Sepakat soal bokeh sih, *terlalu banyak* yang latah sekedar biar dikata pro dengan mengecrotkan bokeh sebanyak-banyaknya di karya mereka, sekedar untuk menutupi kegagapan dalam menciptakan komposisi menarik, dan kebutaan pada visi dan identitas diri. Hasil dari pendekatan seperti itu biasanya adalah foto bokeh, yang kalau kita tarik bokehnya, sebenarnya biasa saja. Layaknya banyak penggiat "street photography" bermodal cewek cantik dan lensa tele bukaan besar yang banyak berseliweran di shorts,tik tok, dan reels.
Tapi kadang , orang memakai bukaan besar itu juga karna kemampuan kamera yg terbatas, terutama kondisi low light, dimana kalau bukaan di kecilkan maka komprominya iso harus dinaikkan yg akhirnya noise bisa muncul. Tapi juga setuju bang, belakangan saya lebih selektif lagi pas pakai bukaan lensa. Intinya lihat sikon
Bukaan besar tujuan awalnya memang bukan untuk bokeh sih, bokeh itu hanya efek samping. "Lensa bokeh" itu nama aslinya "lensa cepat" karena dengan menggunakan bukaan besar shutter speed kita bisa lebih *cepat.* Hal ini berguna ketika era film dulu, karena pertama iso menjadi satu dengan rol film yang dipakai sehingga tidak semudah digital dalam menggantinya, dan kedua karena sensitivitas rol film yang terbatas (rata-rata film yang beredar di pasaran iso-nya di 100-1600) jika dibandingkan digital.
Cerita sedikit Gw Freelance Fotografer di suatu kantor buat jurnalis foto Saat gw bawa kamera Sony A6400 (Mirrorless) katanya kurang profesional , namun ga pernah di komen saat gw bawa Canon 200D (DSLR), 😂 jujur hasil lebih baik Sony A6400 tapi kenapa mereka bilang kamera yang gw bawa yaitu Sony kurang profesional, Ternyata mereka melihat kamera DSLR yg lebih pro ketimbang kamera mirrorless yg lebih kecil 😂 karena ga mau debat , yaudah gw bawa gear 200D nya aja 😅
Tambahan dikit buat mitos lighting. Power besar bukan menjadi acuan semakin terang sebuah lighting. Pada dasarnya satuan watt hanya menentukan kebutuhan/efisiensi daya pada sebuah lighting. Akan tetapi satuan yang umum digunakan untuk mengukur cahaya adalah Lumen/Lux. Sumber dari Om Erwin Mulyadi saat membahas mitos flash di Infofotografi
Kalo DSLR diatas Mirorless udah bukan jamannya lagi sih. Coba ajja lu bandingin hasil Canon EOS 7D, 6D, 5D Mark II Sama EOS R ajja kebanting itu hahahah. Ya kalo Make 5D Mark IV baru agak ngejar. Itupun EOS R masih unggul di beberapa titik kalo ngelawan 5D Mark IV. Dan ingat Itu pun masih EOS R yak, belom ngomongin R6, R5, R6 Mark II. Kecuali lu bandingninnya ama seri 1DX Mark II atau Mark III, ya pasti kebanting itu R series selain R3. Buat Manual atau Auto, lalu Apetture serta megapixel itu tergantung kebutuhan sih. Adakalanya emang paling pas make Manual, ada juga mending Auto ajja. Gua pribadi lebih prefer segitiga exposure manual, nah focusnya di auto ajja. Kecuali di beberapa case yang emang mending manual focus. Begitupun Appeture, tiap Appeture ada peruntukannya masing masing. Kadang harus make f/4, f/8. Gak melulu f/1.2, f/1.8, atau f/2.8 tergantung keperluan. Untuk Megapixel menurut gua sejauh ini 20-30an udah cukup untuk sebagian besar skenario kerja. Lebih dari itu bakal ngebebanin memory sih ya, kecuali emang butuh buat cetak besar atau croping parah karena Focal Length lensa kurang.
dslr dengan dslm emang bukan buat adu hasil akhirnya sih. Kalo ngebandingin dslr dengan dslm harusnya ke teknologi dan sesuatu yang ngedukung kompatibilitas, bisa ini itu hanya dengan satu port dan software nya misalnya. karena mirrorless/tanpa kaca sejatinya menghilangkan/memangkas sesuatu part yang tidak d butuhkan dan tergantikan oleh teknologi terbaru... kan dulu sampai sekarang sih, kalo mau jual kamera harus kasi detail SC/shutter count yang takutnya nanti sc habis ga bisa buat foto malah harus service dulu 😂 tapi yah d fullframe masih ada yang pake sutterblade atau tirai. mhhh untuk apsc udah jarang terlihat si sutterblade..
ada lagi sih mitosnya dan pernah kena di saya kamera murah ga usah sok sok ngejob foto lah Padahal klo kamera basic tapi bisa kontrol kelemahannya, ya tetep bagus aja hasilnya
Dan begitu sebaliknya, kalo orang nya yang gak ngerti cara pake kamera padahal kamera nya udah yang mahal punya ya sama aja bo’ong wkwkwk Gw jadi inget kata2 om Darwis Triadi waktu dia di interview sama CNN Indonesia pas dia dipilih jadi fotografer nya pak Jokowi & pak Ma’ruf Amin, disitu dia bilang “kegagalan sebuah foto itu bukan dari siapa yang di foto, tapi yang motret.”. Ya walaupun agak gak nyambung, tapi masih relate banget sama hal gear/kamera yang kita pake. Intinya jangan malu sama gear yang kita pake (apalagi buat pemula), yang penting kita bisa menanggulangi kelemahan itu dan menjadikan itu sebagai “kekuatan”. Upgrade gear bakal akan terikuti seiring dengan skill dan tentu aja rejeki kita yang bertambah😃👍
Iya kak, saya di thn 2024 ini pakai kamera sony 6400 kyak minder kalau ada org pakai kamera bagus, tp yg penting skil dan pengalaman cari gmn gear kita aja wes
Ada benarnya, tapi ibarat mobil balap, kalau drivernya gak jago, yaa gak bakal maksimal. Fotografer ahli tentu akan bisa menghasilkan karya bagus dengan alat paling sederhana, maka bayangkan kalau dia diberikan alat yang hebat.
