Saya tinggal di jpn, polisi jepang kalau sdh selesai dinas ganti bajunya dinasnya di kantor tenpat dia kerja termasuk senjata, jadi selepas dinas dia kenbali menjadi masyarakat biasa, jadi selama diluar dinas kalau ketemu pelaku kejahatan dia juga menelpon 110, bukan dia yg tangani sendiri.
Ingat di Indonesia jadi aparat untuk gagah gagahan ,untuk halo dek,serta haus hormat,ingin dilayani masyarakat. Jauh sekali jika membandingkan dengan aparat JPN yang tujuannya jelas untuk mengabdi sebagai pelayanan dan pengamanan negaranya.
terkhusus dikepolisian harus segera di evaluasi terutama senjata laras panjang,karena lawannya adalah sipil,terkecuali satuan khusus,,,jangan lagi sabara berjaga,,penjagaan perusahaan,,jaga hajatan petatang-peteteng bawa laras panjang,,,,ingat tugas kalian apa
Fenomena seperti ini di Indonesia bisa dijelaskan dari berbagai aspek sosial, budaya, politik, dan struktural. Ada beberapa alasan mengapa tentara dan polisi di Indonesia cenderung menampilkan sifat-sifat seperti ingin dilayani, gagah-gagahan, atau bahkan korupsi, sementara orang yang berintegritas sering kesulitan masuk ke institusi tersebut: 1. Sistem Rekrutmen yang Kurang Transparan Nepotisme dan "Uang Pelicin" Dalam banyak kasus, proses rekrutmen di institusi seperti militer dan kepolisian di Indonesia sering kali tidak sepenuhnya transparan. Banyak laporan tentang praktik nepotisme, koneksi, dan suap yang membuat mereka yang memiliki integritas, tetapi tanpa "dukungan", kesulitan untuk lolos. Seleksi Berdasarkan Fisik Seleksi sering lebih menitikberatkan pada aspek fisik daripada karakter dan nilai moral. Akibatnya, fokus pada integritas dan kemampuan melayani masyarakat kurang mendapat perhatian. 2. Budaya Feodal dan Hierarkis Indonesia masih dipengaruhi budaya feodal di mana kekuasaan dan pangkat dianggap sebagai simbol prestise. Dalam institusi seperti militer dan kepolisian, ini terlihat dalam pola pikir "atasan harus dihormati tanpa pertanyaan". Ini mendorong mentalitas ingin dilayani, bukan melayani. Hierarki yang kaku juga membuat bawahan sering tunduk pada atasan tanpa kritik, sehingga perilaku yang buruk bisa bertahan tanpa koreksi. 3. Kurangnya Pendidikan Moral dan Etika Pelatihan di institusi sering lebih menekankan pada keterampilan teknis dan disiplin fisik daripada nilai-nilai pengabdian dan integritas. Akibatnya, banyak personel yang tidak memiliki visi untuk benar-benar melayani masyarakat. Pendidikan karakter selama masa pelatihan tidak diawasi dengan ketat, sehingga orang yang korup secara moral dapat tetap lolos. 4. Budaya Materialisme Mentalitas Ingin Cepat Kaya Banyak yang masuk ke institusi seperti militer dan polisi bukan karena panggilan pengabdian, melainkan karena kesempatan untuk mendapatkan keuntungan materi. Jabatan sering dilihat sebagai alat untuk mencari uang melalui jalan pintas, termasuk penyalahgunaan wewenang. Jabatan di institusi tersebut sering kali dianggap memberi akses ke kekuasaan dan fasilitas, sehingga muncul mentalitas "gagah-gagahan" dan memanfaatkan posisi untuk menarik perhatian. 5. Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Hukum Internal Meski ada mekanisme pengawasan internal, banyak kasus penyimpangan yang tidak ditindak tegas. Kadang-kadang, atasan justru melindungi bawahannya yang menyimpang, sehingga perilaku buruk terus berulang. Hukuman yang ringan terhadap pelanggaran disiplin atau korupsi dalam institusi tersebut membuat pelanggar tidak jera. 6. Budaya "Tahu Sama Tahu" di Masyarakat Masyarakat sering kali pasif atau bahkan permisif terhadap perilaku buruk aparat. Hal ini memperkuat mentalitas aparat bahwa mereka dapat bertindak semaunya tanpa takut konsekuensi serius. Di sisi lain, masyarakat juga kerap memilih "damai" (seperti membayar uang pelicin) daripada menuntut keadilan, yang akhirnya mendukung perilaku korup. 