Lomba Video Reportase Situs Budaya

แชร์
ฝัง
  • เผยแพร่เมื่อ 14 มิ.ย. 2024
  • WATU MARA BAWA #lombareportasesitusbudayangadaFB@ngadaberbudaya,IG@ngadaberbudaya
    ATU WOLOBAWA BERCERITA
    Halo sahabat budaya salam Pancasila, bersama saya Revania R. D. Mole Kila
    Saat ini kami sedang berada di salah satu destinasi Budaya “WOLOBAWA “ tepat terletak di desa Beiwali, kecamatan Bajawa kabupaten Ngada Flores NTT. Berjarak sekitar 12 km dari radius pusat kota Bajawa dengan waktu tempuh menggunakan kendaraan selama kurang lebih 25 menit. WOLOBAWA berada di atas ketinggian 2239 diatas permukaan laut. Untuk mencapai WOLOBAWA, kita perlu berjalan mendaki dengan jarak berkisar 2 km dan perkiraan waktu 45 menit. Sebelum melakukan aktivitas di bukit WOLOBAWA, kita harus melakukan salah satu skema adat yang sudah menjadi sebuah tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Woe Bawa (Suku Bawa). Upacara singkat ini memiliki makna sebagai bentuk permohonan izin kepada Mori Tanah ( Tuan Tanah) yang mendiami wilayah WOLOBAWA. Upacara ini ditandai dengan darah ayam yang disembelih sebagai simbol kesakralan. Upacara ini juga memiliki makna tersirat yakni sebagai bentuk tindakan pemberian sesajian kepada leluhur. Pemberian sesajian kepada leluhur diyakini mampu membawa keberuntungan hidup bagi masyarakat yang datang berkunjung maupun bagi keturunan Woe Bawa. Sebaliknya jika ritual ini tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada, maka akan membawa hal-hal yang tidak diinginkan. Watu WOLOBAWA memiliki beribu sejarah yang terkubur dibalik keindahan dan keunikannya. Salah satu keunikannya adalah tempat ini selalu diselimuti kabut tebal pada jam tertentu. Woe Bawa meyakini peristiwa ini sebagai bentuk kehadiran dari para leluhur untuk mengunjungi tempat tersebut. Dahulu WOLOBAWA merupakan tempat tinggal Woe Bawa. Seiring berjalannya waktu terjadi sebuah permasalahan besar yang harus dihadapi oleh Woe Bawa, yakni terjadi Mata Boe(Kematian beruntun) yang dialami oleh Woe Bawa tanpa alasan yang jelas. Hal ini membuat Woe Bawa merasa resah. Melihat hal tersebut dibawah pimpinan ketua adat pada waktu itu yakni Meka Mara dan Ema Gere Tolo bersama warga Woe Bawa berunding untuk memutuskan tindakan yang harus dilakukan untuk meminimalisir angka kematian yang terjadi. Berdasarkan perundingan yang dilakukan Woe Bawa memutuskan untuk melakukan migrasi menuju Nua Bo Ngethu pada tahun 1907. Sangat disayangkan hal ini justru tidak membawakan hasil yang diinginkan. Angka kematian Woe Bawa semakin meningkat. Akhirnya perundingan dilakukan untuk yang kedua kalinya dan memutuskan untuk melakukan migrasi ke Nia Ruta pada tahun 1914. Namun hasilnya nihil, tidak ada dampak positif yang diterima. Oleh karena itu Meka Mara bersama Woe Bawa memutuskan untuk melakukan migarasi ke Nua Beiposo pada tahun. 1966 dan bertahan hingga sekarang. Terdapat satu ikon yang ditinggalkan oleh Woe Bawa sebelum mereka melakukan migrasi ke Nua Bo Ngethu. Ikon yang ditinggalkan adalah Watu Mara Bawa. Batu ini merupakan peninggalan pusaka yang dikenal sebagai barang berharga Woe Bawa. Batu ini meninggalkan beribu sejarah yang terkesan unik dan menakjubkan. Konon katanya batu ini berasal dari seorang manusia bernama Bawa, Bawa merupakan anak dari perkawinan antara Meka Mara dan Ine Wara yang berasal dari laut. Bawa terlahir cacat, tidak mempunyai sepasang kaki dan tangan. Pada umurnya yang ke tujuh belas tahun, Bawa memberikan sebuah pesan kepada orangtuanya bahwa dia akan berubah menjadi batu. Beberapa waktu setelah kejadian tersebut, Bawa berubah menjadi sebuah batu bulat pipih. Menurut kepercayaan Woe Bawa, batu ini merupakan wujud dari Bawa. Watu Mara Bawa terbilang cukup unik karena berasal dari seorang manusia. Watu Mara Bawa merupakan ikon peninggalan Woe Bawa sebelum bermigrasi ke Nua Bo Ngethu. Selain itu, terdapat pula ikon yang tidak kalah menarik yang terdapat di Nua Beiposo. Ikon tersebut terdiri dari ngadhu sebagai simbol pria, bhaga sebagai simbol wanita, peo yang dahulu diyakini sebagai tempat untuk mengikat tali kerbau pada saat upacara adat, dan watu lengi yang dahulu diyakini sebagai tempat perkumpulan untuk melakukan musyawarah. Dahulu warga asli Nua Beiposo menolak Woe Bawa menghadirkan beberapa ikon tersebut. Namun karena perundingan yang dilakukan maka masyarakat setempat akhirnya menyetujui hadirnya ikon tersebut.

ความคิดเห็น • 11