"Megapixel tinggi = kamera bagus" Berarti HP yang megapixel-nya gila-gilaan itu... "DSLR lebih oke" Yang nyebarin di tahun ini pasti pemakai Pentax (yang masih bikin DSLR) "Profesional pake mode manual" Bahkan dalam kondisi ngejar momen (dimana kamu ga ada waktu buat ngatur settingan) sekalipun? Atau mungkin dia mikirnya kalau semua foto harus diambil secara 'intentional', dan settingan semua preset (diatur dari awal, lalu ga pernah diganti) "Weather sealed bukan waterproof" Ya iyalah belum ada mirrorless yang punya IP rating (dulu pernah ada kamera mirrorless Nikon 1 AW1 yang anti air kalau dipake lensa yang anti air juga) "Penggunaan lensa bukaan terbesar" Pasti pecinta bokeh, padahal ga semua butuh latar belakang blur (pasti mereka jadi target market-nya lensa bukaan ekstrim (bahkan sampe f/0.95))
Sebenarnya bahkan menggunakan mode auto pun tetap bisa dikatakan intetional, kalau dilakukan dengan pengetahuan yang mendalam mengenai cara kerjanya sehingga hasil yang diinginkan tetap dapat diprediksi.
Numpang tanya om,saya ada dana 6jt kira² kalau kebutuhan untuk foto² bukan untuk video lebih rekomended mirrorless atau DSLR...? Jujur bingung mau ambil mana antara sony a6000 atau canon 7D.
bang mau tanya kenapa di ig tukang service kamera kebanyakan yg rusak kamera mirroless profesional. jarang terlihat yg rusak kamera dslr. apakah ketahanan jangka panjang kamera mirrorless se rapuh itu ? contoh kamera canon 6d yg saya beli second thn 2014 masih bagus dan baik dng pemakaian untuk photo wedding tiap weekend, sedangkan bbrapa tmn saya beli kamera mirrorless pro dari baru bnyak yg umur baru 5 thn ada yg sdh rusak.
Umur barang elektronik itu gak ketebak sih. Sangat mungkin anda beruntung dapat kamera yang awet. Pertimbangkan juga faktor bahwa saat ini kamera paling banyak di pasaran itu mirrorless, setidaknya secara penjualan, sehingga potensi kerusakan juga akan makin tinggi terjadi, karena populasinya lebih banyak.
Fakta, hingga kini, mungkin: shoot per/ Battery masih unggul DSLR. sudah 3 tahun pindah ke mirrorles namun tetapbelum terbiasa dengan battery lifenya. Billa sedang membawa model MRLS dengan batery besar/model terbaru lebih berat dari DSLR counterpart. seharian hunting dengan DSLR 2 battery nyisa, MRLS 4 batery kurang. dan soal moving part: TTF mirrorless sepengalaman masih lebih rendah. MRLS shutter stuck/macet di 70K up berjajar di etalase tukang service. ntah kualitas part, performa/beban kerja atau ruang yang terbatas di dalam body membuatnya demikian
Katanya sih karena DSLR masih pake OVF (yang hampir nggak makan batere) Dan juga masalahnya: nggak ada lagi pembuat kamera yang bikin DSLR baru (kecuali Pentax)
Sy ada nikon d750, barusan ganti batre ke nikon en-el15c (batrenya z6ii) seharian wedding (kurleb hampir 2000 jepret) cuman kurang 2 bar, dan di z6ii sendiri udah habis batre ke 2, dan masalah durabilty, ini d750 udah 6 tahun dan shutter count udah hampir 500 rb tapi belum mati2 juga 😂
Pernyataan ini ada benarnya, gak mitos-mitos amat. _You win some, you lose some._ Yang salah itu memilih atau mendewakan kamera hanya berdasarkan ukuran sensornya. Padahal sebuah sistem kamera itu sangat kompleks, gak hanya ukuran sensor, ada fitur-fitur di bodynya, pilihan lensa, sampai ke harga yang patut dipertimbangkan.
Sebagai pengguna lumix S5, full manual malah buat report untungnya ada pengaturan preset Sama 1 lagi TIDAK PERLU PAKAI FILTER.. padahal filter juga sebagai shield dari lens
Menambahkan sesuatu di depan lensa bisa mempengaruhi kualitas gambar. Kalau tujuannya untuk melindungi lensa tentu tidak salah, tapi pastikan filter yang dipakai kualitasnya baik sehingga tidak mengurangi kualitas gambar. Kalau yang dipasang filter uv 20 ribuan, saya rasa mending dipasang lens hood aja, karena bisa melindungi juga.
kok audionya kurang mantab ya bang, nggak seperti video-video review yang sebelumnya ya bang. soalnya suaranya agak cempereng & kurang bass audionya, beda kyk biasanya...