7. Politik dan Kepentingan Kekuasaan Institusi militer dan kepolisian di Indonesia sering digunakan oleh elite politik untuk memperkuat posisi mereka. Ini menciptakan ruang untuk korupsi, nepotisme, dan perilaku tidak profesional karena loyalitas terhadap kekuasaan lebih diutamakan daripada pengabdian kepada masyarakat. 8. Kekacauan Prioritas dalam Pelayanan Publik Tidak ada sistem yang jelas dan konsisten untuk menanamkan bahwa tujuan utama institusi ini adalah melindungi dan melayani masyarakat. Sebaliknya, mereka sering diajarkan untuk menjaga otoritas institusi, yang terkadang mengorbankan pelayanan kepada rakyat. Bagaimana Solusinya? Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi mendalam di berbagai level: 1. Rekrutmen Transparan dan Berbasis Merit Sistem seleksi harus memastikan bahwa yang masuk adalah orang-orang yang memiliki integritas dan motivasi untuk melayani masyarakat. 2. Pelatihan Etika dan Moral yang Ketat Pendidikan selama masa pelatihan harus fokus pada pengabdian, integritas, dan semangat melayani. 3. Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Tegas Mekanisme pengawasan internal harus bekerja secara independen, dengan hukuman berat bagi pelanggaran. 4. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat Masyarakat harus dididik untuk menolak budaya korupsi dan menuntut akuntabilitas dari aparat. 5. Perubahan Budaya Institusi Nilai-nilai feodal dan mentalitas gagah-gagahan harus diganti dengan budaya pelayanan dan profesionalisme. Meski tantangannya besar, perubahan ini perlu dilakukan untuk memastikan tentara dan polisi benar-benar menjadi pelayan masyarakat, bukan justru menjadi pihak yang memperburuk keadaan.
aku sebenarnya kasian sama polisi , mau jadi polisi aja udah bayar biaya jutajutaAn , Tapi dinasehatin biar lebih baik masi aja ngeyel. Sekarang malah jadi bahan hinaAn rakyat
Bapak Mayor....😂😂😂😂 bapak macam gak tau aja. Bapa bicara lurus pake kacamata kuda 😂 Prajurit masuk memang tes psikologi tapi klo 300 juta maju...biar gak lulus tetap lolos pak 😂😂
Aturan bukan kepada militer atau polisi saja, tapi harus belaku kepada seluruh warga negara, karena semua orang bisa membunuh, lantas kalau ada yang mengacam untuk membunuh petugas, terus bisa seenaknya.
dari kajian eryanto ini selalu menyipang, dan selalu salah Besar, buwang aja dari penasehat Kapolri , buwang2 uwang negara saja, eryato ini 30 th di Penegakan hukum, tapi klarifikasinya, selalu jauh menyimpang,
yang jelas SDM nya rendah...aparat kalau sdmnya rendah susah untuk berubah sampai kiamat pun.aturan2 untuk aparat sudah ada dan sudah benar kalau dijalankan.asalkan aparat itu yg sehat jasmani dan rohani.ingat jangan aparat yg setres,sakit jiwa,rabies ,sdm rendah,masuk aparat jalur benar tidak nyuap.
Sudah sering terjadi senpi di salah gunakan oleh oknum negara harus ada tindakan tegas
Saya tinggal di jpn, polisi jepang kalau sdh selesai dinas ganti bajunya dinasnya di kantor tenpat dia kerja termasuk senjata, jadi selepas dinas dia kenbali menjadi masyarakat biasa, jadi selama diluar dinas kalau ketemu pelaku kejahatan dia juga menelpon 110, bukan dia yg tangani sendiri.
