguasai". Kalau merubah berarti mendustakan Al Qur'an (Allah).Allah Istiwa (tinggi) di atas 'Arsy.

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว

      Ini sejalan dengan penjelasan ustadz Tgk Amri. Ini terdiri dari 3 bagian, yang anda jelaskan ada di bagian kedua

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว

      Imam Syafi’i رحمه الله sebagaiman termaktub dalam kitab Ithaf al-Sadati al-Muttaqin, berkata :
      إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
      “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin -Jilid 2-halaman 36].
      إنه تعالى كان ولا مكان
      “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat”
      Maksudnya adalah bahwa Allah telah ada tanpa permulaan, disebut azali atau qadim, dan belum ada tempat seperti ‘Arasy, langit, bumi, dan segala makhluk lain nya. Allah ta’ala sudah sempurna dengan segala sifat-Nya yang azali sebelum ada apa pun selain-Nya. Sifat-sifat dzat Allah tidak lantas bertambah ketika Allah menciptakan makhluk-Nya;
      فخلق الـمكان وهو على صفة الأزل
      “Maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya”
      Maksudnya, kemudian Allah menciptakan tempat, artinya bukan tempat Allah, tapi menciptakan makhluk-Nya. Imam Syafi’i رحمه الله berkata bahwa Allah tetap atas sifat azali-Nya, artinya sekalipun setelah ada makhluk-Nya, Allah tetap bersifat dengan sifat-sifat azali-Nya. Tidak ada sifat yang bertambah bagi Allah setelah adanya makluk-Nya. Karena sifat yang baru ada setelah adanya makhluk, itu juga termasuk makhluk.
      كما كان قبل خلقه الـمكان
      “Sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat”
      Maksudnya, sebagaimana Allah ada sebelum adanya makhluk, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Begitu juga Allah dan sifat-Nya setelah adanya makhluk, tidak dapat memberi pengaruh apa pun terhadap dzat dan sifat Allah, Allah maha sempurna jauh sebelum adanya makhluk.
      لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
      “Tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”
      Maksudnya, tidak boleh (mustahil) ada perubahan pada dzat dan sifat Allah. Tidak terjadi perubahan pada Allah bukan berarti itu kelemahan atau kekurangan Allah, tapi justru bila berubah, dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah, karena Allah maha sempurna. Berubah dari sempurna tentu dapat menjadi kekurangan bagi-Nya. Setiap perubahan adalah makhluk, karena tidak ada yang dapat berubah dengan sendiri nya kecuali Allah yang menciptakan perubahan tersebut, sementara Allah adalah khaliq, bukan makhluk.
      Maka dengan memahami perkataan Imam Syafi’i رحمه الله di atas, dapat pula kita pahami Aqidah Imam Asy-Syafi’i رحمه الله bahwa Imam Syafi’i رحمه الله meniadakan tempat bagi dzat Allah. Allah ada tanpa arah dan tempat, inilah hakikat aqidah ulama salaf, sangat bertolak-belakang dengan aqidah kaum mujassimah (yang menjisimkan Allah), dan kaum musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Mereka menduga ‘Arasy adalah tempat persemayaman Tuhan, padahal ‘Arasy juga makhluk-Nya, yang baru ada ketika diciptakan oleh-Nya. Lagipula sifat-sifat kesempurnaan Allah telah ada sebelum adanya ‘Arasy dan segala makhluk lain nya.
      Terkait hadits riwayat Imam Muslim, tentang fi sama’, maka mesti dikembalikan pada ayat muhkamat bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk, dan karena itulah Allah tidak bertempat. Jadi takwil fi sama itu adalah Allah Maha Luhur.
      Dalam sebuah haditnya riwayat Imam Bukhari Rasulullah bersabda:
      كان الله ولم يكن شيء غيره
      “Allah ada (wujud), dan tidak ada (belum ada) sesuatupun selainnya”
      Hadits lain:
      انت الظاهر فليس فوقك شيء وانت الباطن فليس دونك شيء
      “Engkau dhahir, maka tidak ada sesuatu pun yang ada di atas-Mu, dan Engkau adalah bathin, maka tak ada sesuatu pun yang ada di bawah-Mu”
      Demikian pula Sayyidina Ali yang mengatakan:
      ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته لا مكانا لذاته
      “Sesungguhnya Allah itu menciptakan arasy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan sebagai tempat (bersemayam) untuk dzat-Nya.
      Untuk itu, dalam memahani sebuah hadits tidak bisa hanya sekali duduk, artinya harus membandingkan dengan al-Qur’an dan hadits lain yang bisa jadi bertentangan. Atau, dalam memahami hadits, harus memahami asbabl wurud, sebab-sebab hadits tersebut dikeluarkan.

    • @abyanrajendra4489
      @abyanrajendra4489 2 ปีที่แล้ว

      Betul akhi

    • @user-rr7us3qu6i
      @user-rr7us3qu6i 3 หลายเดือนก่อน

      Belajar lagi mas.

  • @suhermansyuaib6410
    @suhermansyuaib6410 2 ปีที่แล้ว

    ya allah jadikan pemimpin kami 2024

  • @faridmuslim9319
    @faridmuslim9319 4 ปีที่แล้ว +2

    Mantap tadz..

  • @suhermansyuaib6410
    @suhermansyuaib6410 2 ปีที่แล้ว

    ini saatnya jadi pemimpin kami dan imam tahun 2024

  • @PPMIMesirTV
    @PPMIMesirTV 6 ปีที่แล้ว +2

    عظيم والله

  • @bachriunadriah7393
    @bachriunadriah7393 4 ปีที่แล้ว +2

    Qs At Thaha : 5 , Yang Maha Pengasih, yang bersemayam diatas 'Arsy. Mnrt kamus bhs Indonesia, bersemayam mempunyai beberapa arti yi 'duduk, menetap,/berkediaman . Dlm terjemahan diatas, bersemayam diartikan dgn "menetap'. Sehinga maknanya ',Yang Maha Pengasih، istiwa/tinggi/menetap di atas 'Arsy. Jadi artinya bukan " duduk" atau 'istaula,/menguasai". Di atas 'Arsy , tdk ada makhluk, tdk ada tempat dan tdk ada sesuatupun. Yang ada di atas 'Arsy, hanyalah Allah sendirian، yg keadaanNya sama dgn keadaan sebelum diciptakannya makhluk. "...... tsummas tawaa 'alal 'Arsy". kemudian Dia istiwa/tinggi/menetap di atas 'Arsy. Ditakwil oleh Muathilah menjadi : " ..... tsummas taula ' 'alal 'Arsy" kemudia Dia menguasai "Arsy".

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว +1

      Dalam kitab Al-Ibanah tulisannya, pada hal 21 cetakan Darul Fadhillah, Mesir, Imam Asy’ari berkata, “Allah Istiwa di Arsy sesuai dengan apa yang Dia maksud. Makna ini mengunci kita untuk tidak membayangkan Istawa Allah seperti apa. Dilanjutkan, “Allah Istawa dengan makna yang Dia maksud, bukan makna yang kita maksud. Kalau bagi kita,Istawa bermakna menempati, tapi bagi Allah bukan.”
      Istiwa Allah suci (bebas) dari 5 perkara, yaitu ; 1. ‘Mumassah’ (persentuhan) Istiwa Allah tidak mengalami persentuhan seperti kita menduduki kursi, pantat dan bagian tubuh kita yang lain bersentuhan dengan kursi tersebut. Tidak demikian!
      2. Istiqrar (menempati), artinya istawa Allah di atas Arsy bukan bermakna Dia menempati Arsy itu.
      3. ‘Tamakkun’ (menjadikannya tempat). Allah menciptakan Arsy bukan menjadikannya sebagai tempat kediaman-Nya.
      4. Hulul (memasukinya). Tadinya Allah di luar Arsy lalu masuk ke dalamnya. Tidak! Tidak demikian.
      5. Intiqal (berpindah) artinya Allah berpindah ke Arsy setelah Allah menciptakan Arsy. Turun ke langit dunia dengan terlebih dahulu meninggalkan Arsy lalu balik lagi ke Arsy. Tidak! Tidak demikian!)

  • @hariyatirahim4258
    @hariyatirahim4258 2 ปีที่แล้ว

    "Allahuakbar"

  • @TazkirahOfficial
    @TazkirahOfficial 3 ปีที่แล้ว +1

    Nyimak gurei

  • @bachriunadriah7393
    @bachriunadriah7393 4 ปีที่แล้ว +1

    Mengenai pertanyaan dimana, maka dpt dijelaskan sbb. : 1.Bertanya "dimana" terhadap sesuatu yg tdk berwujud/ tdk ada , adalah sesuatu yg mustahil. 2.Bertanya "dimana" terhadap sesuatu "yg berwujud/ada" (baik makhluk maupun Allah) dapat dilakukan, hal ini alasannya adalah : a. Sesuatu yg berwujud pasti memiliki utk makhluk disebut dgn "Jisim atau Fisik" sedangkan utk Allah disebut dgn "Dzat". b. Dimana "makhluk", jawabannya : makhluk adalah ",. 'Arsy, Kursi , Langit, Bumi, dan diantara keduanya (malaikat, manusia, jin, iblis, binatang dll). Semuanya bertempat. c.Dimana Allah, maka jawabannya adalah : 1). Allah memiliki Dzat dsn tidak ber jisim,/fisik. 2).Al Qur'an menyebutkan Allah beristiwa,/tinggi di atas 'Arsy , yi : Qs. Al A'raf : 54, Yunus 3 , Ar Ra'd : 2 , At Thaha : 5 , Al Fur'qan : ,59 , As Sajdah : 4 , Al Hadid : ,4 . Allah istiwa/tinggi/menetap di atas 'Arsy, jadi bukan "duduk" atau "istaula". 3). Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah bertanya kpd seorang budak wanita "dimana Allah". 4). Di atas 'Arsy tdk ada makhluk, tdk ada tempat, tdk ada udara, pokoknya tdk ada segala sesuatu selain Allah. Yang ada hanyalah Allah sendirian, yg keadaan Nya sama dgn keadaan sebelum diciptakannya makhluk. Allah di atas makhlukNya

    • @pemudadesa8656
      @pemudadesa8656 4 ปีที่แล้ว

      Pembahasan "dimana Allah" dengan makna Zahir menyebarkan faham Mujassimah
      pemudade.wordpress.com/2017/04/08/pembahasan-di-mana-allah-secara-makna-zahir-dapat-menjerumuskan-ke-pemahaman-mujassimah/

  • @akulahjochelgimanadonk9892
    @akulahjochelgimanadonk9892 6 ปีที่แล้ว +3

    MasyaAllah jawaban yng sangat bagusss

  • @infobagus9324
    @infobagus9324 4 ปีที่แล้ว +1

    Allah memberitakan Allah istiwa di arasy. Siapa mau bantah???

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Dalam kitab Al-Ibanah tulisannya, pada hal 21 cetakan Darul Fadhillah, Mesir, Imam Asy’ari berkata, “Allah Istiwa di Arsy sesuai dengan apa yang Dia maksud. Makna ini mengunci kita untuk tidak membayangkan Istawa Allah seperti apa. Dilanjutkan, “Allah Istawa dengan makna yang Dia maksud, bukan makna yang kita maksud. Kalau bagi kita,Istawa bermakna menempati, tapi bagi Allah bukan.”
      Istiwa Allah suci (bebas) dari 5 perkara, yaitu ; 1. ‘Mumassah’ (persentuhan) Istiwa Allah tidak mengalami persentuhan seperti kita menduduki kursi, pantat dan bagian tubuh kita yang lain bersentuhan dengan kursi tersebut. Tidak demikian!
      2. Istiqrar (menempati), artinya istawa Allah di atas Arsy bukan bermakna Dia menempati Arsy itu.
      3. ‘Tamakkun’ (menjadikannya tempat). Allah menciptakan Arsy bukan menjadikannya sebagai tempat kediaman-Nya.
      4. Hulul (memasukinya). Tadinya Allah di luar Arsy lalu masuk ke dalamnya. Tidak! Tidak demikian.
      5. Intiqal (berpindah) artinya Allah berpindah ke Arsy setelah Allah menciptakan Arsy. Turun ke langit dunia dengan terlebih dahulu meninggalkan Arsy lalu balik lagi ke Arsy. Tidak! Tidak demikian!)