@@nandanabhaktikhaer4543 Yaa intinya ada yang bilang bahwa shutter count = nyawa kamera. Makin tinggi shutter count, makin pendek umurnya. Tidak sepenuhnya salah, karena makin sering beroperasi, makin rentan sebuah mekanisme untuk mengalami kerusakan. Tapi, variasinya itu banyak banget, ada yang baru 2000 udah bermasalah, ada yang sudah 100.000 aman jaya. Artinya, shutter count gak bisa murni dijadikan patokan umur kamera. Shutter count hanya bisa memberikan informasi mengenai seberapa sering mekanisme shutter digunakan, itu saja.
mungkin ada beberapa point yg agak kurang di pandangan gw win dan kali aja ada yg berpikiran sama. Gw agak kurang sreg waktu dnger pembahasan mitos soal 'profesional harus manual'. Tidak salah, apa yg lu bilang bner kok itu. But as a wedding photographer, dan berkaca dgn apa yg terjadi di lapangan, mode manual malah membuat workflow kerja lebih fleksibel. Bukan berarti auto itu jelek, jelas tidak. Mungkin ada yg terbiasa menggunakan auto ISO dll. Jadi ini opini yg sangat subjektif sekali, tergantung nyaman tidaknya saat penggunaan. Kedua soal penggunaan bukaan besar malah terlihat seperti pemula. Disini menurut gw sangat subjektif lg. Mungkin gwnya yg masuk kategori Bokeh Obsession td atau gmn ntahlah wkwk. Tapi dsni kita berbicara soal karya, yg termasuk seni. Yg dimana masing2 personal mungkin memiliki style mreka masing2. Termasuk penggunaan bukaan besar di foto atau videonya yg intensitasnya lebih banyak drpda bukaan kecil. Bukan berarti terlihat pemula dong. Yg penting orng tersebut mengerti fungsi dari bukaan besar itu. Ntah mau buat dramatic looks atau semacamnya. tp ya balik lg ini semua pun pendapat subjektif yg gw rasakan selama ini.
Berarti bukan kurang sebenarnya, poinnya bener kok, tinggal nangkapnya aja gimana. Misalnya soal mode manual, yang salah itu bukan mode manualnya atau yang hanya bisa pakai auto, melainkan mereka yang sebenarnya gak ngerti dengan apa yang harus mereka lakukan, tapi ikut-ikutan aja. Kalau memang cocok dengan manual yaa gak masalah, tapi bukan berarti baru pro kalau pakai manual. Poin utamanya itu. Begitu juga soal bokeh. Bukannya gak boleh bokeh, bukan itu poinnya. Tapi banyak yang sekedar bokeh biar dikata pro, padahal pro itu tahu menggunakan elemen-elemen dalam segitiga eksposur untuk mengekspresikan visinya. Kalau visi yang ingin dicapai hanya bisa dimungkinkan dengan bukaan sebesar mungkin, yaa silahkan. Yang masalah itu kalau latah, giliran foto katalog pakai bukaan f/1.2, yaa barangnya jadi gak fokus malah pembeli gak bisa menilai barang tersebut.
@@paceyombex memang dsni jelas ga ada yg salah atau benar sih bro. Balik ke bagaimana pandangan masing2 aja. Thats why gw bilang itu semua subjektif. Even dgn perumpamaan foto catalog dgn f1.2 pun tidak bisa di salahkan kalau memang style foto yg bersangkutan seperti itu. Sah sah aja. Balik ke apa yg mau di tunjukkan saja. Selama pengguna nyaman dan hasil yg didapat sesuai, apa yg terjadi di belakang layar ga bisa di cap pro dan tidak pronya seseorang.
@@dhikawd3809 dan videonya pun tidak bilang bahwa benar atau salah, yang salah itu kalau gak mengerti. saya sering pakai bukaan besar juga, begitupun bukaan kecil, karena saya melakukannya dengan intensi tertentu, gak sekedar biar bokeh. Coba dipahami lagi deh. Atau kalau misalnya merasa kesenggol yaa, jangan dimasukkan ke hati, dijadikan bahan introspeksi aja. Harusnya kalau kita melakukan segala sesuatu dalam fotografi itu dengan intensi tertentu dan didasari dengan pengetahuan, gak bakal kesinggung dengan video ini, karena dari awal memang gak ada kata menyalahkan dari bang Erwin. Dari awal sangat jelas yang diomongin ini mereka yang gagap dan melakukan sesuatu sekedar biar dikata pro semata. Terkait foto katalog, saya sih gak pernah nemu yaa ada fotografer katalog yang ngambil di f/1.2, bahkan beberapa foto katalog yang pernah saya kerjakan juga gak pernah diambil dengan bukaan terbesar. Karena apa? Katalog itu tujuannya untuk memberikan gambaran sejelas mungkin mengenai produk kepada pembeli. Justru dengan bukaan besar, bokehnya akan menggangu pembeli untuk mendapatkan gambaran lengkap dari suatu produk. Saya sih gak pernah lihat katalog merk-merk ternama yang diambil pakai bukaan f/1.2 yaa, mau itu jam tangan, birkin bag, atau produk lainnya. Kecuali kita bicara editorial, di situ fotografer bisa lebih bebas mengekspresikan dirinya, bahkan abstrak pun diperbolehkan.
@@paceyombex ya saya pun tidak ada menyalahkan statement di video. Mungkin bisa di baca ulang commentnya. Saya hanya menyampaikan apa yg menurut saya kurang berkenan dan semuanya hanya subjektif ( sudah tertera juga di akhir comment ). Balik lg sih seperti yg saya bilang bro, proses di belakang layar itu tergantung dr personal aja. Mau foto catalog pakai f brp pun, selama tujuan tercapai, client puas, untuk apa berdebat kalau tekniknya yg di pakai salah, benar, biasa atau tidak biasa?