Ingat di Indonesia jadi aparat untuk gagah gagahan ,untuk halo dek,serta haus hormat,ingin dilayani masyarakat. Jauh sekali jika membandingkan dengan aparat JPN yang tujuannya jelas untuk mengabdi sebagai pelayanan dan pengamanan negaranya.
terkhusus dikepolisian harus segera di evaluasi terutama senjata laras panjang,karena lawannya adalah sipil,terkecuali satuan khusus,,,jangan lagi sabara berjaga,,penjagaan perusahaan,,jaga hajatan petatang-peteteng bawa laras panjang,,,,ingat tugas kalian apa
Betul sekali kata bak ini,,
Kami sangat setuju
Terbukti
Hansip lebih berguna daripada polisi,
😂😂😂
Fenomena seperti ini di Indonesia bisa dijelaskan dari berbagai aspek sosial, budaya, politik, dan struktural. Ada beberapa alasan mengapa tentara dan polisi di Indonesia cenderung menampilkan sifat-sifat seperti ingin dilayani, gagah-gagahan, atau bahkan korupsi, sementara orang yang berintegritas sering kesulitan masuk ke institusi tersebut:
1. Sistem Rekrutmen yang Kurang Transparan
Nepotisme dan "Uang Pelicin"
Dalam banyak kasus, proses rekrutmen di institusi seperti militer dan kepolisian di Indonesia sering kali tidak sepenuhnya transparan. Banyak laporan tentang praktik nepotisme, koneksi, dan suap yang membuat mereka yang memiliki integritas, tetapi tanpa "dukungan", kesulitan untuk lolos.
Seleksi Berdasarkan Fisik
Seleksi sering lebih menitikberatkan pada aspek fisik daripada karakter dan nilai moral. Akibatnya, fokus pada integritas dan kemampuan melayani masyarakat kurang mendapat perhatian.
2. Budaya Feodal dan Hierarkis
Indonesia masih dipengaruhi budaya feodal di mana kekuasaan dan pangkat dianggap sebagai simbol prestise. Dalam institusi seperti militer dan kepolisian, ini terlihat dalam pola pikir "atasan harus dihormati tanpa pertanyaan". Ini mendorong mentalitas ingin dilayani, bukan melayani.
Hierarki yang kaku juga membuat bawahan sering tunduk pada atasan tanpa kritik, sehingga perilaku yang buruk bisa bertahan tanpa koreksi.
3. Kurangnya Pendidikan Moral dan Etika
Pelatihan di institusi sering lebih menekankan pada keterampilan teknis dan disiplin fisik daripada nilai-nilai pengabdian dan integritas. Akibatnya, banyak personel yang tidak memiliki visi untuk benar-benar melayani masyarakat.
Pendidikan karakter selama masa pelatihan tidak diawasi dengan ketat, sehingga orang yang korup secara moral dapat tetap lolos.
4. Budaya Materialisme
Mentalitas Ingin Cepat Kaya
Banyak yang masuk ke institusi seperti militer dan polisi bukan karena panggilan pengabdian, melainkan karena kesempatan untuk mendapatkan keuntungan materi. Jabatan sering dilihat sebagai alat untuk mencari uang melalui jalan pintas, termasuk penyalahgunaan wewenang.
Jabatan di institusi tersebut sering kali dianggap memberi akses ke kekuasaan dan fasilitas, sehingga muncul mentalitas "gagah-gagahan" dan memanfaatkan posisi untuk menarik perhatian.
5. Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Hukum Internal
Meski ada mekanisme pengawasan internal, banyak kasus penyimpangan yang tidak ditindak tegas. Kadang-kadang, atasan justru melindungi bawahannya yang menyimpang, sehingga perilaku buruk terus berulang.
Hukuman yang ringan terhadap pelanggaran disiplin atau korupsi dalam institusi tersebut membuat pelanggar tidak jera.
6. Budaya "Tahu Sama Tahu" di Masyarakat
Masyarakat sering kali pasif atau bahkan permisif terhadap perilaku buruk aparat. Hal ini memperkuat mentalitas aparat bahwa mereka dapat bertindak semaunya tanpa takut konsekuensi serius.
Di sisi lain, masyarakat juga kerap memilih "damai" (seperti membayar uang pelicin) daripada menuntut keadilan, yang akhirnya mendukung perilaku korup.
