- 24
- 69 399
Mutiara Dhamma
Indonesia
เข้าร่วมเมื่อ 5 มิ.ย. 2021
Mutiara Dhamma - Adalah Sebuah Channel TH-cam bernuansa Buddhis berisi tentang Paritta, Mantra, Sutra Maupun Ceramah Dhamma.
Mari bersama dukung kami untuk membangun channel ini dengan cara Subscribe, Like dan Share.
Sabbe satta bhavantu sukkhitatta
Semoga semua mahkluk hidup berbahagia.
Mari bersama dukung kami untuk membangun channel ini dengan cara Subscribe, Like dan Share.
Sabbe satta bhavantu sukkhitatta
Semoga semua mahkluk hidup berbahagia.
วีดีโอ
Bhante Uttamo II Dhamma Untuk Kehidupan Sehari hari
มุมมอง 1273 ปีที่แล้ว
Bhante Uttamo II Dhamma Untuk Kehidupan Sehari hari
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassā ~ Childernd Song
มุมมอง 8823 ปีที่แล้ว
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassā ~ Childernd Song
DASAPARAMI GATHA ~ MANTRA SUTRA HATI VERSI THERAVADA
มุมมอง 1.8K3 ปีที่แล้ว
DASAPARAMI GATHA ~ MANTRA SUTRA HATI VERSI THERAVADA
Generasi muda Buddhis sebagai penerus Bangsa
มุมมอง 1163 ปีที่แล้ว
Generasi muda Buddhis sebagai penerus Bangsa
Jaya Gatha ~ Paritta Kejayaan Irama Thai
มุมมอง 8K3 ปีที่แล้ว
Jaya Gatha ~ Paritta Kejayaan Irama Thai
Ucapan Selamat Hari ASADHA dari Menteri Agama RI
มุมมอง 1293 ปีที่แล้ว
Ucapan Selamat Hari ASADHA dari Menteri Agama RI
Saya memahami kalau saudara saudara non buddhis kesulitan memahami konsep tuhan dalam agama buddha. itu karena sejak kecil kalian sudah di doktrin dengan keras tentang konsep tuhan dalam ajaran kalian sebagai tuhan personal. Tuhan maha pencipta maha sakti maha ini dan itu. Sedangkan tuhan dalam agama buddha bukan objek yang harus di sembah atau tempat meminta sesuatu, tapi merupakan hasil akhir yang akan di capai.
Semoga semua mahluk hidup berbahagia 🙏
Sadhu3x
Beautiful 🌷
🌷🙏🌿
🙏🙏🙏
😅
Namo buddhaya
Terimakasih
Nammo Amithofo
Agama Budha adalah ajaran yang realistis yang terjadi dalam kehidupan manusia, ajarannya lebih detail dan dapat dirasakan semuanya berawal dari pikiran bila manusia dapat menggunakan pikiran dengan benar yg bodoh menjadi pintar yang menderita menjadi bahagia yang menginginkan surga, nibana, alam Brahma atau alam yang lebih rendah bahkan ke neraka pun semuanya berawal dari pikiran.
Amituofo
Sadhuu
saya umat muslim saya setuju dengan guru ini. konsepnya sama cuma beda nama. si darta gautama dengan bertapa diberi nama budda. di islam sunan sunan kali jogo dengan bertapa dikasih nama wali. itu suatu nama gelar karna sdh mengenal tuhannya
Sebenarnya konsep budha itu mirip dgn islam. Tapi ada 1 yg kurang stju saya. Katanya Agama budha itu ada tuhannya yaitu Nirwana. Brri kalau "ADA" brrti dia tercipta. Kalau ia trcipta mka siapa yg mnciptakan? Kalau tuhan di agama budha ADA trus siapa yg mmbuat ada? BINGUNGKAN. Sm saja dgn islam. Islam jg mngatakan jgn trlena dgn khidupan dunia krn dunia itu kpalsuan. Sama kan?
Jd harus dipahami apa itu nibbana, nibbana itu bukan makhluk yang bs menciptakan atau diciptakan, nibbana itu tempat terakhir TDK terlahir kembali...
@@MantapJiwa-t6p yg mengatakan Allah makhluk siapa bro? Kan kmi mengatakan dia itu tdk trlhir/ tdk di peranak kan. Tdk mmpunyai fisik sprti makhluk. Dia awal dan jg akhir. Dia tdk mmbutuhkan ruang dan waktu. Yg ADA cuma DIA, dunia dan alam ini ada krna dia ada smua berasal dri dia dan nnti alam ini kembali pada dia krna dia adlah titik awal. Dia titik awal smua yg ada dan alam ini nnti kmbali pd dia kmbali. Makanya kmi tdk mnerima Tuhan itu brbentuk atau mnjelma mnjdi makhluk lain. Krna kita tdk bsa mmbayangkan Tuhan itu sprti apa krna di luar akal manusia. Sebenarnya kita tdk prlu mndebatkan Tuhan seperti apa krna akal kita semua gk nyampe, kita hnya memprcayai bhwa Dia(Tuhan) itu ada dan dia titik permulaan dan akhir lalu Kita hanya prlu berbuat baik pd sesama dan mnjalani hidup dgn benar mnjunjung keadilan, jujur, dpt d prcya, berakhlak, jgn serakah. Jujur agama yg pling sy suka selain agama sy adlh agama budha krna nilai2 agamanya mirip.