@@dhikawd3809 Justru tidak berkenannya anda itu yang saya komentari, karena poinnya sangat berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan dalam video. Jelas poin yang disampaikan adalah, pahami apa yang mau dilakukan, jangan ikut-ikutan. Justru dengan respon begitu, kesannya malah anda merasa kesenggol. Memang pada akhirnya kalau klien membayar dan puas, caranya tidak masalah. Hanya saja, saya gak menemukan alasan logis maupun yang berdasarkan pada ilmu dari "motret katalog dengan bukaan f/1.2" karena kalau merk high end saja tidak begitu, artinya ada alasannya. Coba dijelaskan? Kurang cahaya? Motret katalog kan sangat mudah dikontrol situasinya, bahkan sangat biasa menggunakan tripod untuk mendapatkan ketajaman maksimal. Biar bokeh? Malah objeknya jadi gak jelas. Ketajaman maksimal lensa juga bukan berada di bukaan terbesarnya. Justru perilaku seperti ini yang dikritisi dalam video. Melakukan sesuatu tanpa intensi, termasuk selalu menggunakan bukaan terbesar, justru menunjukkan bahwa seseorang itu masih pemula. Karena mereka belum memahami sepenuhnya, baik mengenai teknis, alat mereka, atau tujuan yang ingin dicapai.
KADANG SOTOY INI ORANG. Faktanya : "Megapixel besar kalo pakai teknologi BSI udah pasti tetep detail dan gak noise". Gue setuju kalo mirrorless lebih reliable daripada dslr.
Gak juga sih, kalo dibandingin di spek yang sama, misalkan sama2 BSI dan punya ukuran sensor yg sama juga, emang yg megapixel lebih besar condong lebih banyak noise. Emang ga sebanyak sensor yg biasa, tapi kalo di bandingin dengan sensor teknologi yg sama, sensor resolusi lebih tinggi bakal lebih noise dari versi yg resolusinya lebih rendah. Karena emang ukuran perpixelnya gabisa diboongin, logika dasar aja. Jadi yang sotoy elu berarti
@@dikimulyana2365 kamera lo pakai teknologi BSI gak ? Udah pernah coba ? Gue pakai yang BSI di compare dengan non BSI, yang BSI dynamic range dan detailnya tetep lebih bagus. Gue pakai megapixel besar juga, gak cuman 24 mp.
@@paceyombex emang BSI dan non BSI jelas beda. Itu reviewer-nya bilang kalo kamera megapixel yang besar pasti : ada noise, gak detail dll. Padahal yang pakai teknologi BSI, megapixel besarpun tetep ok. Coba lo dengerin lagi. Itu reviewer main gearnya pakai apsc, belum coba real review long term pakai full frame yang BSI.
Sepakat soal bokeh sih, *terlalu banyak* yang latah sekedar biar dikata pro dengan mengecrotkan bokeh sebanyak-banyaknya di karya mereka, sekedar untuk menutupi kegagapan dalam menciptakan komposisi menarik, dan kebutaan pada visi dan identitas diri.
Hasil dari pendekatan seperti itu biasanya adalah foto bokeh, yang kalau kita tarik bokehnya, sebenarnya biasa saja. Layaknya banyak penggiat "street photography" bermodal cewek cantik dan lensa tele bukaan besar yang banyak berseliweran di shorts,tik tok, dan reels.
Tapi kadang , orang memakai bukaan besar itu juga karna kemampuan kamera yg terbatas, terutama kondisi low light, dimana kalau bukaan di kecilkan maka komprominya iso harus dinaikkan yg akhirnya noise bisa muncul.
Tapi juga setuju bang, belakangan saya lebih selektif lagi pas pakai bukaan lensa. Intinya lihat sikon
Bukaan besar tujuan awalnya memang bukan untuk bokeh sih, bokeh itu hanya efek samping.
"Lensa bokeh" itu nama aslinya "lensa cepat" karena dengan menggunakan bukaan besar shutter speed kita bisa lebih *cepat.* Hal ini berguna ketika era film dulu, karena pertama iso menjadi satu dengan rol film yang dipakai sehingga tidak semudah digital dalam menggantinya, dan kedua karena sensitivitas rol film yang terbatas (rata-rata film yang beredar di pasaran iso-nya di 100-1600) jika dibandingkan digital.
Cerita sedikit
Gw Freelance Fotografer di suatu kantor buat jurnalis foto
Saat gw bawa kamera Sony A6400 (Mirrorless) katanya kurang profesional , namun ga pernah di komen saat gw bawa Canon 200D (DSLR), 😂 jujur hasil lebih baik Sony A6400 tapi kenapa mereka bilang kamera yang gw bawa yaitu Sony kurang profesional,
Ternyata mereka melihat kamera DSLR yg lebih pro ketimbang kamera mirrorless yg lebih kecil 😂 karena ga mau debat , yaudah gw bawa gear 200D nya aja 😅
Bayangin kalau kamu kasih tau mereka kalau sekarang pabrikan kamera nggak bikin DSLR baru lagi (kecuali Pentax)?
Padahal kalo di kasih tau harganya mesti mereka kaget..
_Bigger is better mentality_ sayangnya merupakan sesuatu yang cukup umum.
Tambahan dikit buat mitos lighting.