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
      1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
      Kata yang bermakna fisik.
      Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
      Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.

  • @hhddhkjhxhj6795
    @hhddhkjhxhj6795 5 ปีที่แล้ว +4

    yang kedua kalaufaham allah di atas bagaimana dengan imam yang 4 itu adakah dia salah atauput sesat beri penjelasan

  • @rosmaniaroos1532
    @rosmaniaroos1532 6 ปีที่แล้ว +2

    MasyaAllah sangat bergizi

  • @taufikismail8202
    @taufikismail8202 5 ปีที่แล้ว +5

    Yg mengatakan Allah di Arsy itu Alqur'an,kita sebagai makhluk cukup mengimani saja tidak perlu lagi ditakwil macam2,contoh yg sangat nyata bahwa Allah itu di atas Arsy adalah peristiwa isra' dan mi'raj Nabi Muhammad,beliau naik ke langit ke 7 ke Sidratul muntaha utk menerima perintah sholat langsung dari Allah.

    • @fersaceindiana3318
      @fersaceindiana3318 3 ปีที่แล้ว +1

      Kau harus banyak belajar lg ilmu agama, ilmumu baru tingkat anak TK

    • @taufikismail8202
      @taufikismail8202 3 ปีที่แล้ว

      @@fersaceindiana3318 baru tingkat TK saja sdh bisa paham apalagi SMA

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Dalam kitab Al-Ibanah tulisannya, pada hal 21 cetakan Darul Fadhillah, Mesir, Imam Asy’ari berkata, “Allah Istiwa di Arsy sesuai dengan apa yang Dia maksud. Makna ini mengunci kita untuk tidak membayangkan Istawa Allah seperti apa. Dilanjutkan, “Allah Istawa dengan makna yang Dia maksud, bukan makna yang kita maksud. Kalau bagi kita,Istawa bermakna menempati, tapi bagi Allah bukan.”
      Istiwa Allah suci (bebas) dari 5 perkara, yaitu ; 1. ‘Mumassah’ (persentuhan) Istiwa Allah tidak mengalami persentuhan seperti kita menduduki kursi, pantat dan bagian tubuh kita yang lain bersentuhan dengan kursi tersebut. Tidak demikian!
      2. Istiqrar (menempati), artinya istawa Allah di atas Arsy bukan bermakna Dia menempati Arsy itu.
      3. ‘Tamakkun’ (menjadikannya tempat). Allah menciptakan Arsy bukan menjadikannya sebagai tempat kediaman-Nya.
      4. Hulul (memasukinya). Tadinya Allah di luar Arsy lalu masuk ke dalamnya. Tidak! Tidak demikian.
      5. Intiqal (berpindah) artinya Allah berpindah ke Arsy setelah Allah menciptakan Arsy. Turun ke langit dunia dengan terlebih dahulu meninggalkan Arsy lalu balik lagi ke Arsy. Tidak! Tidak demikian!)

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว +1

      Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
      1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
      Kata yang bermakna fisik.
      Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
      Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.

    • @abdrazak8993
      @abdrazak8993 2 ปีที่แล้ว +1

      @@fersaceindiana3318 klw anda berdoa angkat tangan gk?

  • @bambangamansyah6428
    @bambangamansyah6428 6 ปีที่แล้ว +3

    penjelasan yang indah 😍

  • @ojibna4598
    @ojibna4598 6 ปีที่แล้ว +1

    Masya allah.. Sangat jelas penjelasannya ustad tgk

    • @saptokunwibowo7090
      @saptokunwibowo7090 6 ปีที่แล้ว

      Oji Bna th-cam.com/video/UUpLfXWoT2w/w-d-xo.html

  • @uujjj5182
    @uujjj5182 2 ปีที่แล้ว +2

    Kalau sudah masuk pada ilmu filsafat kahir nya pada pusing dan gilak...
    Jawaban di mana Allah sederhana sepeerti yg di ajarkan dalam syariat kita di atas arsy... Arrahmanu alal arsyistawa...
    Apa kata gus baha ketika di tanya di mana Allah jawabanya di atas selesai,
    Sederhana itu lah jawaban yg mudah kalau seandai nya da orang kafir atau anak2 kafir di luaran sana bertanya tentang Allah maka nya jawab nya sederhana di aatas... Selesai... Jnhn pakai ilmu filsafat akhir nya tuan doktor pusing dan orang awam juga pusing dengar nya..

  • @supayanakaturi2311
    @supayanakaturi2311 6 ปีที่แล้ว +3

    Assalamualaikum ustad,Ustad kitab apa yg ustad bahas

    • @KMATVOfficial
      @KMATVOfficial  6 ปีที่แล้ว

      Kitab Imam Al-Ghazali. al-I'tiqad fi Iqtishad

  • @bachriunadriah7393
    @bachriunadriah7393 4 ปีที่แล้ว

    Ust ini pemahamannya dgn dalil Akal. Aqidah Islam mempunyai Ciri khusus 1.bersifat ghaib. Krn ghaib tdk dpt dijangkau indera (pendengaran, sentuhan, penglihatan, penciuman dan rasa) dan akal. 2.bersifat tauqifiyah, artinya Aqidah Islam berdasarkan al Qur'an Sunnah yg shahih . Sumber yg bersifat zhanniyah (praduga), seperti akal dan qiyas tdk sah dijadijan sbgi landasan aqidah. Akal utk mengukuh nash2 syariat dan mendukung nash yg shahih, bukan menentang al Qur'an dan as Sunnah yg shahih. Manusia tdk bisa menjangkau Allah dan Sifat2Nya dgn ilmu yg dimilikinya, sebagaimana yg disebut dlm Qs.Thaha : 110 "Sedang ilmu mereka tdk dpt meliputi IlmuNya. Oki kita wajib beriman kpd apa yg dikabarkan oleh Allah didlm al Qur'an dan juga as Sunnah yg shahih, seperti Allah istiwa/tinggi diatas Arsy,' . Qs.Al A"raf : 54, At Thaha : 5 , As Sajdah : 4 dst. Jangan mengatakan : 1.Allah tidak ada dimana- mana 2.Allah ada dimana- mana. Tidak ada dalilnya

  • @hhddhkjhxhj6795
    @hhddhkjhxhj6795 5 ปีที่แล้ว +1

    ustaz tunjukan ulama yang kata allah. dimana2saja dalil tulung beri jawapan dengan terang dan jelas

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว

      Imam Syafi’i رحمه الله sebagaiman termaktub dalam kitab Ithaf al-Sadati al-Muttaqin, berkata :
      إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
      “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin -Jilid 2-halaman 36].
      إنه تعالى كان ولا مكان
      “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat”
      Maksudnya adalah bahwa Allah telah ada tanpa permulaan, disebut azali atau qadim, dan belum ada tempat seperti ‘Arasy, langit, bumi, dan segala makhluk lain nya. Allah ta’ala sudah sempurna dengan segala sifat-Nya yang azali sebelum ada apa pun selain-Nya. Sifat-sifat dzat Allah tidak lantas bertambah ketika Allah menciptakan makhluk-Nya;
      فخلق الـمكان وهو على صفة الأزل
      “Maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya”
      Maksudnya, kemudian Allah menciptakan tempat, artinya bukan tempat Allah, tapi menciptakan makhluk-Nya. Imam Syafi’i رحمه الله berkata bahwa Allah tetap atas sifat azali-Nya, artinya sekalipun setelah ada makhluk-Nya, Allah tetap bersifat dengan sifat-sifat azali-Nya. Tidak ada sifat yang bertambah bagi Allah setelah adanya makluk-Nya. Karena sifat yang baru ada setelah adanya makhluk, itu juga termasuk makhluk.
      كما كان قبل خلقه الـمكان
      “Sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat”
      Maksudnya, sebagaimana Allah ada sebelum adanya makhluk, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Begitu juga Allah dan sifat-Nya setelah adanya makhluk, tidak dapat memberi pengaruh apa pun terhadap dzat dan sifat Allah, Allah maha sempurna jauh sebelum adanya makhluk.
      لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
      “Tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”
      Maksudnya, tidak boleh (mustahil) ada perubahan pada dzat dan sifat Allah. Tidak terjadi perubahan pada Allah bukan berarti itu kelemahan atau kekurangan Allah, tapi justru bila berubah, dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah, karena Allah maha sempurna. Berubah dari sempurna tentu dapat menjadi kekurangan bagi-Nya. Setiap perubahan adalah makhluk, karena tidak ada yang dapat berubah dengan sendiri nya kecuali Allah yang menciptakan perubahan tersebut, sementara Allah adalah khaliq, bukan makhluk.
      Maka dengan memahami perkataan Imam Syafi’i رحمه الله di atas, dapat pula kita pahami Aqidah Imam Asy-Syafi’i رحمه الله bahwa Imam Syafi’i رحمه الله meniadakan tempat bagi dzat Allah. Allah ada tanpa arah dan tempat, inilah hakikat aqidah ulama salaf, sangat bertolak-belakang dengan aqidah kaum mujassimah (yang menjisimkan Allah), dan kaum musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Mereka menduga ‘Arasy adalah tempat persemayaman Tuhan, padahal ‘Arasy juga makhluk-Nya, yang baru ada ketika diciptakan oleh-Nya. Lagipula sifat-sifat kesempurnaan Allah telah ada sebelum adanya ‘Arasy dan segala makhluk lain nya.
      Terkait hadits riwayat Imam Muslim, tentang fi sama’, maka mesti dikembalikan pada ayat muhkamat bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk, dan karena itulah Allah tidak bertempat. Jadi takwil fi sama itu adalah Allah Maha Luhur.
      Dalam sebuah haditnya riwayat Imam Bukhari Rasulullah bersabda:
      كان الله ولم يكن شيء غيره
      “Allah ada (wujud), dan tidak ada (belum ada) sesuatupun selainnya”
      Hadits lain:
      انت الظاهر فليس فوقك شيء وانت الباطن فليس دونك شيء
      “Engkau dhahir, maka tidak ada sesuatu pun yang ada di atas-Mu, dan Engkau adalah bathin, maka tak ada sesuatu pun yang ada di bawah-Mu”
      Demikian pula Sayyidina Ali yang mengatakan:
      ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته لا مكانا لذاته
      “Sesungguhnya Allah itu menciptakan arasy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan sebagai tempat (bersemayam) untuk dzat-Nya.
      Untuk itu, dalam memahani sebuah hadits tidak bisa hanya sekali duduk, artinya harus membandingkan dengan al-Qur’an dan hadits lain yang bisa jadi bertentangan. Atau, dalam memahami hadits, harus memahami asbabl wurud, sebab-sebab hadits tersebut dikeluarkan.
      Jadi bukan Allah ada di mana2, tapi Dia ada tanpa tempat

    • @hhddhkjhxhj6795
      @hhddhkjhxhj6795 5 ปีที่แล้ว

      Santri Kalijaga alhamdullilah.atas keterangam sukur kepada allah

  • @bachriunbachriun7523
    @bachriunbachriun7523 5 ปีที่แล้ว +3

    Sifat Nafsiyah Allah adalah "Wujud = Ada". Setiap yg "Wujud" , perlu ditanyakan "dimana ? ". Tetapi bagi yg "Tidak Wujud" tdk dpt ditanyakan "dimana ? ". Hal ini dpt kita baca dan pelajari Hadits sbb. : "Pertanyaan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kpd seorang budak wanita, Dimana Allah ?. Ia menjawab : "Allah itu di atas langit . Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallan bersabda : "Siapa Aku ? ". Engkau adalah Rasulullah, jawabnya " Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang mukminah" ( HR.Muslim no. 537, Abu Dawud no.930, An Nasa'i : lll/14-16, Al Baihaqi : ll/249-250, Ahmad : V/447-448 )...................... Berdasarkan Hadits di atas dapat diambil pelajaran sbb : 1.disyariatkan utk bertanya kpd seorang muslim : Dimana Allah. 2.jawaban yg ditanya adalah "di atas langit"

    • @DOLANANHOBI
      @DOLANANHOBI 5 ปีที่แล้ว

      Bachriun Bachriun belajar lagi tong ,mau tafsir quran hadis itu ada imunnya ada alatnga bukan pake hawa nafsu

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
      1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
      Kata yang bermakna fisik.
      Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
      Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.

