APAKAH MEKINGSAN DI GENI ITU NGABEN

แชร์
ฝัง
  • เผยแพร่เมื่อ 10 ก.ย. 2024
  • • APAKAH MEKINGSAN DI GE...
    APAKAH MEKINGSAN DI GENI ITU NGABEN
    #ApaItuMengkingsanDiGeni
    #WalauSepertiNgabenMekinsanDiGeniBukanNgaben
    #MekingsanDiGeniMerupakanBagianSawaPrateka
    Mekingsan di gni adalah merupakan prosesi Sawa Prateka yang diambil pada tingkat kanista, atau disebut dengan Nisprabhawa utawi Nisprateka, karena prosesi makingsan di geni ini pelaksanaannya hanya sampai pada tingkat pembakaran yang tidak dilanjutkan dengan ngaskara. Selain karena padewasan, pelaksanaan makingsan di geni adalah sebagai berikut: a. Dalam kondisi wabah melanda, sehingga banyak yang meninggal, dalam satu keluarga yang berturut-turut ditindih kepatyan (bertubi kematian) yang belum melewati sêngkêr, sehingga tidak memungkinkan dilaksanakan upacara ngaben, sebagaimana disebutkan dalam lontar Pañca Atma Tatwa "satu lêbuh (pintu rumah pekarangan) tidak diperbolehkan melaksanakan upacara ngaben sebelum batas waktunya 1 tahun bulan pitung dina. b. Dikarenakan ada Karya Ayu di lingkungan keluarga, daerah atau desa tersebut. c. Adanya Samaya (ketentuan awig, pararêm dan kesepakatan) dari desa tersebut melaksanakan upacara ngaben secara masal, ngêrit (kolektif), sehingga tidak diperkenankan untuk pelaksanaan ngaben secara mandiri. Pelaksanaan makingsan di gni merupakan salah satu alternative ketika tidak memungkinkan untuk melaksanakan pangabenan seutuhnya (Sawa Prateka). Mengkingsan di Geni ada 2 jenis yaitu: Makingsan di Geni dan Makingsan di Bambang: (1) Makingsan di Geni disebut juga dengan Nisprabahawa karena prosesinya) lebih kecil dari Sawa Prateka Alit (kanista), dimana proses mulai dari memandikan, upakara saji yang terkecil dan oton juga pengambilan yang kecil dengan caru lantaran panerus serta memakai kajang menurut wangsanya. Pelaksanaannya hanya sampai selesai dibakar, tulangnya dikumpulkan, selanjutnya ada yang dihanyut dan ada yang di tempatkan di setra atau kuburan dengan di tutupi pane (tempayan tanah liat) serta dipagêri ancak saji, sampai menunggu Dewasa Pengabenanya. (2) Mekingsan di Bangbang disebutkan dalam Uma Tatwa disebutkan "Bila Bhumi (Dunia) dalam keadaan Kaliyuga, wabah dan hama merajalela, banyak orang meninggal karena orang meninggal karena sakit, bila bermaksud segera membuatkan upacara pengabenan, namun pada kurun waktu tertentu di desa tersebut tidak boleh dilaksanakan upacara pengabenan, maka sebaiknya dikubur saja, tata cara pelaksanaannya seperti mengubur orang yang kerauhan (mengandung) dibuatkan bantên pêjati saat penguburan dipersembahkan kepada Bhatari dan Sdahan Setra dan mohon anugrah akan secepatnya diaben, pahalanya selamat yang melaksanakan upacara tersebut, apabila tidak demikian harus menunggu batas waktu setahun”. Prosesi dari mekingsan ini pelaksanaannya selain dreûþa biasanya memakai dasar kramaning aben alit, (Nisprabhawa atau Nisprêteka) lebih kecil dari Sawa prateka pada umumnya, diawali mulai memandikan, inupacara (diberikan saji, oton) dan dilengkapi kajang serta Tirtha Pangêntas Makingsan, baru kemudian di usung kekuburan memakai salu (Sejenis usungan) sesampainya di kuburan akan diperciki Tirtha seperti Tirtha Pangêntas, Tirtha dari Kawitan dan Kahyangan Tiga, namun Tirtha Pangentasnya yang sedikit berbeda pada kakitir maupun recadana yang dipakai, dimana untuk Sawa Prateka memakai ulantaga sedangkan Makingsan di Gni memakai kertas putih dan mempergunakan daun maduri putih untuk mekingsan di Bambang, dalam hal makingsan ini juga memiliki batas waktu yaitu tidak lebih dari satu bulan tujuh hari, mulai dari hari makingsan sampai batas waktu pengabenannya. Penggunaan Kajang Kêpatyan dan Tirtha Pangêntas di dalam setiap upacara ngaben Agama Hindu adalah sebuah keharusan, seperti yang disebutkan dalam lontar Yamma Purwwana Tatwa sebagai berikut: “Yan sira wus pejah, wenang magêsêng twi mapêndêm, wnang makajang mapangêntas, yan nora mangkana, boya kadi wangkening jadma, makadi wangkening sato ngaranya”. Arti bebasnya: Bila orang yang telah mati, patut di bakar atau dikuburkan, patut disertai Kajang dan Tirtha Pangentas, apabila tidak demikian, itu bukan disebut sebagai mayatnya manusia, tiada beda dengan bangkai binatang. Penggunaan Kajang Kêpatyan dan Tirtha Pangêntas di dalam setiap upacara ngaben Agama Hindu adalah sebuah keharusan, seperti yang disebutkan dalam lontar Yamma Purwana Tatwa. Meskipun didalam acara ngaben Pranawa dan Swasta menyebutkan memakai pengawak (pengganti), namun dalam pelaksanaannya ada layon atau mayat juga diperbolehkan mengambil tingkatan dari pengabenan ini yang disesuaikan dengan kemampuan dan sima drêsta. Pelaksanaan dari Pitra Yadñya bagi umat Agama Hindu telah diatur dalam beberapa sastra seperti: Lontar Yamma Tatwa, Puraóa Tatwa, Aji Swamandala, Lontar Pangaskaran, Aji Loka Kêrtih, serta Piagam Campuan Ubud tahun 1961, salah satunya menyarankan agar pelaksanaan dari pada Ngaben Agama Hindu mengikuti ajaran Yamma Tatwa, Yamma Puraóa Tatwa, baik padewasan maupun upakaranya yang ketentuannya disesuaikan deúa drêûþa.

ความคิดเห็น • 43