@@NadaNusantara52 maaf bukan untuk di perdebatkan.. menciptakan sesuatu apa bisa tp adanya kesadaran? Nibbana SDH TDK ada lagi kondisi kesadaran dan TDK ada lagi kondisi pikiran /bathin. semua lenyap.. kalau tentang Allah itu sendiri.. bukan kapasitas saya untuk menjelaskan, trima kasih atas penjelasannya.
@@MantapJiwa-t6p menciptakan itu cm bhsa manusia bro. Jgn di bayangkan sprti manusia mmbuat sesuatu. Intinya dunia ini ada krna Allah atau yg kmu sebut nibbana. Cuma namanya sja yg brbeda. Contoh lain "jodoh di tangan Tuhan". Bkn brrti tuhan mmpunyai tangan atau fisik. Budha itu mirip dgn islam tdk ada saya liat gambaran tuhan atau nibbana di tmpt ibadah. Saya tau yg klian hormati itu cm seorang guru klo kami menyebutnya Nabi(orang yg sadar dan mengajari manusia berkehidupan). Setiap klompok mnusia mmpunyai nabinya masing2 atau org tercerahkan kmi tau itu. Dan kmi prcya ada ribuan nabi
@@MantapJiwa-t6p coba deh kmu cari di youtube slh satu ilmunya islam. Namanya ilmu hakikat.
Sesungguhnya tidak ada Yg ampuh. Kau buah karmanya jelek. Namun apabila timbunan buah karmanya banyak yg baik. Maka tanpa diapun buah karma itu sendiri akan memberikan manfaat bagi kehidupanmu.
Umat buddha di ajarkan tdk meminta surga ataupun pahala kepada mahkluk lain ,tapi semua bisa dicapai dgn usaha sendiri sesuai yg diajarkan sang guru buddha bukan meminta atau memohon kepada mahkluk lain diluar diri sendiri,..membaca parita yg di ulang ulang setiap hari parita itu tuntunan mengandung semua ajaran tentang menjalani kehidupan yg benar sesuai petunjuk buddha ,sesuai perkataan buddha ,aku tdk mengajarkan kepada siswaku,untuk mendapatkan ,kekayaan,kekuatan,kesehatan usia panjang ,dan terlahir dialam sorga dgn cara berdoa dan memohon ,kalo semua itu bisa didapat dgn cara berdoa,apa sulitnya berdoa, akan tetapi semua itu dapat dicapai dgn cara usaha yg benar sesuai prinsip dhamma, pesan terakhir sang buddha sebelum parinibhana, kepada semua orang," para bhiku jadikan dirimu pulau bagi dirimu sendiri agar tdk tenggelam ,jgn kalian bergantung pada mahkluk lain diluar dirimu,jadikan dhamma ini sebagai pegangangan hidupmu🙏🙏🙏
Sutra Metta : Dengan hati yang tak terbatas orang seharusnya menghargai semua makhluk hidup, memancarkan kebaikan ke seluruh dunia, menyebar ke atas langit, dan menyebar ke kedalaman, ke segala arah tanpa batas.
Sutta Napata 2: 396 Seseorang tidak boleh membunuh makhluk hidup atau menyebabkannya dibunuh, juga tidak boleh menghasut orang lain untuk membunuh. Jangan melukai makhluk apapun, baik kuat maupun lemah di dunia.
Terimakasih dan Anumodana Bhante, admin channel. Sabbe satta bhavantu sukhitatta 🙏🙏🙏
🙏🙏🙏
Bagaimana konsepnya umat buddha tidak memuja tidak meminta kepada sang buddha padahal pakai dupa lilin membungkuk membaca paritta dsb??? Yang kedua bagaimana penjelasan impersonality dari ketuhanan yang maha esa yaitu mengenai sifat sifat ketuhanan yang maha esa, apakah pandangan buddha tentang ketuhanan itu hanya sebagai objek, bukan sesuatu yang hidup memiliki pribadi ataukah dipandang sebagai abstrak? Tolong banthe, bikkhu, atau umat buddha ada yang mau menjelaskan, terimakasih
Umat buddhis tdk meminta ataupun memohon kepada Buddha,tapi mengikuti jalan yg sdh diajarkan oleh Buddha🙏🙏🙏
Saya anak dari muslim taat tapi saya bisa jawab: Jawaban nya adalah : 1 . Aktivitas umat di altar persembahyangan hanya penggaya dan asesorisnya saja cuman sekedar hiasan saja aslinya ajaran Buddha adalah duduk diam bersemedi dibawah pohon tanpa apapun 2. Impesonality tuhan adalah tidak diutamakan dan tabu untuk dibicarakan objek pun dibatasi dalam 40 kammatana hanya untuk latihan meditasi saja untuk merealisasikan Nibbana saja dan tabu membahas hal goib dan musrik termasuk si pencipta awal adalah ga penting 🎉🎉😂
@@begi41 Budha belum mengenal Tuhan karena Budha lahir jauh sebelum Kristen dan Islam. Pandangan umat buddha Tuhan itu ya hanya tempat yang namanya surga/nibanna, surga diisi mahluk mahluk suci yang tidak terlahir kembali berarti bukan sosok atau pribadi, tapi hanya tempat. Cuma pertanyaannya : 1. Parita: buddha adalah perlindunganku, damma adalah perlindunganku, sangha adalah perlindunganku ini gimana tanggapannya? 2. Ada sesuatu yang tidak dilahirkan,tidak menjelma, tidak tercipta, tidak berkondisi. Sesuatu itu apa? 3. Sidarta mengatakan "Kalo tidak ada yang menjelma, tidak tercipta, tidak berkondisi maka kita tidak dapat terbebas" itu maksudnya apa, tolong bisa dijelaskan.