  • @mm-gj8wm
    @mm-gj8wm 5 ปีที่แล้ว +1

    Azab allah alquran

  • @adiw9779
    @adiw9779 2 ปีที่แล้ว

    Terima kasih, walaupun saya terlambat mendengar informasi ini. Dengan informasi ini semakin menambah rasa saya untuk berfikir. Ada satu bagian di mana ketika anak bertanya, mengapa konsep bertanya nya seperti ini, yaitu "apakah kuda berkokok?" Mengapa tidak langsung saja "bagaimana suara kuda?", itu hanya hal kecil yang menggelitik saya dan tidak perlu di bahas lebih lanjut. Dan ketika saya bertanya, atau siapapun yang bertanya Tuhan ada di mana, sudah jelas dengan pasti ada jawabannya, hanya saja apakah saya tahu? Apakah Anda tahu? Apakah Mereka tahu? Atau apakah kita tahu? Itu saja, dan ketika ada yang tahu, maka "selesai" sudah, dan ketika tidak ada yang tahu, maka mari kita berfikir. Menurut saya cerita hidup manusia di bumi yang kecil ini dibuat sangat mudah dan rumit oleh manusia sendiri. Maaf dan terima kasih dengan ini saya semakin yakin.

  • @mm-gj8wm
    @mm-gj8wm 5 ปีที่แล้ว +1

    Alkitab firman allah
    Firman itu pencipta perkataan allah

    • @faturrahman9184
      @faturrahman9184 5 ปีที่แล้ว

      Cebong ngapain ikut nimbrung disini?? Bkn urusan ente

    • @ilhamilham2668
      @ilhamilham2668 2 ปีที่แล้ว

      Ya oten salah jalur nih

  • @mawaddahwaddah8153
    @mawaddahwaddah8153 2 ปีที่แล้ว

    Bagaimana dengan hadis shahih bahwa Nabi bertanya dimana Allah kepada seorang budak, budak itu menjawab diatas langit, kemudian Nabi membenarkan nya .
    Al-Qur'an itu Kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, pertanyaan nya turun darimana?
    Baca lagi Surat Al Mulk ayat 16 dan 17, juga sangat banyak ayat Alqur'an yang mendukung sifat ketinggian Allah .

  • @mm-gj8wm
    @mm-gj8wm 5 ปีที่แล้ว +2

    Roh allah alkitab

  • @hartonofaayai2954
    @hartonofaayai2954 หลายเดือนก่อน

    Saya tidak paham dengan penjelasan uztad. Yg saya tau Allah itu ingin di kenal.

  • @selamatarpan5098
    @selamatarpan5098 4 หลายเดือนก่อน

    Apa arti syahadat,klu allah itu tak Ada wujud nya . Lagi pula kita diciptakan untuk mengenalnya

  • @hhddhkjhxhj6795
    @hhddhkjhxhj6795 5 ปีที่แล้ว +1

    yang ketiga tolong angkat ulama yang mana tak boleh kata allah di atas ?

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Dalam kitab Al-Ibanah tulisannya, pada hal 21 cetakan Darul Fadhillah, Mesir, Imam Asy’ari berkata, “Allah Istiwa di Arsy sesuai dengan apa yang Dia maksud. Makna ini mengunci kita untuk tidak membayangkan Istawa Allah seperti apa. Dilanjutkan, “Allah Istawa dengan makna yang Dia maksud, bukan makna yang kita maksud. Kalau bagi kita,Istawa bermakna menempati, tapi bagi Allah bukan.”
      Istiwa Allah suci (bebas) dari 5 perkara, yaitu ; 1. ‘Mumassah’ (persentuhan) Istiwa Allah tidak mengalami persentuhan seperti kita menduduki kursi, pantat dan bagian tubuh kita yang lain bersentuhan dengan kursi tersebut. Tidak demikian!
      2. Istiqrar (menempati), artinya istawa Allah di atas Arsy bukan bermakna Dia menempati Arsy itu.
      3. ‘Tamakkun’ (menjadikannya tempat). Allah menciptakan Arsy bukan menjadikannya sebagai tempat kediaman-Nya.
      4. Hulul (memasukinya). Tadinya Allah di luar Arsy lalu masuk ke dalamnya. Tidak! Tidak demikian.
      5. Intiqal (berpindah) artinya Allah berpindah ke Arsy setelah Allah menciptakan Arsy. Turun ke langit dunia dengan terlebih dahulu meninggalkan Arsy lalu balik lagi ke Arsy. Tidak! Tidak demikian!)

  • @user-rk1xs2jg4v
    @user-rk1xs2jg4v หลายเดือนก่อน

    Yg goblog yg nanya..mukmin sejati gk pernah bertanya di mana allah tapi yg di tanyakan bisah aku bisa bertemu allah deng tubuh yg berlumur dosa

  • @hhddhkjhxhj6795
    @hhddhkjhxhj6795 5 ปีที่แล้ว

    kalau tak boleh tanya di mana allah bagai mana dengang hadis muslim nabi tanya seorang hamba perempuan (hadis jariah) nabi salah ataupun kamu salah ? jawablah sualan ini

  • @sanham8784
    @sanham8784 2 ปีที่แล้ว

    Apa maksud firun memerintahkan haman untuk membina bangunan yang tinggi untuk melihat Tuhan Musa di langit...

    • @tommyshelby4336
      @tommyshelby4336 4 หลายเดือนก่อน

      Maknanya firaun berfikir tuhan itu dilangit... Sesiapa yg berfikiran seperti itu maknanya sama seperti pemikiran firaun

  • @ulakanmengaji1711
    @ulakanmengaji1711 6 ปีที่แล้ว +1

    Inilah akibat menggabungkan pemikiran islam dengan falsafah. Ibnu Kullab [241 H] sendiri mengatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang dia itu adalah orang pilihan Allah, dan yang terbaik, paling alim secara keseluruhan membolehkan untuk bertanya dengan “Dimana Allah”, dan mengatakannya serta membenarkan ucapan orang yang mengatakan: Di langit, dan pada saat itu bersaksi bahwa orang itu mukmin. Sedangkan Jahm ibn Abi Shafwan dan pengikutnya tidak membolehkan pertanyaan “Dimana“, mereka melarang mengucapkan itu. seandainya salah tentu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak untuk mengingkari. Seharusnya beliau mengatakan kepada jariyah itu: jangan berkata begitu nanti kamu mengesankan bahwa Allah itu dibatasi, atau di satu tempat tidak di tempat lain, tetapi ucapkanlah ada di setiap tempat, karena itu yang benar, bukan yang tadi kamu katakan. Tidak, sekali kali tidak. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah membolehkannya dengan segenap pengetahuan beliau tentang kandungannya, dan dia adalah ucapan yang paling benar, sesuatu yang wajib adanya iman bagi pengucapnya, karena itu rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyaksikan keimanannya saat ia mengucapkannya. Lalu bagaimana kebenaran ada pada selainnya, sementara al-Qur`an mengatakan itu dan bersaksi untuk itu.” [Dar` at-Ta’arud: 6/193-194; Mawqif ibn taimiah minal asyairah, Dr. Abdurrahman al-Mahmud: 1/443]. Apakah ustadz lebih paham ketimbang rasulullah tentang Dzat Nya Allah.?

    • @fersaceindiana3318
      @fersaceindiana3318 3 ปีที่แล้ว

      Ustaz ini manusia biasa sungguh tdk selevel dengan Rasulullah Saw, Rasulullah menjelaskan masaalah ini pada orang yg juga punya ilmu walau tingkatan ilmunya jauh dari Rasulullah namun mudah memahaminya, tapi jika uraian ustaz ini didengar oleh orang yg sedikit sekali ilmu apa jadinya, soalnya ini masaalahnya tauhid ...

  • @ulakanmengaji1711
    @ulakanmengaji1711 6 ปีที่แล้ว +2

    Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari rahimahullah [lahir tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H].
    Beliau berkata dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:
    Ijmak kesembilan :
    Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah,
    ﺃَﺃَﻣِﻨْﺘُﻢْ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ﺍﻷﺭْﺽَ
    Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).
    Dan Allah berfirman
    ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻳَﺼْﻌَﺪُ ﺍﻟْﻜَﻠِﻢُ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺐُ ﻭَﺍﻟْﻌَﻤَﻞُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢُ ﻳَﺮْﻓَﻌُﻪُ
    kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).
    Dan Allah berfirman
    ﺍﻟﺮَّﺣْﻤﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮﻯ
    “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5).
    Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya,
    ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ
    Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4).
    Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada” [Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234].

    • @berulcrbn7642
      @berulcrbn7642 6 ปีที่แล้ว

      Ini orang mujassim ikut nimbryng

    • @KMATVOfficial
      @KMATVOfficial  6 ปีที่แล้ว

      Lanjutkan

    • @rosmaniaroos1532
      @rosmaniaroos1532 6 ปีที่แล้ว

      hendrizal jambak ini orang mujassimah menyamkan Allah dgn mahkluk,nauzubillah...

    • @ulakanmengaji1711
      @ulakanmengaji1711 6 ปีที่แล้ว

      Rosmaniar Oos apa alasan kamu menuduh saya mujassimah ?

    • @berulcrbn7642
      @berulcrbn7642 5 ปีที่แล้ว

      Otakmu miring

  • @syarifrahman6192
    @syarifrahman6192 5 หลายเดือนก่อน

    Apakah maksud allah panggil nabi ke langit...apakah panggilan ini tdak menunjukkan allah it d atas yg tinggi.

  • @daniemustafa9326
    @daniemustafa9326 2 ปีที่แล้ว

    th-cam.com/video/x4kWL-SgxM4/w-d-xo.html
    Sebagai referensi lain yang lebih mudah di pahami tanpa Ada unsur unsur Ilmu kalam di dalamnya.
    Tidak untuk di perdebatkan namun hanya menambah wawasan…..

  • @Arrow-bd2xu
    @Arrow-bd2xu 5 ปีที่แล้ว +3

    APAKAH ADA YG SALAH AQIDAH PARA SAHABAT & PARA IMAM MAZHAB YG MENGIMANI ALLAH ITU DI ATAS LANGIT TANPA MENTAKWIL SIFAT ALLAH ?
    MENGAPA ADA PEMIKIRAN YG BERBEDA YG LAHIR DARI GENERASI KEMUDIAN ?