7. Politik dan Kepentingan Kekuasaan
Institusi militer dan kepolisian di Indonesia sering digunakan oleh elite politik untuk memperkuat posisi mereka. Ini menciptakan ruang untuk korupsi, nepotisme, dan perilaku tidak profesional karena loyalitas terhadap kekuasaan lebih diutamakan daripada pengabdian kepada masyarakat.
8. Kekacauan Prioritas dalam Pelayanan Publik
Tidak ada sistem yang jelas dan konsisten untuk menanamkan bahwa tujuan utama institusi ini adalah melindungi dan melayani masyarakat. Sebaliknya, mereka sering diajarkan untuk menjaga otoritas institusi, yang terkadang mengorbankan pelayanan kepada rakyat.
Bagaimana Solusinya?
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi mendalam di berbagai level:
1. Rekrutmen Transparan dan Berbasis Merit
Sistem seleksi harus memastikan bahwa yang masuk adalah orang-orang yang memiliki integritas dan motivasi untuk melayani masyarakat.
2. Pelatihan Etika dan Moral yang Ketat
Pendidikan selama masa pelatihan harus fokus pada pengabdian, integritas, dan semangat melayani.
3. Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Tegas
Mekanisme pengawasan internal harus bekerja secara independen, dengan hukuman berat bagi pelanggaran.
4. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat
Masyarakat harus dididik untuk menolak budaya korupsi dan menuntut akuntabilitas dari aparat.
5. Perubahan Budaya Institusi
Nilai-nilai feodal dan mentalitas gagah-gagahan harus diganti dengan budaya pelayanan dan profesionalisme.
Meski tantangannya besar, perubahan ini perlu dilakukan untuk memastikan tentara dan polisi benar-benar menjadi pelayan masyarakat, bukan justru menjadi pihak yang memperburuk keadaan.
Halo pak ariyanto penasehat/pelindun polri
Pak aryanto sudah mulai merakyat
Bicara Apa Dia Ini Anggota Komisi Satu👎👎👎
Pak yoyok ngomong opo kui😂😂 muter²😂
aku sebenarnya kasian sama polisi , mau jadi polisi aja udah bayar biaya jutajutaAn , Tapi dinasehatin biar lebih baik masi aja ngeyel. Sekarang malah jadi bahan hinaAn rakyat
Pak aryanto ini kalau bicara pintar tapi faktanya sudah berapa rakyat ditembak aparat bahkan anak dibawah umur seperti disemarang
Pak riyanto cek son lgi
lebih bagus gelangnya dari pada omongannya pak menteri ham😂
Penasehat ahli punya pendapat yg lucu
Terus polri nya bebas bawa senjata api gitu?🤪🤪 Pengamat ini mantan polisi,
Bapak Mayor....😂😂😂😂 bapak macam gak tau aja.
Bapa bicara lurus pake kacamata kuda 😂
Prajurit masuk memang tes psikologi tapi klo 300 juta maju...biar gak lulus tetap lolos pak 😂😂
Buat apa si Aryanto dikasih panggung lagi??
Aturan bukan kepada militer atau polisi saja, tapi harus belaku kepada seluruh warga negara, karena semua orang bisa membunuh, lantas kalau ada yang mengacam untuk membunuh petugas, terus bisa seenaknya.
bubar kan saja kaporli penjajah rakyat ,bukan nya mengayomi .
Walahh ngomong apa mending ngopiii lurr
dari kajian eryanto ini selalu menyipang, dan selalu salah Besar, buwang aja dari penasehat Kapolri , buwang2 uwang negara saja, eryato ini 30 th di Penegakan hukum, tapi klarifikasinya, selalu jauh menyimpang,
yang jelas SDM nya rendah...aparat kalau sdmnya rendah susah untuk berubah sampai kiamat pun.aturan2 untuk aparat sudah ada dan sudah benar kalau dijalankan.asalkan aparat itu yg sehat jasmani dan rohani.ingat jangan aparat yg setres,sakit jiwa,rabies ,sdm rendah,masuk aparat jalur benar tidak nyuap.