好好
konsep tuhan dlm buddhism memang beda dan mendalam. krn tuhan bukan spt manusia yg bisa marah, megutuk, membenci , krn kl tdk apa beda nya dgn manusia.
Gak paham agama lain jangan bahas bro... Biar bjoku kamu gak ngerti agama lain
Indah sekali pelajaran dan keterangan dari Banthe steep by steep ..semoga semua mahluk berbahagia
Namo Buddhaya, Min ada video paritta lain nggk yang iramanya sama kayak video ini? Terima Kasih🙏🏻
chayya mongkol katha
Namo amittaba
it guess so fast as the video goes !
Very Beautiful!!! Namo Amitahba Buddha - Namo Amituofo 🙏🙏🙏!!!
@muatiara dharma, jika bisa lengkapi dengan kutipan pelafalannya, agar dapat dipelajari. Terimakasih
🙏 Namo Amitabha Buddha Semoga sejua makhluk berbahagia sadhu sadhu sadhu
18. Pikiran dan Ucapan Para Tokoh 4. Tokoh, filsuf dan para bijak
R.A. Kartini (1879 - 1904) "Saya adalah anak Buddha, karena itu saya tidak makan daging” - "Vegetarian adalah doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi"
Socrates (470SM-399SM) Filsuf Yunani "Jangan bicara cinta dan perdamaian, jika masih ada potongan hewan di piring Anda."
Plato (427SM-347SM) Filsuf Yunani “Para Dewa menciptakan jenis tertentu untuk mengisi kembali tubuh kita; Yaitu pohon-pohon, tanaman-tanaman dan benih-benih.”
Plutarch (120 - 46SM) Filsuf Yunani kuno "Saya tidak mengerti apa sensasi, keadaan perasaan dan keadaan pikiran orang pertama yang seharusnya, yang, setelah melakukan pembunuhan seekor binatang, mulai memakan dagingnya yang berdarah. Bagaimana dia, meletakkan suguhan dari kematian di atas meja di depan para tamu, menyebut mereka kata-kata "daging" dan "dapat dimakan", sedangkan baru kemarin hewan itu berjalan, berteriak mengembik dan melihat segala sesuatu di sekitarnya? Bagaimana penglihatannya dapat menampilkan gambar tubuh yang dimutilasi, ditelanjangi dan dibunuh dengan darah yang tumpah? Bagaimana indra penciumannya bisa menahan bau kematian yang mengerikan, dan semua kengerian ini tidak merusak selera makannya ?” - "Tetapi bagaimana menjelaskan fakta bahwa kegilaan kerakusan dan keserakahan ini mendorong Anda ke dalam dosa pertumpahan darah, ketika ada banyak sumber daya di sekitar untuk memberi kita kehidupan yang nyaman? Apa yang membuat Anda memfitnah Bumi karena tidak mampu menyediakan semua yang kita butuhkan? .. Tidakkah Anda malu untuk menempatkan produk pertanian pada tingkat yang sama dengan korban pembantaian yang terkoyak? Sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di antara kamu.” - "Tetapi demi beberapa suap daging, kami menghilangkan jiwa matahari dan cahaya, dan proporsi kehidupan dan waktu yang telah dilahirkan ke dunia untuk dinikmati." - "Tubuh manusia sama sekali tidak menyerupai mereka yang lahir karena kelaparan; ia tidak memiliki paruh elang, tidak ada cakar yang tajam, tidak ada gigi yang kasar, tidak ada kekuatan perut atau panas pencernaan yang cukup untuk mencerna atau mengubah makanan yang berat dan berdaging tersebut." “Kami tidak makan singa dan serigala. Kami menangkap orang yang tidak bersalah dan tidak berdaya dan membunuh mereka tanpa ampun. "(Saat makan daging.) "Darimanakah gerangan datangnya tabiat yang nyata rakus dan demikian gila mendorong Anda mengotori diri sendiri dengan darah, padahal Anda banyak mempunyai bahan makanan lain yang melimpah untuk hidup? Mengapa Anda tidak malu bercampur buah-buahan yang lezat dengan darah dan daging sembelihan? Sungguh, Anda sering menyebut ular, macan dan singa makhluk ganas, namun diri Anda sendiri kotor dengan darah, dan dalam kekejaman Anda tidak kurang kejam dari binatang itu. Yang binatang itu bunuh adalah makanannya sehari-hari, tetapi yang Anda bunuh bukanlah makanan Anda sehari-hari. Tetapi apabila Anda bersikeras bahwa diri Anda lahir dengan kecenderungan makan makanan daging seperti itu sebagaimana Anda sekarang bermaksud melakukannya, maka bunuhlah apa yang hendak Anda makan. Namun lakukanlah itu sendiri tanpa memakai pisau pemotong, palu atau kampak seperti apa yang dilakukan oleh serigala, beruang dan singa yang membunuh dan lansung memakannya. Cabik-cabiklah seekor sapi dengan gigi Anda, sergaplah seekor babi dengan mulut Anda, koyaklah seekor anak kambing atau kelinci sampai hancur dan tindihlah dengan badan Anda dan makanlah hidup-hidup sebagaimana yang dilakukan binatang buas itu. Tetapi apabila Anda diam saja sampai saat yang Anda hendak makan itu mati, dan apabila Anda takut mencabut nyawanya secara paksa dari badannya, lalu mengapa Anda melawan alam dengan makan makhluk bernyawa seperti itu ?"