    • @DOLANANHOBI
      @DOLANANHOBI 5 ปีที่แล้ว

      Abu Umar Al Walid imam 4 mazhab tidak pernah meyakini kalo allah itu diatas langit atau arsy atau menempati, hanya saja mereka mengimani ayat itu dan menyerahkan maknanya kepada allah tanpa menjism kan nya. Kalo didalam ahlussunnah waljamaah itu metode tafwid, dan ada juga metode takwil

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว +1

      Ketika membahas perkra tentang dzat Allah, jangan sampai kita terjebak pada tajsim, yakni menetapkan sifat jisim (fisik dansemacamnya) pada Allah. bila kitabicara tentang dzat Allah, mau apa pun teorinya; Allah di langit, di atas, beristiwa di arsy, lebih dekat dari urat leher, bersama kita di mana pun kita berada, maka harus dikembalikan dulu pada dalil pokoknya, yaitu Surat Asysyura 11, 'Laisakamitslihi syai', Tiada serupa dengan-Nya sesuatu pun! Syai' adalah sesuatu, dan sesuatu itu berarti itu benda atau jisim. Maka Allah bukan jisim, karena itu tidak berlaku pada-Nya sifat2 jisim. Contoh sifat jisim; Anda dan saya berjisim, naik berarti pindah dari bawah ke atas. Turun, harus berpindah dari atas ke bawah. Kalau tidak, ya bukan turun. Dan kalau disebut menempati atas atau bawah berarti anda dan saya memang menempat di situ. Artinya anda juga saya, dibatasi jarak yang berlaku untuk jisim. Tapi Allah bukan jisim. Dibilang di atas bukan berarti Dia menempati di sana, karena Dia tidak dibatasi tempat. Sekali lagi, ketika membahas tentng Allah terutama dzat-Nya, janganlah terjebak pada pemahaman fisik! Hati2 jangan sampai terjerumus menjadi golongan mujassimah. Golongan Mujassimah mengatakan Allah di atas berarti harus menempati atas itu. Sementara ahlussunnah, ulama2 salaf mengatakan Allah beristiwa di arsy tanpa membutuhkan kepada Arsy, ini berarti tidak menempat di Arsy tsb. Kalau memvicarakan tentang Allah dengan menerapkan sifat2 jisim, ya jadinya kebalik; Allah beristiwa di Arsy dengan menempel ke Arsy tersebut. Ini artinya Allah bisa pindah dari Arsy, dan ketika Allah pindah maka Arsy itu kosong karena Allahnya gaada. Dan konsekwensinya, bila demikian, maka Arsy itu lebih besar daripada Allah, karena Allah menempati Arsy itu. Yang namanya tempat harus lebih besar, lebih luas, lebih kuat dari yang menempati. Bila itu terjadi batal ayat 2; Surat Asysyura 11 tadi, dan Surat Al-Ikhlas ayat 4. Karena sudah ada yang lebih besar dari Allah dan artinya bila yg lebih besar ada, yang setanding juga ada. Padahal jelas ayatnya, itu ayat muhkamat. 'Tiada sesuatupun serupa dengan-Nya', 'Tiada satu pun yg setara dengan-Nya'. Maka, Sekali lagi, jangan mensifati Allah dengan sifat2 jisim. Bahaya!

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Salah satu propaganda untuk menolak takwil atau tafwîdl yang notabene pilihan ulama Aswaja adalah dengan mengatakan bahwa pelaku takwil dan tafwîdl sejatinya adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). (Takwil merupakan cara memaknai kata dengan makna di luar bunyi tersuratnya, sementara tafwidl merupakan cara memaknai kata dengan memasrahkan makna hakikatnya pada Allah, red). Alasannya sebab awalnya dia membayangkan sifat Allah sama dengan manusia kemudian dia tolak bayangan itu dengan cara takwil atau tafwîdl. Andai sedari awal dia tak membayangkan adanya kesamaan sama sekali antara keduanya, maka dia tak perlu lari pada takwil atau tafwîdl. Dari situ kemudian disimpulkan bahwa Asy'ariyah adalah musyabbih sebab Asy'ariyah memilih jalan tafwîdl atau takwil. Banyak tokoh pemikir yang berargumentasi seperti ini hingga mereka mengarang kaidah semacam ini:
      كل مشبه معطل، وكل معطل مشبه
      “Setiap musyabbih adalah mu’atthil (orang yang menolak keberadaan sifat) dan setiap mu’atthil adalah musyabbih”. Seorang pendaku Salafi mengatakan alasan kaidah seperti itu adalah:
      لأنَّ من يعطل صفة الله إنما عطلها فراراً من التشبيه الذي قام في نفسه
      “Sebab sesungguhnya orang yang menolak sifat Allah sebenarnya tak lain melakukannya karena lari dari tasybih yang ada dalam dirinya” (Abdurrazaq bin Abdil Muhsin al-Badr, Tadzkirah al-Mu’tasi Syarh Aqîdah al-Hâfidz Abd al-Ghany al-Maqdisi, hal. 133).
      Sepintas penalaran di atas berikut kaidah yang mereka buat terlihat benar tetapi sejatinya jauh dari kebenaran sebab tak sesuai dengan proses penalaran yang benar. Kesalahan pernyataan seperti di atas dapat diketahui bila proses terjadinya sebuah penalaran diurai secara mendetail sebagai di bawah ini. Bahasan ini sebetulnya adalah bahasan dasar dalam ilmu manthiq. Penulis berusaha menyajikan bahasan ini dengan bahasa semudah mungkin. Berikut ini uraiannya:
      1. Setiap orang berakal tatkala mendengar suatu kata, maka akan terbayang di benaknya arti kata itu. Kalau mendengar kata "kursi", maka akan terbayang benda yang biasa dijadikan tempat duduk itu. Bayangan di benak ini disebut para ulama sebagai tashawwur. Keberadaan tashawwur ini adalah proses otomatis yang pasti terjadi (dlarûry) pada diri semua orang berakal. Bila tak muncul tashawwur sama sekali ketika mendengar satu kata yang sudah dikenal, itu artinya akalnya rusak sehingga tak mungkin memahami apa pun. Ini berarti dia lepas dari taklif (tanggung jawab agama) sebab gila. Adapun bila suatu kata yang didengar tak dikenal, maka memang tak bisa timbul tashawwur sama sekali semisal mendengar kata "Zaqwikut" yang memang tak ada artinya. Ketiadaan tashawwur dalam hal ini disebut ketidaktahuan.
      2. Karena tashawwur adalah proses otomatis dalam kegiatan menalar, maka proses ini tak bisa dihindari dan bukan merupakan suatu tindakan yang disengaja sehingga ia berada di luar wilayah taklifi. Yang berada dalam wilayah taklifi di mana seorang berakal terikat dengan hukum halal atau haram adalah tindakan selanjutnya yang dilakukan secara sengaja. Membayangkan bentuk, cara, dan sifat-sifat suatu objek yang didengar adalah kegiatan yang disengaja yang terjadi setelah proses tashawwur yang otomatis itu. Misalnya tatkala mendengar kata "kursi", ia tashawur tentang makna kursi sebagai tempat duduk. Sampai poin ini hanya ada makna tapi kosong dari detail. Lalu ketika ia membayangkan kira-kira bentuk kursinya kotak, bahannya kayu jati, ukurannya tingginya 50 cm, warnanya coklat, dan seterusnya, maka bayangan inilah yang disengaja di mana ia memilih salah satu ciri dari berbagai kemungkinan yang ada. Dengan demikian, kegiatan membayangkan secara sadar dan disengaja itu selalu muncul setelah tashawwur. Bila tak ada tashawwur, maka tak mungkin bisa membayangkan.
      3. Ketika ada dua kata yang dikenal dan bisa ditashawwurkan bila sendiri-sendiri, tetapi tak bisa ditashawwurkan bila digabung atau dinisbatkan, maka tashawwur makna yang asal menjadi buyar dan gabungan itu menjadi susunan kata yang tak bisa dipahami. Misalnya kita kenal kata "leher" dan bisa men-tashawwur-kannya sebagai anggota tubuh yang menghubungkan kepala dan badan. Kita juga kenal kata "bola" sebagai benda yang bulat itu. Namun ketika kita mendengar kata "lehernya bola", maka kita tak mampu men-tashawwur-kannya sebab bola yang dapat kita pahami itu tak punya leher. Ketika tak bisa men-tashawwur-kannya, maka otomatis mustahil kita membayangkannya.
      4. Dalam konteks sifat khabariyah Allah yang tergolong mutasyabihat, maka proses yang sama juga terjadi. Ketika kita mendengar kata "tangan", maka kita bisa memahaminya dan timbul tashawwur sebagai organ tubuh dari bahu hingga ujung jari. Ini adalah proses otomatis yang mau tak mau akan terjadi pada siapa pun yang berakal. Namun ketika kata "tangan" itu digabung dengan kata "Allah" sehingga menjadi "tangan Allah", maka sampai di sinilah orang-orang berbeda. Sebagian pihak merasa masih bisa men-tashawwur-kannya sebagai tangannya Allah dalam arti sebagai organ tubuh Allah. Mereka inilah yang disebut mujassimah dan musyabbihah. Disebut mujassimah karena menganggap Allah adalah jism (sosok yang bervolume), dan disebut musyabbih sebab men-tashawwur-kan sifat Allah sesuai standar yang berlaku pada manusia. Semua mujassimah dan musyabbihah sepakat bahwa jism Allah tak sama dengan jism makhluk, namun demikian tetaplah mereka disebut sebagai mujassimah atau musyabbihah. Mereka ini berbeda-beda levelnya; ada yang berhenti di tashawwur saja tanpa lanjut pada level membayangkannya, dan ada juga yang hingga taraf membayangkan sehingga mengatakan Dzat Allah memenuhi Arasy kecuali empat jengkal saja, memenuhi seluruh Arasy tanpa menyisakan sejengkal pun, menyentuh Adam dengan tangan-Nya, mempunyai berat badan, bergerak ke sana ke mari, mempunyai lidah, darah, daging, rambut, dan seterusnya yang tak didukung satu hadis sahih pun sebab hanya berdasar bayangan yang mereka buat sendiri di benaknya. Sedangkan Ahlussunnah waljama'ah (Aswaja / Ady'ariyah-Maturidiyah) mengaku sama sekali tak bisa men-tashawwur-kan apa maksud "tangan Allah", sama seperti ketika mereka mendengar kata "leher bola" di atas. Bagi mereka tak masuk akal kata tangan dalam arti organ itu disandingkan dengan kata Allah yang mustahil berupa jism. Dari sinilah kemudian tak ada tashawwur sama sekali sehingga tak mungkin timbul kegiatan yang bernama "membayangkan" apalagi "menyerupakan". Karena tidak ada tashawwur di benak Aswaja, maka berarti mereka mengaku tak mengerti sama sekali tentang Dzat Allah. Inilah makna perkataan mereka bahwa puncak pengetahuan tentang Allah adalah ketidaktahuan.
      5. Untuk menyikapi jalan buntu ketiadaan tashawwur di atas, Ahlussunnah wal Jama'ah kemudian terbagi menjadi dua; Sebagian memilih jalan tafwîdl dengan cara tetap membiarkan ketiadaan tashawwur makna itu dan membiarkan pengetahuan tentangnya cukup diketahui Allah saja. Sebagian lainnya memilih mencari makna yang lebih sesuai yang dapat dipahami dari teks sifat yang didengar itu. Langkah terakhir inilah yang disebut takwil.
      6. Baik tafwîdl atau takwil, keduanya sama sekali tak muncul akibat proses membayangkan, apalagi menyerupakan. Keduanya muncul akibat ketidak tahuan murni akan Dzat Allah sebab ketidakmungkinan adanya tashawwur itu tadi. Dengan demikian, tuduhan bahwa pelaku takwil dan tafwîdl sejatinya adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk) adalah tuduhan tak berdasar sama sekali. Bagaimana bisa menyerupakan sesuatu bila membayangkannya, bahkan memahaminya saja tidak? Adalah tak mungkin secara logika sesuatu yang tak dapat ditashawwurkan kemudian disamakan dengan sesuatu lainnya. Tuduhan semacam ini hanyalah logical fallacy yang parah. Wallahu a'lam.

  • @mm-gj8wm
    @mm-gj8wm 5 ปีที่แล้ว

    Alquran allah atas langit di atas arsy
    Tiada surga

  • @fatih1445h
    @fatih1445h 3 หลายเดือนก่อน

    Sekolah tinggi2 pun belum tentu paham dimana Gusti Alloh itu, sedih sekali dengar ceramah ini. Bagaimana ummat bisa paham. Tak perlu pelik2. Yang paham dimana Gusti Alloh berarti udah Makrifat. Ini baru kajian sareat

  • @haulakaudin1601
    @haulakaudin1601 4 ปีที่แล้ว +2

    Saya kira doktor benaran rupanya apa bangai. Ahlu ta'wil rupanya

    • @abuabdillah9927
      @abuabdillah9927 4 ปีที่แล้ว

      azhary kebanyakan sufiyin. dilihat penampilannya dah ketebak. jenggot dipangkas di bentuk2.

    • @fersaceindiana3318
      @fersaceindiana3318 3 ปีที่แล้ว

      Kah Nyang Carong alah hai wahabi lempab ...