Power besar bukan menjadi acuan semakin terang sebuah lighting. Pada dasarnya satuan watt hanya menentukan kebutuhan/efisiensi daya pada sebuah lighting. Akan tetapi satuan yang umum digunakan untuk mengukur cahaya adalah Lumen/Lux.
Sumber dari Om Erwin Mulyadi saat membahas mitos flash di Infofotografi
betul, makanya reviewer harusnya punya lux meter untuk test produknya sampai dimana intensitas pada jarak ukur tertentu
Kalo DSLR diatas Mirorless udah bukan jamannya lagi sih. Coba ajja lu bandingin hasil Canon EOS 7D, 6D, 5D Mark II Sama EOS R ajja kebanting itu hahahah. Ya kalo Make 5D Mark IV baru agak ngejar. Itupun EOS R masih unggul di beberapa titik kalo ngelawan 5D Mark IV. Dan ingat Itu pun masih EOS R yak, belom ngomongin R6, R5, R6 Mark II. Kecuali lu bandingninnya ama seri 1DX Mark II atau Mark III, ya pasti kebanting itu R series selain R3.
Buat Manual atau Auto, lalu Apetture serta megapixel itu tergantung kebutuhan sih. Adakalanya emang paling pas make Manual, ada juga mending Auto ajja. Gua pribadi lebih prefer segitiga exposure manual, nah focusnya di auto ajja. Kecuali di beberapa case yang emang mending manual focus. Begitupun Appeture, tiap Appeture ada peruntukannya masing masing. Kadang harus make f/4, f/8. Gak melulu f/1.2, f/1.8, atau f/2.8 tergantung keperluan. Untuk Megapixel menurut gua sejauh ini 20-30an udah cukup untuk sebagian besar skenario kerja. Lebih dari itu bakal ngebebanin memory sih ya, kecuali emang butuh buat cetak besar atau croping parah karena Focal Length lensa kurang.
dslr dengan dslm emang bukan buat adu hasil akhirnya sih. Kalo ngebandingin dslr dengan dslm harusnya ke teknologi dan sesuatu yang ngedukung kompatibilitas, bisa ini itu hanya dengan satu port dan software nya misalnya. karena mirrorless/tanpa kaca sejatinya menghilangkan/memangkas sesuatu part yang tidak d butuhkan dan tergantikan oleh teknologi terbaru...
kan dulu sampai sekarang sih, kalo mau jual kamera harus kasi detail SC/shutter count yang takutnya nanti sc habis ga bisa buat foto malah harus service dulu 😂 tapi yah d fullframe masih ada yang pake sutterblade atau tirai. mhhh untuk apsc udah jarang terlihat si sutterblade..
ada lagi sih mitosnya dan pernah kena di saya
kamera murah ga usah sok sok ngejob foto lah
Padahal klo kamera basic tapi bisa kontrol kelemahannya, ya tetep bagus aja hasilnya
Dan begitu sebaliknya, kalo orang nya yang gak ngerti cara pake kamera padahal kamera nya udah yang mahal punya ya sama aja bo’ong wkwkwk
Gw jadi inget kata2 om Darwis Triadi waktu dia di interview sama CNN Indonesia pas dia dipilih jadi fotografer nya pak Jokowi & pak Ma’ruf Amin, disitu dia bilang “kegagalan sebuah foto itu bukan dari siapa yang di foto, tapi yang motret.”. Ya walaupun agak gak nyambung, tapi masih relate banget sama hal gear/kamera yang kita pake. Intinya jangan malu sama gear yang kita pake (apalagi buat pemula), yang penting kita bisa menanggulangi kelemahan itu dan menjadikan itu sebagai “kekuatan”. Upgrade gear bakal akan terikuti seiring dengan skill dan tentu aja rejeki kita yang bertambah😃👍
iyah, emangnya harus pake kamera mahal melulu.
Iya kak, saya di thn 2024 ini pakai kamera sony 6400 kyak minder kalau ada org pakai kamera bagus, tp yg penting skil dan pengalaman cari gmn gear kita aja wes
Akhirnya paham tentang arti Weather Shield yg sesungguhnya, terimakasih Bang Erwin 🙏😀
alhamdulillah bodohku ada obatnya... banyak2in konten macam ini bang. wkwkwkw
Mantab bang erwin,, info yg sgt membantu,,penjelasannya jg enak,, sukses trus buat esteh🍻✨
"Semakin mahal kameranya, semakin bagus hasilnya,," - Orang2 kantor yang pake Sony A7C, A6400, A6000, tapi gambarnya masih blur
Ngantor dimana tuh gambarnya bisa masih blur? Mana sombong soal mahal lagi padahal yg paling tinggi 6400
eh tapi emang betul bang, di pns kebanyakan bgitu..
Jmn dlu d kmps gw aja org yg pnya kamera digital mahal blm tentu bgs hasil ujiannya krna d haruskan pake analog manual yg pake film 😂
Ada benarnya, tapi ibarat mobil balap, kalau drivernya gak jago, yaa gak bakal maksimal.
Fotografer ahli tentu akan bisa menghasilkan karya bagus dengan alat paling sederhana, maka bayangkan kalau dia diberikan alat yang hebat.
mungkin yg pake gagap om
"Megapixel tinggi = kamera bagus"
Berarti HP yang megapixel-nya gila-gilaan itu...
"DSLR lebih oke"
Yang nyebarin di tahun ini pasti pemakai Pentax (yang masih bikin DSLR)
"Profesional pake mode manual"
Bahkan dalam kondisi ngejar momen (dimana kamu ga ada waktu buat ngatur settingan) sekalipun?