Horace (65 - 8 SM) Penyair Romawi “Berani menjadi bijak! Berhentilah membunuh binatang ! Orang yang menunda keadilan untuk nanti adalah seperti seorang petani yang berharap sungai akan menjadi dangkal sebelum dia menyeberanginya. ”
Menyesatkan
Sebetulnya sudah lumayan bagus pandangan dan paparan YM Bhante Vuddhiko ini. Beliau mengakui bahwa daging (di era sekarang ini pasti) berasal dari pembunuhan dan juga mengatakan bahwa jika bisa melatih diri untuk bervege dengan pengertian dan tidak sombong adalah lebih baik lagi. Hanya memang belum cukup berimbang bila dibandingkan terhadap mirisnya kejahatan penyiksaan kesadisan pembunuhan mahluk, dampak parah kerusakan bumi dan degradasi kemerosotan kesehatan & degradasi usia harapan hidup manusia akibat budaya pola makan daging itulah maka statement beliau bahwa pola makan daging hanya dianggap 'pilihan bebas biasa saja' akan menjadi sangat mengecewakan tentunya. Memang aneh bila pada 8 jalan utama Sang Buddha tidak mengapresiasi pekerjaan menjual daging, namun ada statement yang dengan sangat ringan mengatakan membeli tidak apa-apa. Kontradiktif memang. Mungkin itulah akibat dari bengkoknya pemahaman secara perlahan-lahan yang berlangsung selama ribuan tahun sehingga sampai saat ini pola makan daging ini terlanjur menjadi kebiasaan selera adat tradisi budaya di komunitasnya. Memang pada Pancasila Buddhist yang sangat pokok itu pun, tidak ada suatu katapun yang bunyinya adalah wajib mengharuskan untuk mematuhi 5 aturan kemoralan tersebut. Yang ada adalah 'berusaha melatih diri'. Hal itu bisa dipahami, bahwa ciri pada Buddhism memang cederung mengarahkan setiap individu ini untuk dewasa dalam menentukan tindakannya. Bahwa setiap perbuatan baik ataupun perbuatan buruk pasti akan membuahkan akibat, yang mestinya dipertimbangkan betul² dengan bijak oleh pelakunya. Karena mungkin saja dalam suatu kasus pelik yang langka, seseorang bisa menghadapi situasi dilema yang mau tidak mau mesti melanggar aturan kemoralan tersebut demi menyelamatkan sesuatu yang lebih bernilai. Pelanggaran tersebut tetap berakibat, meski relatif jauh lebih ringan akibat buruk yang akan diterimanya. Tentu saja di bumi ini ada kondisi yang sulit untuk mengkonsumsi sumber nabati, contohnya di belahan kutub bumi dan di tempat² yang langka lainnya. Menjadi aneh untuk pemikiran Buddhist kalau situasi yang sulit yang jarang tersebut lalu menjadi disama-ratakan misalkan dengan Indonesia yang sangat subur ini. Demikian juga, mungkin ada saja satu atau dua manusia yang mengalami problem langka pada tubuhnya yang alergi terhadap makanan tumbuhan. Menjadi aneh pula untuk logika Buddhist bila kesulitan satu atau dua orang tersebut menjadikan pola makan daging yang sangat merusak dan merugikan banyak hal itu diijinkan dengan sangat permisif sekedar pilihan bebas saja. Sepertinya juga ada point yang terlewatkan yaitu selain tindakan karma per-individu orang, ada pula karma karena kesepakatan kelompok. Nah, karma kelompok inilah yang menjadikan dampak dari hal pola makan hewani menjadi luar biasa dahsyat dampaknya buruknya yaitu pembantaian milyaran hewan, perusakan bumi dan penurunan kesehatan & usia harapan hidup manusia ini secara global. Dan keburukan berat itu dilakukan secara terus menerus. Kita yang sedikit banyak mengetahui hal-hal miris terkait pola makan hewani ini memang dimaklumi bisa menjadi geregetan, geram, kecewa, jengkel, dll. Apalagi mengetahui respon dari tokoh yang dinilai terlalu permisif, dengan penjelasan yang sangat kurang berimbang itu. Namun, sikap kita memang juga seharusnya sangat dijaga, mengerti dan berusaha punya kesabaran yang super. Jika tidak, maka sangat disayangkan stigma bahwa prilaku orang vege yang negatif tersebut