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว +1

      Salah satu propaganda untuk menolak takwil atau tafwîdl yang notabene pilihan ulama Aswaja adalah dengan mengatakan bahwa pelaku takwil dan tafwîdl sejatinya adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). (Takwil merupakan cara memaknai kata dengan makna di luar bunyi tersuratnya, sementara tafwidl merupakan cara memaknai kata dengan memasrahkan makna hakikatnya pada Allah, red). Alasannya sebab awalnya dia membayangkan sifat Allah sama dengan manusia kemudian dia tolak bayangan itu dengan cara takwil atau tafwîdl. Andai sedari awal dia tak membayangkan adanya kesamaan sama sekali antara keduanya, maka dia tak perlu lari pada takwil atau tafwîdl. Dari situ kemudian disimpulkan bahwa Asy'ariyah adalah musyabbih sebab Asy'ariyah memilih jalan tafwîdl atau takwil. Banyak tokoh pemikir yang berargumentasi seperti ini hingga mereka mengarang kaidah semacam ini:
      كل مشبه معطل، وكل معطل مشبه
      “Setiap musyabbih adalah mu’atthil (orang yang menolak keberadaan sifat) dan setiap mu’atthil adalah musyabbih”. Seorang pendaku Salafi mengatakan alasan kaidah seperti itu adalah:
      لأنَّ من يعطل صفة الله إنما عطلها فراراً من التشبيه الذي قام في نفسه
      “Sebab sesungguhnya orang yang menolak sifat Allah sebenarnya tak lain melakukannya karena lari dari tasybih yang ada dalam dirinya” (Abdurrazaq bin Abdil Muhsin al-Badr, Tadzkirah al-Mu’tasi Syarh Aqîdah al-Hâfidz Abd al-Ghany al-Maqdisi, hal. 133).
      Sepintas penalaran di atas berikut kaidah yang mereka buat terlihat benar tetapi sejatinya jauh dari kebenaran sebab tak sesuai dengan proses penalaran yang benar. Kesalahan pernyataan seperti di atas dapat diketahui bila proses terjadinya sebuah penalaran diurai secara mendetail sebagai di bawah ini. Bahasan ini sebetulnya adalah bahasan dasar dalam ilmu manthiq. Penulis berusaha menyajikan bahasan ini dengan bahasa semudah mungkin. Berikut ini uraiannya:
      1. Setiap orang berakal tatkala mendengar suatu kata, maka akan terbayang di benaknya arti kata itu. Kalau mendengar kata "kursi", maka akan terbayang benda yang biasa dijadikan tempat duduk itu. Bayangan di benak ini disebut para ulama sebagai tashawwur. Keberadaan tashawwur ini adalah proses otomatis yang pasti terjadi (dlarûry) pada diri semua orang berakal. Bila tak muncul tashawwur sama sekali ketika mendengar satu kata yang sudah dikenal, itu artinya akalnya rusak sehingga tak mungkin memahami apa pun. Ini berarti dia lepas dari taklif (tanggung jawab agama) sebab gila. Adapun bila suatu kata yang didengar tak dikenal, maka memang tak bisa timbul tashawwur sama sekali semisal mendengar kata "Zaqwikut" yang memang tak ada artinya. Ketiadaan tashawwur dalam hal ini disebut ketidaktahuan.
      2. Karena tashawwur adalah proses otomatis dalam kegiatan menalar, maka proses ini tak bisa dihindari dan bukan merupakan suatu tindakan yang disengaja sehingga ia berada di luar wilayah taklifi. Yang berada dalam wilayah taklifi di mana seorang berakal terikat dengan hukum halal atau haram adalah tindakan selanjutnya yang dilakukan secara sengaja. Membayangkan bentuk, cara, dan sifat-sifat suatu objek yang didengar adalah kegiatan yang disengaja yang terjadi setelah proses tashawwur yang otomatis itu. Misalnya tatkala mendengar kata "kursi", ia tashawur tentang makna kursi sebagai tempat duduk. Sampai poin ini hanya ada makna tapi kosong dari detail. Lalu ketika ia membayangkan kira-kira bentuk kursinya kotak, bahannya kayu jati, ukurannya tingginya 50 cm, warnanya coklat, dan seterusnya, maka bayangan inilah yang disengaja di mana ia memilih salah satu ciri dari berbagai kemungkinan yang ada. Dengan demikian, kegiatan membayangkan secara sadar dan disengaja itu selalu muncul setelah tashawwur. Bila tak ada tashawwur, maka tak mungkin bisa membayangkan.
      3. Ketika ada dua kata yang dikenal dan bisa ditashawwurkan bila sendiri-sendiri, tetapi tak bisa ditashawwurkan bila digabung atau dinisbatkan, maka tashawwur makna yang asal menjadi buyar dan gabungan itu menjadi susunan kata yang tak bisa dipahami. Misalnya kita kenal kata "leher" dan bisa men-tashawwur-kannya sebagai anggota tubuh yang menghubungkan kepala dan badan. Kita juga kenal kata "bola" sebagai benda yang bulat itu. Namun ketika kita mendengar kata "lehernya bola", maka kita tak mampu men-tashawwur-kannya sebab bola yang dapat kita pahami itu tak punya leher. Ketika tak bisa men-tashawwur-kannya, maka otomatis mustahil kita membayangkannya.
      4. Dalam konteks sifat khabariyah Allah yang tergolong mutasyabihat, maka proses yang sama juga terjadi. Ketika kita mendengar kata "tangan", maka kita bisa memahaminya dan timbul tashawwur sebagai organ tubuh dari bahu hingga ujung jari. Ini adalah proses otomatis yang mau tak mau akan terjadi pada siapa pun yang berakal. Namun ketika kata "tangan" itu digabung dengan kata "Allah" sehingga menjadi "tangan Allah", maka sampai di sinilah orang-orang berbeda. Sebagian pihak merasa masih bisa men-tashawwur-kannya sebagai tangannya Allah dalam arti sebagai organ tubuh Allah. Mereka inilah yang disebut mujassimah dan musyabbihah. Disebut mujassimah karena menganggap Allah adalah jism (sosok yang bervolume), dan disebut musyabbih sebab men-tashawwur-kan sifat Allah sesuai standar yang berlaku pada manusia. Semua mujassimah dan musyabbihah sepakat bahwa jism Allah tak sama dengan jism makhluk, namun demikian tetaplah mereka disebut sebagai mujassimah atau musyabbihah. Mereka ini berbeda-beda levelnya; ada yang berhenti di tashawwur saja tanpa lanjut pada level membayangkannya, dan ada juga yang hingga taraf membayangkan sehingga mengatakan Dzat Allah memenuhi Arasy kecuali empat jengkal saja, memenuhi seluruh Arasy tanpa menyisakan sejengkal pun, menyentuh Adam dengan tangan-Nya, mempunyai berat badan, bergerak ke sana ke mari, mempunyai lidah, darah, daging, rambut, dan seterusnya yang tak didukung satu hadis sahih pun sebab hanya berdasar bayangan yang mereka buat sendiri di benaknya. Sedangkan Ahlussunnah waljama'ah (Aswaja / Ady'ariyah-Maturidiyah) mengaku sama sekali tak bisa men-tashawwur-kan apa maksud "tangan Allah", sama seperti ketika mereka mendengar kata "leher bola" di atas. Bagi mereka tak masuk akal kata tangan dalam arti organ itu disandingkan dengan kata Allah yang mustahil berupa jism. Dari sinilah kemudian tak ada tashawwur sama sekali sehingga tak mungkin timbul kegiatan yang bernama "membayangkan" apalagi "menyerupakan". Karena tidak ada tashawwur di benak Aswaja, maka berarti mereka mengaku tak mengerti sama sekali tentang Dzat Allah. Inilah makna perkataan mereka bahwa puncak pengetahuan tentang Allah adalah ketidaktahuan.
      5. Untuk menyikapi jalan buntu ketiadaan tashawwur di atas, Ahlussunnah wal Jama'ah kemudian terbagi menjadi dua; Sebagian memilih jalan tafwîdl dengan cara tetap membiarkan ketiadaan tashawwur makna itu dan membiarkan pengetahuan tentangnya cukup diketahui Allah saja. Sebagian lainnya memilih mencari makna yang lebih sesuai yang dapat dipahami dari teks sifat yang didengar itu. Langkah terakhir inilah yang disebut takwil.
      6. Baik tafwîdl atau takwil, keduanya sama sekali tak muncul akibat proses membayangkan, apalagi menyerupakan. Keduanya muncul akibat ketidak tahuan murni akan Dzat Allah sebab ketidakmungkinan adanya tashawwur itu tadi. Dengan demikian, tuduhan bahwa pelaku takwil dan tafwîdl sejatinya adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk) adalah tuduhan tak berdasar sama sekali. Bagaimana bisa menyerupakan sesuatu bila membayangkannya, bahkan memahaminya saja tidak? Adalah tak mungkin secara logika sesuatu yang tak dapat ditashawwurkan kemudian disamakan dengan sesuatu lainnya. Tuduhan semacam ini hanyalah logical fallacy yang parah. Wallahu a'lam.

  • @bachriunadriah7393
    @bachriunadriah7393 4 ปีที่แล้ว

    SYUBHAT PENOLAK SIFAT. Syubhat pertama dan utama, Gol penolak Sifat Allah adalah "Dalil al 'Aradh". Mu'tazilah menyebutnya "Thariqah al 'Aradh" (teori non atom) dan dimodifikasi oleh Asy'ariyah dgn istilah "Mathalib Sab'ah" (7 pencarian,) Dalil ini mengatakan bhw "Alam terdiri dari 2 unsur yi 1.jisim 2 . Al 'Aradh (sifat2). Dgn mengetahui dalil ini, mk dgn mudah mengenal Allah. Berdasarkan dalil tsb, Allah tdk boleh "berjisim/fisik" dan tdk boleh memiliki Sifat. 'Aradh adalah "gerak, diam, naik, turun, tempat, tinggi, rendah dll". Berdasarkan dalil ini ternyata : 1.Jahmiyah dan Mu'tazilah menafikan semua sifat, krn bila Allah memiliki sifat berarti Allah sama dgn makhluk dan hukumnya syirk. 2 Asy'ariyah dgn dalil Akalnya menetapkan 7 sifat (sifat ma'ani) dan sifat2 Allah yg lainnya dinafikan dan ditakwil., krn sifat2 tsb tdk masuk akal dan tasybih. Disamping tsb dan ditambah dgn ayat al Qur'an yg menyebutkan Qs.Asy Syuuraa (42) : 11 "Tidak ada sesuatu pun yg serupa dgn Dia" , maka Nama dan Sifat Allah yg sama dgn nama makhluk berarti tasybih dan orang yg menetapkannya dituduh musyabihah dan mujasimah. Jadi dgn dalil ini ayat2 al Qur' an dan Hadits Nabi yg shahih ditolak. Dalil al 'Aradh sama dgn aqidah Plato dan Aristoteles, yg menyatakan bhw "Alam terdiri dari Gerak dan Diam" Penggerak Pertama adalah Tuhan, dan setelah itu Tuhan tidak bergerak (statis). Bila Tuhan bergerak dan melakukan sesuatu, mk Tuhan sama dgn Alam. Kesimpulannya :1.Aqidah ini lebih mendahulukan dalil akal drpd dalil Naql. 2.Persaman "Nama", tdk melazimkan persamaan "Hakekat" Allah memiliki sifat mendengar dan melihat dan juga makhluk memiliki sifat mendengar dan melihat , tetapi sifat Allah tdk sama/serupa dgn sifat makhluk. 3.Dalil ini menetapkan bhw Allah tdk boleh bergerak dan tdk boleh melakukan sesuatu yang baru. Kalau tdk berarti Allah sama dgn alam.