Atau mungkin dia mikirnya kalau semua foto harus diambil secara 'intentional', dan settingan semua preset (diatur dari awal, lalu ga pernah diganti)
"Weather sealed bukan waterproof"
Ya iyalah belum ada mirrorless yang punya IP rating (dulu pernah ada kamera mirrorless Nikon 1 AW1 yang anti air kalau dipake lensa yang anti air juga)
"Penggunaan lensa bukaan terbesar"
Pasti pecinta bokeh, padahal ga semua butuh latar belakang blur (pasti mereka jadi target market-nya lensa bukaan ekstrim (bahkan sampe f/0.95))
Sebenarnya bahkan menggunakan mode auto pun tetap bisa dikatakan intetional, kalau dilakukan dengan pengetahuan yang mendalam mengenai cara kerjanya sehingga hasil yang diinginkan tetap dapat diprediksi.
Numpang tanya om,saya ada dana 6jt kira² kalau kebutuhan untuk foto² bukan untuk video lebih rekomended mirrorless atau DSLR...?
Jujur bingung mau ambil mana antara sony a6000 atau canon 7D.
skip 1:37
bang mau tanya kenapa di ig tukang service kamera kebanyakan yg rusak kamera mirroless profesional. jarang terlihat yg rusak kamera dslr. apakah ketahanan jangka panjang kamera mirrorless se rapuh itu ?
contoh kamera canon 6d yg saya beli second thn 2014 masih bagus dan baik dng pemakaian untuk photo wedding tiap weekend, sedangkan bbrapa tmn saya beli kamera mirrorless pro dari baru bnyak yg umur baru 5 thn ada yg sdh rusak.
Umur barang elektronik itu gak ketebak sih. Sangat mungkin anda beruntung dapat kamera yang awet.
Pertimbangkan juga faktor bahwa saat ini kamera paling banyak di pasaran itu mirrorless, setidaknya secara penjualan, sehingga potensi kerusakan juga akan makin tinggi terjadi, karena populasinya lebih banyak.
Sukses Defisit Kalorinya Ini Namanya....
Suka nih bang konten kayak gini 🙌🏻 sering" upload video kayak gini 😎
Viltrox 27 mm f 1.2 uda rilis bang
Fakta, hingga kini, mungkin: shoot per/ Battery masih unggul DSLR.
sudah 3 tahun pindah ke mirrorles namun tetapbelum terbiasa dengan battery lifenya. Billa sedang membawa model MRLS dengan batery besar/model terbaru lebih berat dari DSLR counterpart. seharian hunting dengan DSLR 2 battery nyisa, MRLS 4 batery kurang.
dan soal moving part: TTF mirrorless sepengalaman masih lebih rendah. MRLS shutter stuck/macet di 70K up berjajar di etalase tukang service. ntah kualitas part, performa/beban kerja atau ruang yang terbatas di dalam body membuatnya demikian
Katanya sih karena DSLR masih pake OVF (yang hampir nggak makan batere)
Dan juga masalahnya: nggak ada lagi pembuat kamera yang bikin DSLR baru (kecuali Pentax)
Sy ada nikon d750, barusan ganti batre ke nikon en-el15c (batrenya z6ii) seharian wedding (kurleb hampir 2000 jepret) cuman kurang 2 bar, dan di z6ii sendiri udah habis batre ke 2, dan masalah durabilty, ini d750 udah 6 tahun dan shutter count udah hampir 500 rb tapi belum mati2 juga 😂
Mitos nomor 6; "sensor yang lebih besar selalu lebih bagus"
Pernyataan ini ada benarnya, gak mitos-mitos amat. _You win some, you lose some._
Yang salah itu memilih atau mendewakan kamera hanya berdasarkan ukuran sensornya. Padahal sebuah sistem kamera itu sangat kompleks, gak hanya ukuran sensor, ada fitur-fitur di bodynya, pilihan lensa, sampai ke harga yang patut dipertimbangkan.
Betul, apalagi sudah digital, chip Prosesor kamera sangat berefek kepada kualitas akhir. Apalagi udah jaman AI.
Sebagai pengguna lumix S5, full manual malah buat report untungnya ada pengaturan preset
Sama 1 lagi TIDAK PERLU PAKAI FILTER.. padahal filter juga sebagai shield dari lens
Menambahkan sesuatu di depan lensa bisa mempengaruhi kualitas gambar. Kalau tujuannya untuk melindungi lensa tentu tidak salah, tapi pastikan filter yang dipakai kualitasnya baik sehingga tidak mengurangi kualitas gambar.
Kalau yang dipasang filter uv 20 ribuan, saya rasa mending dipasang lens hood aja, karena bisa melindungi juga.
berbagi pengalaman pakai A7RIII yang gak sengaja masuk ke laut full, langsung diambil dan ditiriskan. syukur masih bisa hidup.
kok audionya kurang mantab ya bang, nggak seperti video-video review yang sebelumnya ya bang. soalnya suaranya agak cempereng & kurang bass audionya, beda kyk biasanya...
Bang, bikin konten tutor landscape photography pakai sony zv 1 dong.
Makasih bang
Soal auto emang paling enak auto ISO, biasanya aku make 100-800 kalau dibutuhkan saat hunting street
cukup salah adalah kesalahan yang sudah cukup untuk membuktikan bahwa kesalahan yang belum cukup itu layak untuk tidak disebut selah.
bang bahas lensa tt artisans 100 mm f2,8 yg bubble bokeh dong
Libur dulu beli kamera nya, tiap hari beli kamera melulu.