tentu akan menjadi kuat dan harapan supaya banyak orang menjadi sadar akan pentingnya berpola nabati akan menjadi semakin menjauh. Akan sangat lebih bermanfaat bila bisa memberikan masukan, penjelasan, fakta-fakta akan bahayanya pola makan hewani dan manfaatnya berpola makan nabati, dibanding memberikan respon yang mengundang perselisihan. Dengan demikian, kita juga bisa menerapkan pelajaran-pelajaran mulia dari master guru. Saran dari saya kepada Anda, semoga berkenan meng-edit komen Anda tersebut supaya lebih bersahabat terbacanya. Terimakasih. Semoga semua mahluk berbahagia (murah hati, mengasihi & mengerti)
Menyesat-kan darimana ? Chanel khusus rohani budha , ok
13. Apakah telah terjadi fenomena distorsi dan miss komunikasi ?
Disimulasikan dan dibuktikan oleh para pakar pikiran dan motivator, bahwa dalam berjalannya waktu, perpindahan lokasi, situasi dan kondisinya, memang adalah sangat rentan keadaan keabsahan dari suatu informasi pada proses perpindahannya dari satu orang ke orang lainnya bisa mengalami bias distorsi dan miss komunikasi. Jadi..., informasi dari Sang Buddha yang katanya masih otentik saat disampaikan oleh YM Bhante Ananda, kemudian dari waktu yang bergulir begitu lama, juga tempat-tempat berpindahannya yang semakin meluas, lalu pada proses perpindahan yang panjang itu apakah suatu informasi bisa mengalami bias distorsi dan miss komunikasi.. Seperti juga yang terjadi pada cerita "tetangga" yang sangat terkenal, dimana yang dimaksud kemungkinan besar adalah bumbu atau acar (opsarum). Tetapi lalu menjadi ikan dan celakanya sampai saat ini cerita memberi makan 5000 orang itu sudah tersohor adalah roti dan ikan, bukan lagi roti dan bumbu / acar.
Fenomena distorsi ini ternyata juga nyata terjadi di sini. Seperti yang telah kita pahami, bahwa buddhism di Indo ini dulunya sudah dianggap punah, lalu relatif baru belakangan saja masuk lagi berkat jasa Ashin Jinarakkhita. Tetapi golongan kecil keturunan Buddhis tempo dulu masih ada menepi di pelosok daerah tertentu seperti di desa-desa Blitar atau Banyuwangi. Karena sudah relatif lama sekali terputus dari induk komunitas Buddhis dan diperparah sebagai kaum minoritas yang berada di lingkungan mayoritas yang berat begitu, maka ajaran-ajaran pokok dari Buddhism pun bisa menjadi seperti luntur..., bahkan bingung mau bagaimana. Seperti yang dialami seorang Romo yang berasal dari daerah Blitar. Beliau pernah berkisah tentang orang tua nya. Sudah menjadi kewajaran lingkungan muslim di sekitarnya kalau mau menyembelih ayam mengucap kata "bis....." dahulu. Nah, orang tua Romo itu lalu justru berpikir kalimat apa yg cocok untuk orang Buddha seperti dirinya jika menyembelih ayam ! Lalu diputuskan untuk memakai ucapan tersohor Buddhism yaitu "Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta". Bisa dimaklumi, karena kelompok kecil dari orang Buddhis yang tersisa tersebut sudah terputus interaksinya dari kelompok besarnya dalam waktu yang relatif lama. Sehingga pakem-pakem yang berlaku menjadi luntur dan menjadi begitu besar terjadi pergeserannya. Kita yang mendengar kisah nyata itu bisa menjadi kaget dan mungkin juga akan tertawa atau juga tidak mempercayai kisah itu. Demikian pula, kira-kira bagaimana jika seandainya para arahat pada jaman Sang Buddha bila mengetahui kondisi pola makan keseharian umat Buddhist pada keadaan, situasi dan kondisi di era sekarang ini... mungkin saja akan menjadi kaget, tetapi mungkin juga akan tersenyum kecut, entahlah. Tetapi kemungkinan mereka akan tetap tenang seimbang, karena Sang Buddha sendiri juga sudah memprediksikan tentang kemerosotan ahlak manusia dan akan punahnya buddhism ini suatu saat nanti. Saya memang tidak tahu karena saya hanya putthujana biasa saja.