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Salah satu propaganda untuk menolak takwil atau tafwîdl yang notabene pilihan ulama Aswaja adalah dengan mengatakan bahwa pelaku takwil dan tafwîdl sejatinya adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). (Takwil merupakan cara memaknai kata dengan makna di luar bunyi tersuratnya, sementara tafwidl merupakan cara memaknai kata dengan memasrahkan makna hakikatnya pada Allah, red). Alasannya sebab awalnya dia membayangkan sifat Allah sama dengan manusia kemudian dia tolak bayangan itu dengan cara takwil atau tafwîdl. Andai sedari awal dia tak membayangkan adanya kesamaan sama sekali antara keduanya, maka dia tak perlu lari pada takwil atau tafwîdl. Dari situ kemudian disimpulkan bahwa Asy'ariyah adalah musyabbih sebab Asy'ariyah memilih jalan tafwîdl atau takwil. Banyak tokoh pemikir yang berargumentasi seperti ini hingga mereka mengarang kaidah semacam ini:
      كل مشبه معطل، وكل معطل مشبه
      “Setiap musyabbih adalah mu’atthil (orang yang menolak keberadaan sifat) dan setiap mu’atthil adalah musyabbih”. Seorang pendaku Salafi mengatakan alasan kaidah seperti itu adalah:
      لأنَّ من يعطل صفة الله إنما عطلها فراراً من التشبيه الذي قام في نفسه
      “Sebab sesungguhnya orang yang menolak sifat Allah sebenarnya tak lain melakukannya karena lari dari tasybih yang ada dalam dirinya” (Abdurrazaq bin Abdil Muhsin al-Badr, Tadzkirah al-Mu’tasi Syarh Aqîdah al-Hâfidz Abd al-Ghany al-Maqdisi, hal. 133).
      Sepintas penalaran di atas berikut kaidah yang mereka buat terlihat benar tetapi sejatinya jauh dari kebenaran sebab tak sesuai dengan proses penalaran yang benar. Kesalahan pernyataan seperti di atas dapat diketahui bila proses terjadinya sebuah penalaran diurai secara mendetail sebagai di bawah ini. Bahasan ini sebetulnya adalah bahasan dasar dalam ilmu manthiq. Penulis berusaha menyajikan bahasan ini dengan bahasa semudah mungkin. Berikut ini uraiannya:
      1. Setiap orang berakal tatkala mendengar suatu kata, maka akan terbayang di benaknya arti kata itu. Kalau mendengar kata "kursi", maka akan terbayang benda yang biasa dijadikan tempat duduk itu. Bayangan di benak ini disebut para ulama sebagai tashawwur. Keberadaan tashawwur ini adalah proses otomatis yang pasti terjadi (dlarûry) pada diri semua orang berakal. Bila tak muncul tashawwur sama sekali ketika mendengar satu kata yang sudah dikenal, itu artinya akalnya rusak sehingga tak mungkin memahami apa pun. Ini berarti dia lepas dari taklif (tanggung jawab agama) sebab gila. Adapun bila suatu kata yang didengar tak dikenal, maka memang tak bisa timbul tashawwur sama sekali semisal mendengar kata "Zaqwikut" yang memang tak ada artinya. Ketiadaan tashawwur dalam hal ini disebut ketidaktahuan.
      2. Karena tashawwur adalah proses otomatis dalam kegiatan menalar, maka proses ini tak bisa dihindari dan bukan merupakan suatu tindakan yang disengaja sehingga ia berada di luar wilayah taklifi. Yang berada dalam wilayah taklifi di mana seorang berakal terikat dengan hukum halal atau haram adalah tindakan selanjutnya yang dilakukan secara sengaja. Membayangkan bentuk, cara, dan sifat-sifat suatu objek yang didengar adalah kegiatan yang disengaja yang terjadi setelah proses tashawwur yang otomatis itu. Misalnya tatkala mendengar kata "kursi", ia tashawur tentang makna kursi sebagai tempat duduk. Sampai poin ini hanya ada makna tapi kosong dari detail. Lalu ketika ia membayangkan kira-kira bentuk kursinya kotak, bahannya kayu jati, ukurannya tingginya 50 cm, warnanya coklat, dan seterusnya, maka bayangan inilah yang disengaja di mana ia memilih salah satu ciri dari berbagai kemungkinan yang ada. Dengan demikian, kegiatan membayangkan secara sadar dan disengaja itu selalu muncul setelah tashawwur. Bila tak ada tashawwur, maka tak mungkin bisa membayangkan.
      3. Ketika ada dua kata yang dikenal dan bisa ditashawwurkan bila sendiri-sendiri, tetapi tak bisa ditashawwurkan bila digabung atau dinisbatkan, maka tashawwur makna yang asal menjadi buyar dan gabungan itu menjadi susunan kata yang tak bisa dipahami. Misalnya kita kenal kata "leher" dan bisa men-tashawwur-kannya sebagai anggota tubuh yang menghubungkan kepala dan badan. Kita juga kenal kata "bola" sebagai benda yang bulat itu. Namun ketika kita mendengar kata "lehernya bola", maka kita tak mampu men-tashawwur-kannya sebab bola yang dapat kita pahami itu tak punya leher. Ketika tak bisa men-tashawwur-kannya, maka otomatis mustahil kita membayangkannya.
      4. Dalam konteks sifat khabariyah Allah yang tergolong mutasyabihat, maka proses yang sama juga terjadi. Ketika kita mendengar kata "tangan", maka kita bisa memahaminya dan timbul tashawwur sebagai organ tubuh dari bahu hingga ujung jari. Ini adalah proses otomatis yang mau tak mau akan terjadi pada siapa pun yang berakal. Namun ketika kata "tangan" itu digabung dengan kata "Allah" sehingga menjadi "tangan Allah", maka sampai di sinilah orang-orang berbeda. Sebagian pihak merasa masih bisa men-tashawwur-kannya sebagai tangannya Allah dalam arti sebagai organ tubuh Allah. Mereka inilah yang disebut mujassimah dan musyabbihah. Disebut mujassimah karena menganggap Allah adalah jism (sosok yang bervolume), dan disebut musyabbih sebab men-tashawwur-kan sifat Allah sesuai standar yang berlaku pada manusia. Semua mujassimah dan musyabbihah sepakat bahwa jism Allah tak sama dengan jism makhluk, namun demikian tetaplah mereka disebut sebagai mujassimah atau musyabbihah. Mereka ini berbeda-beda levelnya; ada yang berhenti di tashawwur saja tanpa lanjut pada level membayangkannya, dan ada juga yang hingga taraf membayangkan sehingga mengatakan Dzat Allah memenuhi Arasy kecuali empat jengkal saja, memenuhi seluruh Arasy tanpa menyisakan sejengkal pun, menyentuh Adam dengan tangan-Nya, mempunyai berat badan, bergerak ke sana ke mari, mempunyai lidah, darah, daging, rambut, dan seterusnya yang tak didukung satu hadis sahih pun sebab hanya berdasar bayangan yang mereka buat sendiri di benaknya. Sedangkan Ahlussunnah waljama'ah (Aswaja / Ady'ariyah-Maturidiyah) mengaku sama sekali tak bisa men-tashawwur-kan apa maksud "tangan Allah", sama seperti ketika mereka mendengar kata "leher bola" di atas. Bagi mereka tak masuk akal kata tangan dalam arti organ itu disandingkan dengan kata Allah yang mustahil berupa jism. Dari sinilah kemudian tak ada tashawwur sama sekali sehingga tak mungkin timbul kegiatan yang bernama "membayangkan" apalagi "menyerupakan". Karena tidak ada tashawwur di benak Aswaja, maka berarti mereka mengaku tak mengerti sama sekali tentang Dzat Allah. Inilah makna perkataan mereka bahwa puncak pengetahuan tentang Allah adalah ketidaktahuan.
      5. Untuk menyikapi jalan buntu ketiadaan tashawwur di atas, Ahlussunnah wal Jama'ah kemudian terbagi menjadi dua; Sebagian memilih jalan tafwîdl dengan cara tetap membiarkan ketiadaan tashawwur makna itu dan membiarkan pengetahuan tentangnya cukup diketahui Allah saja. Sebagian lainnya memilih mencari makna yang lebih sesuai yang dapat dipahami dari teks sifat yang didengar itu. Langkah terakhir inilah yang disebut takwil.
      6. Baik tafwîdl atau takwil, keduanya sama sekali tak muncul akibat proses membayangkan, apalagi menyerupakan. Keduanya muncul akibat ketidak tahuan murni akan Dzat Allah sebab ketidakmungkinan adanya tashawwur itu tadi. Dengan demikian, tuduhan bahwa pelaku takwil dan tafwîdl sejatinya adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk) adalah tuduhan tak berdasar sama sekali. Bagaimana bisa menyerupakan sesuatu bila membayangkannya, bahkan memahaminya saja tidak? Adalah tak mungkin secara logika sesuatu yang tak dapat ditashawwurkan kemudian disamakan dengan sesuatu lainnya. Tuduhan semacam ini hanyalah logical fallacy yang parah. Wallahu a'lam.

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Allah Maha Suci dari sifat gerak dan diam. Diam adalah statis, tiada daya, tiada upaya. Lemah! Sedangkan Allah punya Asma Al-Qawwiy (Maha Kuat). Sedangkan gerak adalah cara, dan cara itu hanya ada pada makhluk. Anda pingin minum, Bang? Anda musti bergerak, minimal tangan anda meraih gelas, meraih ceret wadah air, menuangkan air di ceret ke dalam gelas, mendekatkan gelas berisi air ke mulut, lalu baru deh bisa meneguk air itu. Kalau Bang Bachri kagak bergerak, nyampe uler berbulu pun abang kagak bakalan bisa minum, Bang! Itulah cara, Bang! Sekali lagi ditekankan, gerak adalah cara. Bagi Allah Dia berkehendak tidak perlu pakai cara, cukup, "Kun!" (Jadi), fayakun (maka jadilah). (Q.S. 36 : 82). Jadi Allah Maha Suci dari sifat gerak dan diam itu dalilnya sangat jelas! Bukan filsafat plato atau aristoteles.

    • @bachriunadriah7393
      @bachriunadriah7393 3 ปีที่แล้ว

      @@LingkungSeniSantriKalijaga Oleh karena itu, Ahli Kalam menafikan Sifat Fi'iliyah, yi Sifat2 Allah yg berhubungan dgn perbuatanNya ; jika berkehendak, maka Dia akan
      melakukan, dan jika, maka Dia tidak melakukan.
      Contohnya : menurunkan Rahmat, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan, menicptakan, berbicara, melihat, mendengar dll, Ini semua perbuatan Allah yg tentunya bergerak dan tidak diam.
      Diam adalah sifat kekurangan bagi Allah.
      Ana memahami yg Antum maksudkan dgn begerak adalah "naik, turun, datang, berbicara dgn suara dll".
      Allah yang menciptakan semua bahasa makhluk, yg menciptakan suara makhluk, kemudian karena ingin mensucikan Allah , maka Allah memilki Sifat Kalam yg tanpa suara yi Kalam Nafsi.
      Diejek oleh Mu'tazilah.