Yah gak beli 5 lagi bro?
@@dikimulyana2365 lagi libur dulu, besok kalau upload tetang kamera lagi, langsung gassspoll besok langsung beli 5.
Lagi jalan2 ke Itali bawa lensa fix f1, eh disuruh mamah fotoin ala2 nahan menara miring Pisa 😢.
mantab , nahan menara pizza berasa nahan blur jav 😢
Foto 2x, 1 background 1 forground, mix di post.
Kurang banyak bang mitosnya wkwk
Kalau main di Ranah minang bang???
Bukannya megapixel kecil jadi per pixelnya lebih besar?
Kebalik ga tuh 3:23
Nggk dia bener loee yg nggk paham
Makin kecil ya berarti jumlahnya bisa makin banyak dong.
@@yohanesputra7913 hahah iya nih bang maaf masih noob
@@MaliuntinuvuVlog oh gitu ya om?
Iya salah ngomong itu, megapixel lebih rendah yg bener ukuran per pixelnya akan lebih besar
Ada gak ya kamera yg waterproof ip68?
Beberapa action cam ada
Dulu ada Nikon 1 AW1
@@paceyombex kalo action cam mah gak usah ditanya wkwkwk. Yang dimaksud itu kamera DSLR/mirrorless
harusnya membahas mitos super kebodohan yaitu "shutter count" wkwkkwkw .bnyak yg ngaco soal shuter count d jadiin patokan mutlak sbuah kndisi camera
Udah sempet dibahas keknya
Wkwkwkwk shutter count bisa abis
Sensor nggak dimasukin nih 😄
DSLR are dead mas Erwin, DSLR Is dead system:v😂
kenapa gak ada mitos kalo batre gak dicabut bisa jadi penyebab layar jadi vignet?
jadi itu mitos ya bang?
Terkadang dapat job requestnya yang bokeh" om, apa boleh buat? selama itu permintaan yaa kita turuti.
"niat Moto mobil yang kena lampu ny doang" njirrr lucu banget.
kurusan nih ges
13:47 Si paling Bokeh
Bayangin mereka tau kalo Stanley Kubrick pake lensa f/0.7
ko gak bahas shutter count bang
Dulu pernah, dah bosan mungkin 🤭
emang bunyi mitosnya gimana bang?@@paceyombex
@@nandanabhaktikhaer4543 Yaa intinya ada yang bilang bahwa shutter count = nyawa kamera. Makin tinggi shutter count, makin pendek umurnya.
Tidak sepenuhnya salah, karena makin sering beroperasi, makin rentan sebuah mekanisme untuk mengalami kerusakan. Tapi, variasinya itu banyak banget, ada yang baru 2000 udah bermasalah, ada yang sudah 100.000 aman jaya. Artinya, shutter count gak bisa murni dijadikan patokan umur kamera. Shutter count hanya bisa memberikan informasi mengenai seberapa sering mekanisme shutter digunakan, itu saja.
mungkin ada beberapa point yg agak kurang di pandangan gw win dan kali aja ada yg berpikiran sama.
Gw agak kurang sreg waktu dnger pembahasan mitos soal 'profesional harus manual'. Tidak salah, apa yg lu bilang bner kok itu. But as a wedding photographer, dan berkaca dgn apa yg terjadi di lapangan, mode manual malah membuat workflow kerja lebih fleksibel. Bukan berarti auto itu jelek, jelas tidak. Mungkin ada yg terbiasa menggunakan auto ISO dll. Jadi ini opini yg sangat subjektif sekali, tergantung nyaman tidaknya saat penggunaan.
Kedua soal penggunaan bukaan besar malah terlihat seperti pemula. Disini menurut gw sangat subjektif lg. Mungkin gwnya yg masuk kategori Bokeh Obsession td atau gmn ntahlah wkwk. Tapi dsni kita berbicara soal karya, yg termasuk seni. Yg dimana masing2 personal mungkin memiliki style mreka masing2. Termasuk penggunaan bukaan besar di foto atau videonya yg intensitasnya lebih banyak drpda bukaan kecil. Bukan berarti terlihat pemula dong. Yg penting orng tersebut mengerti fungsi dari bukaan besar itu. Ntah mau buat dramatic looks atau semacamnya.
tp ya balik lg ini semua pun pendapat subjektif yg gw rasakan selama ini.
Berarti bukan kurang sebenarnya, poinnya bener kok, tinggal nangkapnya aja gimana.
Misalnya soal mode manual, yang salah itu bukan mode manualnya atau yang hanya bisa pakai auto, melainkan mereka yang sebenarnya gak ngerti dengan apa yang harus mereka lakukan, tapi ikut-ikutan aja. Kalau memang cocok dengan manual yaa gak masalah, tapi bukan berarti baru pro kalau pakai manual. Poin utamanya itu.
Begitu juga soal bokeh. Bukannya gak boleh bokeh, bukan itu poinnya. Tapi banyak yang sekedar bokeh biar dikata pro, padahal pro itu tahu menggunakan elemen-elemen dalam segitiga eksposur untuk mengekspresikan visinya. Kalau visi yang ingin dicapai hanya bisa dimungkinkan dengan bukaan sebesar mungkin, yaa silahkan. Yang masalah itu kalau latah, giliran foto katalog pakai bukaan f/1.2, yaa barangnya jadi gak fokus malah pembeli gak bisa menilai barang tersebut.