Menurut Yang Mulia Bhante Pannavaro, jika terdapat 7 miliar manusia, maka akan ada 7 miliar pemikiran yang berbeda-beda pula. Tentu Anda sekalian dan saya juga bisa saja mempunyai pendapatnya masing-masing. Nah, terkait kebiasaan adat tradisi budaya pola makan hewani, pada era sekarang ini apabila dianalisa secara umum, apalagi bila dipandang dari perspektif kaca mata Buddhist, jelas-jelas sangat sederhana untuk dilihat bahwa sebetulnya ada kejanggalan besar disana. Namun sikap keras, pikiran yang kaku dan penolakan frontal tanpa mempelajari dengan rendah hati, teliti dan sabar, dan tidak mau melihat kenyataan adalah bukti bahwa problem kemelekatan adalah memang kuat, baik kelekatan akan suatu doktrin tertentu ataupun selera atau kebiasaan tanpa mempertimbangkan kenyataan yang sedang berlangsung yang nyata-nyata berlawanan dengan banyak topik ajaran kebajikan itu sendiri.
Jadi, apakah kemungkinan besar juga demikian, bahwa fenomena kebiasaan adat selera tradisi budaya wajar-wajar makan daging pada era sekarang ini terjadi karena bias distorsi, miss komunikasi dan hilangnya beberapa pelajaran karena rentang waktu, juga beragamnya situasi dan kondisi pada perjalanannya. Seperti, apakah juga mungkin ada Sutta yang tercecer... Apakah sudah dihitung dari 84 ribu pokok bahasan yang disampaikan oleh Sang Buddha adalah benar-benar 84.000 jumlahnya, atau semestinya justru lebih dari itu ? Masih beruntung saat ini masih sering kita lantunkan Karaniya Metta Sutta. Wejangan tentang sikap hiri dan ottapa juga masih sering kita simak. Penjelasan tentang ketidak-kekalan annica juga masih menjadi kurikulum yang utama. Apalagi pelajaran pokok yaitu hukum sebab - akibat. Tentu juga Jalan Tengah, Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tapi anehnya, topik-topik kurikulum utama tersebut menjadi tidak berfungsi, melempem dan mandul penerapannya untuk soal makan pada orang-orang penganut Buddhism Theravada kita ini. Juga sikap yang dianjurkan Sang Buddha kepada suku Kalama yaitu agar tidak mempercayai begitu saja akan suatu ajaran, tradisi, adat, budaya, atau kebiasaan yang sudah dilakukan turun temurun dilakukan. Tetapi disarankan supaya dipelajari, dipikir, direnungkan terlebih dahulu, apakah hal itu bermanfaat ataukah malah lebih banyak merugikan mahluk lain dan banyak bidang di kehidupan ini dan malah membuat banyak sekali penderitaan, kekacauan dan kerusakan. Kalama Sutta yang terkenal sekali tersebut masih kita pahami sebagai sistem feedback yang otentik hanya ada pada Buddhism yang menjaga kewarasan logika, kebijaksanaan dan kealamiahan hati nurani yang murni dari manusia supaya tidak berprilaku seperti robot. Nasihat supaya jangan percaya begitu saja itu berguna untuk menghindari ketaatan yang membuta dan sikap fanatik dalam mematuhi dan melaksanakan satu dahan ranting doktrin tertentu, misal : 3 syarat makan daging (yang bahkan kemungkinan besar juga keliru penangkapan dan implementasinya) tetapi berpotensi mematahkan pokok-pokok batang pelajaran lainnya yang lebih penting yang ada dalam satu pohon yang sama.
Sudah banyak diketahui dari sejarah, bahkan saat ini juga masih ada jelas sekali api dalam sekam pada "tetangga" kita yang satunya lagi itu. Pengeboman, terorisme, tragedi kemanusiaan dan kebiadaban juga prilaku intoleransi yang terjadi bahkan kepada saudaranya sendiri akibat dari hasutan dan "kepatuhan" kepada tokoh panutannya, demi ego kemudian mengabaikan, meruntuhkan pilar-pilar pelajaran humanis penting yang lainnya. Beberapa saat lalu masih kita dengar lagi berita tentang intoleransi, yaitu pelarangan membangun rumah ibadah penganut agama besar kedua di negeri ini. Entahlah apakah para pejabat/tokoh, aparat & masyarakat negara yang plural ini masih beretika menghormati hak dan kewajiban tiap-tiap warganya dan menjunjung idologi Pancasila dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika. Merenungkan korelasinya dengan pola makan hewani di era sekarang ini, memang bila suatu pandangan, meskipun sulit dinalar dengan hati nurani yang alami akan cinta kasih, kasih sayang, dampaknya yang merusak alam dan kesehatan, namun apabila sudah menjadi tradisi, budaya, sudah mengakar kuat dan menjadi selera kebiasaan, memang akan menjadi sulit sekali diedukasi lalu diubah untuk diperbaiki. Apalagi bila diperkuat dengan wejangan dari tokoh panutan yang dengan ringannya mengijinkan pola hidup & pola makan yang sebetulnya kontradiktif dengan ajarannya sendiri. Memang benar sekali bila dikatakan bahwa apa yang keluar dari mulut itu bisa lebih berbahaya dari apa yang masuk ke mulut. Karena ceramah wejangan oke-oke saja makan daging itu, tak ayal lagi selera, kebiasaan, adat, tradisi & budaya yang jelas-jelas di era sekarang ini berpihak kepada kezaliman tersebut kemudian terbukti menjadi suatu kelaziman. Karena sayangnya ternyata kebiasaan makan daging itu mendapat stempel oke-oke saja dari tokoh panutan tanpa penjelasan yang adil berimbang akan banyaknya bahaya-bahaya lainnya yang sangat luas. Dan apalagi mahluk lain seperti hewan, yang walaupun pada Karaniya Metta Sutta yang sangat indah itu disebut mestinya diperlakukan untuk dijaga kehidupannya seperti anak yang tunggal oleh ibunya, memang mereka tidak punya pelindung falsafah yang kuat seperti dasar negara Pancasila yang bisa melindungi mereka dari prilaku kebiadaban dan ketidak adilan dari mahluk superior yang bernama manusia ini. Selama tidak bisa memahami, apalagi melaksanakan ajaran Guru Agung, tidaklah heran kalau harapan untuk terjadinya ketenangan, kesejahteraan & perdamaian antar sesama manusia adalah sebagai mimpi belaka. Semoga semua mahluk hidup berbahagia.