  • @usmanamludin4024
    @usmanamludin4024 5 ปีที่แล้ว +1

    Kalimah Alloh ada di Arasy. bukan bearti Alloh ada di Arsy sebab Alloh Swt wajib Muhkolafatukilkhawadis ( tidak sama dengan Mhkluq) mustahil Alloh ada di arsy sebab kalau di arasy bearti menunjukan Alloh berarah,bertempat, bersusun,berzaman dan persifatan gerak atau diam. sedangkan sifat sifat tsb adalah sifatnya Mahluq maka kalau Alloh swt ada di arasy bearti Alloh adalah Mahluq jadi Alloh ada di arasy Hukumnya MUSTAHIL...! lalu apa ma'na daripada Alloh bersemayam di atas Arasy maksudnya adalah Mhluqnya Alloh yg paling besar adalah Arasy seumpama bumi di letakan di Arasy bumi itu seperti batu kecil (ibaratnya) jadi yg sedimikian besarnya luasnya Arasy itu di kuasai oleh Alloh dan di ciptakan Oleh Alloh. Sekrang kita byangkan lagi kalau benar Alloh di arasy maka Arsy adalh mahluq yg di ciptakan Alloh Swt pertanyaanya sebelum Arasy ada apakah Alloh ada di Arasy..? Jelas tidak karna Arasy tidak wujud, jadi jelas sekali Alloh tdak di Arasy (mustahil)

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sangat detail dalam membahas sifat Allah. Semua diperinci sesuai kandungan maknanya masing-masing. Bila ada suatu kata, entah kata itu warid (tercantum) dalam Al-Qur’an dan hadits, atau merupakan kata baru yang tak dikenal di masa sebelumnya, maka sebelum disematkan sebagai ungkapan bagi Allah harus diperinci terlebih dahulu kandungan maknanya: apakah mengandung makna fisik atau tidak. Makna fisik di sini merujuk pada makna jismiyah atau sesuatu yang bervolume / materi.
      1. 1. Kata yang bermakna non-fisik. Untuk kata yang punya makna non-fisik, maka bisa disematkan pada Allah selama maknanya positif dan menunjukkan kesempurnaan. Tetapi dengan catatan ada perbedaan kualitas kesempurnaan antara kondisi ketika kata itu disematkan pada Allah dan ketika disematkan pada makhluk. Misalnya kata: berilmu, berkuasa, berkehendak bebas, hebat, sempurna dan sebagainya. Makna non-fisik ini bisa sama-sama dimiliki oleh Allah dan manusia tetapi sangat berbeda dari segi kualitas kesempurnaannya. Misalnya: kekuasaan manusia terbatas dan perlu diusahakan sedangkan kekuasaan Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan; Ilmu manusia terbatas sedangkan ilmu Allah tak terbatas dan tak perlu diusahakan. Begitu seterusnya untuk contoh kata lainnnya. Allah dianggap punya versi yang sempurna dari makna itu sedangkan makhluk hanya punya versi rendahan saja. Konteks makna non-fisik ini bisa diungkapkan dengan ungkapan "Allah punya kekuasaan dan ilmu, tapi beda dengan kekuasaan dan ilmu manusia". Maksudnya berbeda dalam hal kesempurnaan tadi.
      Kata yang bermakna fisik.
      Adapun kata yang punya makna fisikal, maka makna fisiknya sama sekali tak bisa disematkan pada Allah dan secara tegas wajib dimustahilkan dari Allah sebab makna fisik juga tergolong makna kekurangan. Hanya makhluk saja yang boleh punya makna fisikal ini. Karena itu maka tak bisa dikatakan "Allah punya bentuk fisik, tapi beda dengan bentuk fisik manusia". Demikian juga dilarang berkata "Entahlah kita tidak tahu apakah Allah berupa fisik atau tidak" sebab ketidaktahuan ini berarti mengatakan bisa saja Allah bersifat demikian. Bila sebuah kata yang mempunyai nuansa makna fisik ternyata warid (dinyatakan) dalam Al-Qur’an atau hadits shahih, maka kata itu ditetapkan dan diimani keberadaannya tetapi makna fisiknya dibuang sebab memang mustahil Allah punya makna fisik. Adapun bila kata itu tidak ada (tidak warid) dalam Al-Qur’an dan hadits, maka langsung saja ditolak dan dilarang dengan keras untuk disematkan pada Allah tanpa perlu diperinci lagi. Secara rinci, kategori kata yang bermakna fisik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni:
      Kata yang maknanya punya unsur fisik dan non-fisik sekaligus. Yang tergolong dalam jenis ini misalnya kata: mendengar, melihat, berkalam, tinggi dan besar. Kelima kata ini warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih sehingga harus diimani dan ditetapkan keberadaannya. Akan tetapi seluruh nuansa makna fisik yang melekat padanya harus dibuang dari Allah. Akhirnya Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkalam, tetapi semuanya tanpa alat/organ semisal mata, telinga, dan pita suara atau lidah. Demikian juga Allah Mahatinggi tetapi tidak dalam arti ketinggian lokasi secara fisik dan Mahabesar tetapi bukan dalam arti ukuran fisik. Ketinggian dan kebesaran Allah adalah dalam arti non-fisik semisal ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan. Kata yang maknanya hanya punya unsur fisik saja. Adapun kata yang secara literal hanya bermakna fisik saja, misalkan: yad (tangan), wajh (wajah), 'ain (mata), dan semacamnya yang secara literal berarti organ-organ atau bagian tubuh, maka ia diterima dan diimani hanya apabila warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih saja. Demikian juga kata yang makna literalnya tidak menunjukkan kesempurnaan apapun melainkan hanya menunjukkan kegiatan fisik semata, misalnya: nuzul, istawa, dan sebagainya. Semua contoh di atas diterima dan diimani sebab warid dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Hanya saja ditegaskan bahwa yad bukanlah organ tangan, wajh bukanlah organ wajah atau bagian depan kepala, 'ain bukanlah organ mata, nuzul bukanlah kegiatan turun dari ruang atas ke ruang bawah dan istawa bukan duduk atau bertempat secara fisik. Bila kata tersebut tidak warid, maka ditolak secara mutlak dan diharamkan untuk disematkan pada Allah. Misalnya kata: lisan, jisim, partikel, unsur, ukuran (hadd), berat (tsaql), batasan ujung (nihayah), duduk bersemayam (jalasa/qa'ada), berdiri (qama), bertempat tinggal (istaqarra), berpijak, melayang, dan banyak lainnya yang sama sekali tak disebutkan oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits yang sahih tetapi hanya ada dalam khayalan para mujassimah (aliran yang meyakini Allah berfisik). Dilarang keras menetapkan semua kata yang tidak warid ini dan juga dilarang memperincinya seolah ada yang maknanya layak bagi Allah. Tak ada satu pun kesempurnaan yang bisa didapat dari semua kata itu dan tak ada juga nash shahih yang mengatakannya sehingga tak ada alasan untuk menetapkannya. Kata yang warid yang bermakna fisik di atas tidak bisa sekedar disematkan pada Allah dengan embel-embel catatan "berbeda dari makhluk" sebab seluruh makna fisik berarti kekurangan, tak peduli seberbeda apa pun tetap saja kekurangan. Jadi, ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" sebenarnya tidak tepat sebab secara literal berarti Tuhan mempunyai organ tangan yang berbeda dengan organ tangan makhluk. Perbedaan dalam konteks organ ini hanyalah perbedaan dalam hal ukuran saja dan kadar kekuatan saja, misalnya tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan Tuhan besar dan kuat. Ini aqidah menyimpang dari para mujassimah yang gemar mengkhayal seolah Tuhan adalah sesosok raksasa super besar yang berbeda dengan apa pun selainnya. Mujassim adalah mereka yang tak mau membedakan makna fisik dan non-fisik, semuanya mau disematkan pada Allah meskipun dengan embel-embel "berbeda dari makhluk". Ungkapan "Tuhan punya yad tapi berbeda dengan yad makhluk" bisa saja dibenarkan hanya apabila diartikan bahwa yad makhluk berupa organ fisik sedangkan yad Allah bukan organ fisik. Dalam makna ini berarti yad manusia (tangannya) adalah suatu yang terukur, terbatas dan bervolume sedangkan yad Allah sama sekali bukan dari jenis sesuatu yang terukur, terbatas dan bervolume. Akhirnya, yad manusia yang bernama Fulan yang tinggal sendirian di benua Antartika bisa dibayangkan meski belum pernah melihat sosoknya sebab pasti terukur dan bervolume dengan bentuk yang berbeda dengan yad Jhony, Jefrey, dan lainnya. Sedangkan yad Allah sama sekali tak bisa dibayangkan sebab perbedaannya mutlak dalam arti bukan perbedaan fisikal lagi. Sejak berabad-abad lalu, mujassimah menjadikan penolakan makna fisik ini sebagai bahan fitnah bagi Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy'ariyah-Maturidiyah). Mereka memfitnah bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menolak istawa, menolak nuzul, menolak keberadaan yadullah, wajhullah, ‘ainullah, dan semacamnya yang warid dalam Al-Qur’an dan hadits sahih. Mereka juga memfitnah seolah ada penolakan terhadap Al-Qur’an dan hadits dan para ulama salaf. Padahal sejatinya yang ditolak hanyalah makna fisikal saja sebab itu adalah sifat kekurangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tegas menetapkan dan mengimani seluruh sifat yang warid dan menafikan seluruh kekurangan dan khayalan tentang Allah. Wallahu a'lam.

  • @mm-gj8wm
    @mm-gj8wm 5 ปีที่แล้ว

    Alkitab firman allah
    Allah di surga
    Kerna manusia menujuh ke surga

    • @komengmeregekomengmerege7600
      @komengmeregekomengmerege7600 4 ปีที่แล้ว

      Surga itu mahluk allah dan allah gx butuh dengan mahluk sekalipun surga.
      Kalau allah di surga brarti allah sama dengan mahluk..sedangkan mahluk sama surga gedean surga masa tuhan di surga.?
      Dan Tiada satupun yg setara dengan tuhan allah.
      Dan allah gx bisa di setarakan dengan apapun.
      Paham kau fir

  • @ibnuahmad6682
    @ibnuahmad6682 5 ปีที่แล้ว +4

    Bagaimana dengan hadits jariyah, ketika Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bertanya kpd seorang budak wanita, 'ainallah?' lalu budak wanita tersebut menjawab 'fissama'?
    Ustadz ini dari awal bicara tanpa dalil, hanya menggunakan logika. Bicara tentang Allah Ta'ala harus didukung dg dalil, ustadz...

    • @fersaceindiana3318
      @fersaceindiana3318 3 ปีที่แล้ว

      Ayat Alquran dan hadis serta penjelasan ulama apa itu bukan dalil .....

  • @mawaddahwaddah8153
    @mawaddahwaddah8153 2 ปีที่แล้ว

    Mendengar, melihat Nya Allah tidak sama dengan mendengar, melihat nya makhluk, begitu juga dengan istiwa Nya Allah tidak sama dengan istiwa nya makhluk, begitu juga dengan sifat sifat Allah lainnya yang telah Allah dan RasulNya khabarkan dalam Alquran dan hadis.

  • @yunisusanti600
    @yunisusanti600 ปีที่แล้ว

    Ini pemikiran ilmukalam yg di warisi aristoteles ilmu filsafat dari yunani

    • @muhamfadhil
      @muhamfadhil 9 หลายเดือนก่อน

      mana dalilnya

  • @rumahkubena
    @rumahkubena 5 ปีที่แล้ว +3

    Aqidah Asyairah bukan ajaran nabi, dan para sahabat, (kurun pertama)tabien (kurun kedua), utba tabien (kurun ketiga) termasuk Imam Abu Haneefah, Imam Malik, Imam Shafie (wafat 204 hijrah) dan Imam Ahmad (wafat 241hijrah), bukan beraqidah Asyairah, apakah mereka sesat?
    Orang yang dikatakan pengasas "Aqidah Asyairah" belum pun lahir ketika Imam Muktabar terakhir (Imam Ahmad bin Hanbal) wafat.
    Diantara *aqidah Imam Abu Hassan Asyaari adalah beliau mengisbatkan yang Allah berada diatas 'arash.*
    (rujuk kitab kitab karangan Abu Hassan Asyari, 1.Maqalat Islamiyyin, 2 Risalah Ahlul Saghar dan 3 Al Ibanah.
    Jadi bagaimana dinisbatkan Aqidah Asysirah kepada Imam Abu Hassan bila beliau menolak aqidah yang Allah itu berada diatas 'arash?
    Jika mahu menjawab, sila jawab dengan jawapan ilmiah, Jika anda jawab dengan tuduhan; wahabi, sesat mithalnya tanpa ada dalil yang benar, atau pun celaan, saya tidak skan layan kerana mereka yang tidah boleh menjawab dengan ilmu, mereka telah menunjukkan kebodohan mereka dan saya tidak aksn melayan orang bodoh.
    terima kasih.