@@paceyombex memang dsni jelas ga ada yg salah atau benar sih bro. Balik ke bagaimana pandangan masing2 aja. Thats why gw bilang itu semua subjektif. Even dgn perumpamaan foto catalog dgn f1.2 pun tidak bisa di salahkan kalau memang style foto yg bersangkutan seperti itu. Sah sah aja. Balik ke apa yg mau di tunjukkan saja. Selama pengguna nyaman dan hasil yg didapat sesuai, apa yg terjadi di belakang layar ga bisa di cap pro dan tidak pronya seseorang.
@@dhikawd3809 dan videonya pun tidak bilang bahwa benar atau salah, yang salah itu kalau gak mengerti. saya sering pakai bukaan besar juga, begitupun bukaan kecil, karena saya melakukannya dengan intensi tertentu, gak sekedar biar bokeh.
Coba dipahami lagi deh. Atau kalau misalnya merasa kesenggol yaa, jangan dimasukkan ke hati, dijadikan bahan introspeksi aja. Harusnya kalau kita melakukan segala sesuatu dalam fotografi itu dengan intensi tertentu dan didasari dengan pengetahuan, gak bakal kesinggung dengan video ini, karena dari awal memang gak ada kata menyalahkan dari bang Erwin. Dari awal sangat jelas yang diomongin ini mereka yang gagap dan melakukan sesuatu sekedar biar dikata pro semata.
Terkait foto katalog, saya sih gak pernah nemu yaa ada fotografer katalog yang ngambil di f/1.2, bahkan beberapa foto katalog yang pernah saya kerjakan juga gak pernah diambil dengan bukaan terbesar. Karena apa? Katalog itu tujuannya untuk memberikan gambaran sejelas mungkin mengenai produk kepada pembeli. Justru dengan bukaan besar, bokehnya akan menggangu pembeli untuk mendapatkan gambaran lengkap dari suatu produk.
Saya sih gak pernah lihat katalog merk-merk ternama yang diambil pakai bukaan f/1.2 yaa, mau itu jam tangan, birkin bag, atau produk lainnya. Kecuali kita bicara editorial, di situ fotografer bisa lebih bebas mengekspresikan dirinya, bahkan abstrak pun diperbolehkan.
@@paceyombex ya saya pun tidak ada menyalahkan statement di video. Mungkin bisa di baca ulang commentnya. Saya hanya menyampaikan apa yg menurut saya kurang berkenan dan semuanya hanya subjektif ( sudah tertera juga di akhir comment ). Balik lg sih seperti yg saya bilang bro, proses di belakang layar itu tergantung dr personal aja. Mau foto catalog pakai f brp pun, selama tujuan tercapai, client puas, untuk apa berdebat kalau tekniknya yg di pakai salah, benar, biasa atau tidak biasa?
@@dhikawd3809 Justru tidak berkenannya anda itu yang saya komentari, karena poinnya sangat berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan dalam video. Jelas poin yang disampaikan adalah, pahami apa yang mau dilakukan, jangan ikut-ikutan.
Justru dengan respon begitu, kesannya malah anda merasa kesenggol.
Memang pada akhirnya kalau klien membayar dan puas, caranya tidak masalah. Hanya saja, saya gak menemukan alasan logis maupun yang berdasarkan pada ilmu dari "motret katalog dengan bukaan f/1.2" karena kalau merk high end saja tidak begitu, artinya ada alasannya. Coba dijelaskan? Kurang cahaya? Motret katalog kan sangat mudah dikontrol situasinya, bahkan sangat biasa menggunakan tripod untuk mendapatkan ketajaman maksimal. Biar bokeh? Malah objeknya jadi gak jelas. Ketajaman maksimal lensa juga bukan berada di bukaan terbesarnya.
Justru perilaku seperti ini yang dikritisi dalam video. Melakukan sesuatu tanpa intensi, termasuk selalu menggunakan bukaan terbesar, justru menunjukkan bahwa seseorang itu masih pemula. Karena mereka belum memahami sepenuhnya, baik mengenai teknis, alat mereka, atau tujuan yang ingin dicapai.
KADANG SOTOY INI ORANG. Faktanya : "Megapixel besar kalo pakai teknologi BSI udah pasti tetep detail dan gak noise". Gue setuju kalo mirrorless lebih reliable daripada dslr.
Gak juga sih, kalo dibandingin di spek yang sama, misalkan sama2 BSI dan punya ukuran sensor yg sama juga, emang yg megapixel lebih besar condong lebih banyak noise. Emang ga sebanyak sensor yg biasa, tapi kalo di bandingin dengan sensor teknologi yg sama, sensor resolusi lebih tinggi bakal lebih noise dari versi yg resolusinya lebih rendah. Karena emang ukuran perpixelnya gabisa diboongin, logika dasar aja. Jadi yang sotoy elu berarti
@@dikimulyana2365 kamera lo pakai teknologi BSI gak ? Udah pernah coba ? Gue pakai yang BSI di compare dengan non BSI, yang BSI dynamic range dan detailnya tetep lebih bagus. Gue pakai megapixel besar juga, gak cuman 24 mp.
@@dikimulyana2365dan Canon sendiri masih ngepush sensor non-BSI sampai semaksimal mungkin
@@archangeljophiel777 kan dia bilang dibandingkan yang setara, bsi dengan non bsi itu gak setara
@@paceyombex emang BSI dan non BSI jelas beda. Itu reviewer-nya bilang kalo kamera megapixel yang besar pasti : ada noise, gak detail dll. Padahal yang pakai teknologi BSI, megapixel besarpun tetep ok. Coba lo dengerin lagi. Itu reviewer main gearnya pakai apsc, belum coba real review long term pakai full frame yang BSI.