9. Anggapan bahwa sumber kalsium, protein & vitamin B12 hanya ada pada susu, daging & telur.
Sering sekali ada anggapan bahwa bahan makanan tanpa unsur hewani adalah kurang memenuhi kecukupan gizi seperti protein, vitamin tertentu dan mungkin kandungan lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh. Bahkan ada pula anggapan bahwa bahan makanan nabati tertentu membawa problem kesehatan. Orang yang tidak makan makanan hewani pun dianggap tidak kuat, ringkih dan mudah sakit. Juga ada pula yang berpendapat bahwa makan daging penting buat kecerdasan.
Saya bukan ahli gizi, tetapi pada jaman sekarang tidaklah sulit untuk mencari data-data melalui internet. Berikut data untuk kandungan protein : telur 12-13% ikan 16-21% dari semua varian daging 9-21% kedelai 34% kacang hijau 24% Asam urat tertinggi bukan dari kacang-kacangan. Berikut data purin yang dimetabolis oleh tubuh : kacang²an 9-100mg Sedangkan pada jerohan, seafood, daging 100-1000mg (10x kacang !) Kalsium per 100g sajian : susu sapi 108mg agar-agar 400mg tempe 129mg wijen 975mg !!! Sebagai informasi juga bahwa semakin banyak asupan susu, justru semakin tinggi pula resiko seseorang menderita osteoporosis. Penderita osteoporosis yang tinggi di dunia adalah justru dari negara penghasil dan pengkonsumsi susu terbanyak, karena untuk memproses sifat asam dari susu hewani tersebut, tubuh membutuhkan basa yang terpaksa diambil dari tulang. Sumber omega 3 untuk saraf dan daya ingat itu salah satu sumber nabati yang hebat ada banyak pada rumput laut yang melimpah di Indonesia dan juga murah saja sebetulnya sebelum diimport kembali dari Korea. Vitamin B12 terbaik justru berasal dari makanan khas Indonesia yaitu tempe. Vitamin C tidak akan didapati selain dari bahan nabati. Pada dasarnya, dalam kondisi normal, semua kebutuhan vitamin untuk manusia dapat dicukupi dari sumber alamiah alam nabati dan dari internal sistem metabolisme manusia sendiri.
Kita hendaknya berhati-hati untuk tidak memberi contoh dari kasus-kasus minor. Seperti misalkan ada orang yang berpola makan nabati yang menderita sakit tertentu. Memang bisa saja demikian, dari banyaknya orang yang perpola nabati yang sehat-sehat, ada saja yang memiliki problem sakit karena faktor dalam kehidupan seseorang adalah kompleks. Seperti juga dari sekian banyaknya umat Buddha yang sudah diajari bagaimana supaya hidup berbahagia, tapi tentu ada saja umat yang kehidupannya kacau balau dan menderita pikirannya. Hal anomali demikian juga sering dibuat pembelaan oleh pecandu rokok, bahwa ada perokok berat yang dapat berusia panjang juga. Memang bisa saja begitu dari sekian banyaknya korban akibat rokok itu ada saja yang "selamat" Dalam kasus seperti ini hendaknya penilaian ditinjau dari analisa ilmiah, misalkan merujuk pada angka prevalensi dari penelitian yang tentunya lebih otentik, bukan berdasar pada kasus minor dan perasaan saja dalam mempertahankan suatu pendapat. Dengan demikian kita tidak terkesan emosional saja dalam mempertahankan pola lama itu karena sudah tercengkram oleh adat kebiasaan tradisi dan budayanya sendiri, atau selera keinginan yang sudah seperti menjadi candu atau melekat dalam mempertahankan suatu pandangan. Semoga Semua Mahluk Hidup Berbahagia.