    • @fersaceindiana3318
      @fersaceindiana3318 3 ปีที่แล้ว

      Kau lebih bodoh dan goblok lagi

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 3 ปีที่แล้ว

      Dalam kitab Al-Ibanah tulisannya, pada hal 21 cetakan Darul Fadhillah, Mesir, Imam Asy’ari berkata, “Allah Istiwa di Arsy sesuai dengan apa yang Dia maksud. Makna ini mengunci kita untuk tidak membayangkan Istawa Allah seperti apa. Dilanjutkan, “Allah Istawa dengan makna yang Dia maksud, bukan makna yang kita maksud. Kalau bagi kita,Istawa bermakna menempati, tapi bagi Allah bukan.”
      Istiwa Allah suci (bebas) dari 5 perkara, yaitu ; 1. ‘Mumassah’ (persentuhan) Istiwa Allah tidak mengalami persentuhan seperti kita menduduki kursi, pantat dan bagian tubuh kita yang lain bersentuhan dengan kursi tersebut. Tidak demikian!
      2. Istiqrar (menempati), artinya istawa Allah di atas Arsy bukan bermakna Dia menempati Arsy itu.
      3. ‘Tamakkun’ (menjadikannya tempat). Allah menciptakan Arsy bukan menjadikannya sebagai tempat kediaman-Nya.
      4. Hulul (memasukinya). Tadinya Allah di luar Arsy lalu masuk ke dalamnya. Tidak! Tidak demikian.
      5. Intiqal (berpindah) artinya Allah berpindah ke Arsy setelah Allah menciptakan Arsy. Turun ke langit dunia dengan terlebih dahulu meninggalkan Arsy lalu balik lagi ke Arsy. Tidak! Tidak demikian!)

  • @andrijakartasidik9441
    @andrijakartasidik9441 5 ปีที่แล้ว +2

    Pemahan sesat terhadap umat ini ustadz ,... Terbelit belit ngomong nya ... Tetap Alquran hadist penjelas terang benerang gamblang

  • @faturrahman9184
    @faturrahman9184 5 ปีที่แล้ว +3

    Ahlul kalam/filsafat berdalil hanya berdasarkan akal . menyelisihi aqidah para sahabat,tabiin, tabiut tabiin salafusholeh . ust ini tdk perlu didengar apalagi diambil ilmunya. Org ini Menolak dalil nas dr alquran hadist shoheh. Nabi bertanya kpd budak dimana Allah? Artinya pertanyaan itu disyariatkan dan tdk dilarang. Bertobatlah ust sblm terlambat

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว

      Tentang hadis yang anda maksud, silakan lihat video bagian kedua. Video ini terdiri dari 3 bagian

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว

      Imam Syafi’i رحمه الله sebagaiman termaktub dalam kitab Ithaf al-Sadati al-Muttaqin, berkata :
      إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
      “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin -Jilid 2-halaman 36].
      إنه تعالى كان ولا مكان
      “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat”
      Maksudnya adalah bahwa Allah telah ada tanpa permulaan, disebut azali atau qadim, dan belum ada tempat seperti ‘Arasy, langit, bumi, dan segala makhluk lain nya. Allah ta’ala sudah sempurna dengan segala sifat-Nya yang azali sebelum ada apa pun selain-Nya. Sifat-sifat dzat Allah tidak lantas bertambah ketika Allah menciptakan makhluk-Nya;
      فخلق الـمكان وهو على صفة الأزل
      “Maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya”
      Maksudnya, kemudian Allah menciptakan tempat, artinya bukan tempat Allah, tapi menciptakan makhluk-Nya. Imam Syafi’i رحمه الله berkata bahwa Allah tetap atas sifat azali-Nya, artinya sekalipun setelah ada makhluk-Nya, Allah tetap bersifat dengan sifat-sifat azali-Nya. Tidak ada sifat yang bertambah bagi Allah setelah adanya makluk-Nya. Karena sifat yang baru ada setelah adanya makhluk, itu juga termasuk makhluk.
      كما كان قبل خلقه الـمكان
      “Sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat”
      Maksudnya, sebagaimana Allah ada sebelum adanya makhluk, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Begitu juga Allah dan sifat-Nya setelah adanya makhluk, tidak dapat memberi pengaruh apa pun terhadap dzat dan sifat Allah, Allah maha sempurna jauh sebelum adanya makhluk.
      لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
      “Tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”
      Maksudnya, tidak boleh (mustahil) ada perubahan pada dzat dan sifat Allah. Tidak terjadi perubahan pada Allah bukan berarti itu kelemahan atau kekurangan Allah, tapi justru bila berubah, dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah, karena Allah maha sempurna. Berubah dari sempurna tentu dapat menjadi kekurangan bagi-Nya. Setiap perubahan adalah makhluk, karena tidak ada yang dapat berubah dengan sendiri nya kecuali Allah yang menciptakan perubahan tersebut, sementara Allah adalah khaliq, bukan makhluk.
      Maka dengan memahami perkataan Imam Syafi’i رحمه الله di atas, dapat pula kita pahami Aqidah Imam Asy-Syafi’i رحمه الله bahwa Imam Syafi’i رحمه الله meniadakan tempat bagi dzat Allah. Allah ada tanpa arah dan tempat, inilah hakikat aqidah ulama salaf, sangat bertolak-belakang dengan aqidah kaum mujassimah (yang menjisimkan Allah), dan kaum musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Mereka menduga ‘Arasy adalah tempat persemayaman Tuhan, padahal ‘Arasy juga makhluk-Nya, yang baru ada ketika diciptakan oleh-Nya. Lagipula sifat-sifat kesempurnaan Allah telah ada sebelum adanya ‘Arasy dan segala makhluk lain nya.
      Terkait hadits riwayat Imam Muslim, tentang fi sama’, maka mesti dikembalikan pada ayat muhkamat bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk, dan karena itulah Allah tidak bertempat. Jadi takwil fi sama itu adalah Allah Maha Luhur.
      Dalam sebuah haditnya riwayat Imam Bukhari Rasulullah bersabda:
      كان الله ولم يكن شيء غيره
      “Allah ada (wujud), dan tidak ada (belum ada) sesuatupun selainnya”
      Hadits lain:
      انت الظاهر فليس فوقك شيء وانت الباطن فليس دونك شيء
      “Engkau dhahir, maka tidak ada sesuatu pun yang ada di atas-Mu, dan Engkau adalah bathin, maka tak ada sesuatu pun yang ada di bawah-Mu”
      Demikian pula Sayyidina Ali yang mengatakan:
      ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته لا مكانا لذاته
      “Sesungguhnya Allah itu menciptakan arasy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan sebagai tempat (bersemayam) untuk dzat-Nya.
      Untuk itu, dalam memahani sebuah hadits tidak bisa hanya sekali duduk, artinya harus membandingkan dengan al-Qur’an dan hadits lain yang bisa jadi bertentangan. Atau, dalam memahami hadits, harus memahami asbabl wurud, sebab-sebab hadits tersebut dikeluarkan.

    • @faturrahman9184
      @faturrahman9184 5 ปีที่แล้ว

      @@LingkungSeniSantriKalijaga tdk bisa kita berdalil dgn perkataan ulama semata jika sdh ada nash dr alquran dan hadist yg shohih. Imam syafii jg berkata jika pendptku bertentangan dgn hadist maka tinggalkan pendptku. Allah menetapkan dan mengabarkan dgn alquran tentang diriNYA beristiwa diatas arsy. Bagaimananya kita tdk tau krn Allah tdk memberitahu n jgn menyamakan sifat istiwa Allah dgn istiwa mahluk. Sy mengimani apa yg Allah kabarkan dan nabi muhammad sampaikan.

    • @faturrahman9184
      @faturrahman9184 5 ปีที่แล้ว

      Tdk perlu sy menghabiskan wkt menonton video penuh syubhat yg tdk berdasat dalil alquran n hadist shohih

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว

      @@faturrahman9184 saya juga tidak mengingkari ayat istiwa, tidak mengingkari istiwanya Allah. Ayat tidak salah, hadits tidak salah. Kitanya saja yang seringkali merasa benar sendiri memaknainya. Saya hargai pandangan anda bila anda ingin memahami ayat mutasyabihat secara tekstual saja. Namun bagi saya, ayat mutasyabihat itu tidak bisa dipahami makna dzahir sesuai teksnya, karena dengan demikian justru kita bisa sesat. Memahami ayat mutasyabihat itu harus dengan cara digandengkan dengan ayat muhkamat yang juga berhubungan dengan hal yang sama.

  • @bachriunbachriun7523
    @bachriunbachriun7523 5 ปีที่แล้ว

    'Arsy adalah makhluk ciptaan Allah Ta'ala, makhluk yg paling besar dan paling tinggi. Di atas 'Arsy tidak ada makhluk (alam), tdk ada tempat/arah, tdk ada sesuatu selain Allah. Hal ini sesuai dgn al Qur'an yg menetapkan bahwa Allah ber Istiwa di atas 'Arsy. Lafazh istiwa' diikuti dgn penghubung عل sehingga bermakna "tinggi di atas 'Arsy ". Hal ini disebutkan dalam yi : Ak A'raaf : 54, Yunus : 3 , Ar R'ad : 2 , Thaahaa : 5, Al Furqan : 59, As Sajdah : 4 dan Al Hadid : 4. Dan banyak ayat dlm al Qur'an yg menyatakan bhw Allah tinggi di atas. Demikian juga banyak hadits yg menyatakan ketinggian Allah, Al Imam Al Baihaqi dlm kitabnya "Manaaqib Asy Syafi'i" menyatakan :....................................Al Imam Asy Syafi'i rahimullah berkata : "Dan yg lebih aku sukai jika ia menguji sang budak tentang pengakuannya terhadap hari kebangkitan dan yg semisalnya. Dan Al Imam Asy Syafi'i menyebutkan hadits Mu'awaiyah bin Al Hakam bhw ia berkata kpd Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata ttg budak wanita yg ditampar olehnya. Mska Rasulullah bertanya kpd budak wanita tsb, "Dimana Allah"? Sang budak berkata :"Di langit". Lalu Rasulullah bertanya lagi, "Siapa saya ? " Maka sang budak wanita berkata "Anda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam". Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata : "Bebaskan budak wanita ini". (Manaaqib Asy Syafi'i 1/394). Pernyataan Imam Al Baihaqi juga dinukil dan dikuatkan oleh Ak Haafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalaani, salah seorang ulama besar madzhab Syafi'iyyah, ia berkata : "Al Baihaqi tlh meriwayatkan dgn sanad yg shahih dari Ahmad bin Abil Hawaari.... dan dari jln Abu Bakar Adh Dhaba'i, ia berkata : "Madzhab Ahlus Sunnah terhadap firman Allah Ta'ala "Ar Rahman ber istiwa di atas 'Arsy", adalah tanpa ditanya bagaimananya. Dan atsar2 dari salaf banyak. Inipun jalan Al Imam Asy Syafi'i dan Ahmad bin Hambal (Fathu Al Baari, 13/407).............Diantara para ulama Syafi'iyah yg mengikuti aqidah Al Imam Asy Syafi'i ttg Allah di atas langit yi : 1.Al Imam Ibnu Khuzaimah w.311 H 2 Abu Bakr Ahmad bin ishaq bin Ayyub Ash Shubgi Asy Syafi'i. w 342 H 3 Avu 'Utsmab Ash Shaabuuni Asy Syafi'i w 449 H. 4.Al Imam Adz Dzahabi. 5.Al Barzanji w.1103 H 6. dan banyak lagi.

    • @LingkungSeniSantriKalijaga
      @LingkungSeniSantriKalijaga 5 ปีที่แล้ว +1

      Allah bukan benda, bukan fisik, bukan jisim. Jadi jangan mensifati Allah dengan sifat2 jisim. Kalau Quran berkata Allah yang pemurah bersemayam di atas Arsy, ya itu bukan masalah karena Dia bukan benda. Bersemayam bila dilekatkan pada benda berarti benda itu menempati tempat tertentu, diam, tidak bergerak, dan bila bergerak dari tempat diamnya, maka dia tak ada lagi di situ. Dan karena Allah bukan benda, maka bila dilekatkan padanya kata Istawa, bersemayam, ya kita takkan bisa menyamakan istiwa-Nya dengan Istiwa makhluk. Cara-Nya istiwa hanya Dia yg tau dan kita tidak mengetahuinya. Seklai lagi jangan mensifati Allah dengan sifat benda, karena Dia bukan benda.