7. Bagaimana pola makan hewani dan pola makan nabati berpengaruh terhadap kesehatan ?
Orang yang normal tentunya menginginkan hidup aman sejahtera, bahagia dan sehat baik raga fisik maupun batinnya. Tetapi tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan manusia ini. Kondisi alam, kebersihan lingkungan, kebiasaan tradisi adat istiadat budaya selera pola makan, keseimbangan dalam beraktifitas bekerja, berolah raga, berekreasi, kehidupan sosial, tingkat kesejahteraan, kemajuan pengetahuan bahkan moralitas, spiritual dan juga kestabilan perpolitikan membawa pengaruh kuat yang secara umum mencerminkan kualitas kesehatan fisik dan batin masyarakatnya.
Sampai sekarang, orang yang terlahir dan tinggal di belahan kutub mau tidak mau mesti makan dari sumber hewani seperti ikan dan daging anjing laut, karena di sana tidak ada kangkung dan tempe yang dijual dan tidak ada tukang sayur keliling juga. Kalaupun mau impor dari Indonesia, mungkin harganya akan seperti emas mahalnya. Sebagai konsekuensinya, usia harapan hidup suku Inuit itu hanya 30-35 th saja dan mulai umur 25th sudah sakit sakitan. Berbeda dengan masyarakat suku Hunza yang berpola makan nabati, usia 120 th lebih adalah hal yang biasa di sana. Mungkin karena mayoritas manusia relatif sejak jaman nabi Nuh dan seterusnya menjadi terbiasa makan daging yang berasal dari pembunuhan yang disengaja itu, maka hukum alam hukum sebab-akibat otomatis berlaku menjalankan prosesnya. Pelan-pelan usia harapan hidup secara kolektif terus merosot (katanya tiap 100 th, usia harapan hidup berkurang 1 th). 2600 tahun lalu usia rata-rata 100 tahun, sekarang paling 75 tahun saja bahkan mungkin kurang dan akan terus merosot mungkin seperti prediksi Sang Buddha menjadi 10 tahun saja nantinya. Sangat disayangkan kalau kita umat Buddha yang mengetahui hal ini justru menjadi katalis yang mempercepat kemerosotan itu terjadi. Sebagai gambaran juga, umumnya mahluk hewan pemakan daging cenderung mempunyai usia harapan hidup yang jauh lebih pendek dibanding hewan pemakan tumbuhan.
Prevalensi mengidap penyakit & usia harapan hidup manusia dari komunitas dengan pola nabati & non juga berbeda. Sewajarnya orang tidak menginginkan terkena penyakit, tetapi penyakit bisa datang karena kekeliruan dari orang itu sendiri. Dari anatomi pencernaan mahluk jenis manusia ini jika ditinjau dari makanannya mirip seperti juga kambing dan sapi adalah tumbuhan, bukanlah pemakan daging seperti singa, buaya atau macan. Meski sapi juga bisa dipaksa, misal dicekok i telur mentah yang banyak dengan harapan supaya jagoan kalo diadu. Karena itulah banyak kasus penyakit yang sebetulnya tidak perlu akibat pola makan yang tidak sesuai untuk anatomi fisik manusia itu. Kita tahu akibatnya adalah penyakit penyakit degeneratif seperti diabetes, kolesterol, tekanan darah tinggi, jantung koroner, gagal ginjal, alzheimer, kanker, dsb yang prevalensinya menjadi jauh lebih minim bila menerapkan pola makan nabati. Prevalensi terserang penyakit jantung dengan skor 50 untuk omnivora, 15 untuk vegetarian dan 5 untuk yang berpola nabati. Ya, memang harus fair masih ada kemungkinan yang berpola nabati masih terkena, karena faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan memang tidak melulu dari pola makan saja seperti pada paragraf awal itu, tapi sudah 1/10 dari kasus. Banyak sekali jurnal-jurnal ilmiah hasil penelitian dari para pakar mengenai keterkaitan pola makan dan efeknya terhadap kesehatan dan usia harapan hidup. www.pcrm.org/news/health-nutrition/consuming-more-protein-plants-associated-longer-life
Menerapkan pola makan dengan memperbanyak makanan nabati ternyata bukan hanya baik untuk kesehatan tubuh secara umum, namun juga mencegah penurunan fungsi kognitif dalam jangka panjang. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Clinical NutritionTrusted Source menemukan bahwa menerapkan diet nabati atau pola makan berbasis tumbuhan dan mengurangi konsumsi daging selama usia paruh baya mampu menurunkan risiko penurunan fungsi kognitif secara signifikan saat usia tua. Diet nabati membantu menjaga otak lebih sehat. Penelitian yang dilakukan di National University of Singapore's (NUS) Saw Swee Hock School of Public Health dan Duke-NUS Medical School ini melibatkan 63.257 orang Tionghwa yang hidup di Singapura dan mengevaluasi kebiasaan makan mereka. Hasilnya, mereka yang menerapkan diet berbasis tumbuhan dan sedikit daging mengalami penurunan risiko menderita masalah kognitif sebesar 18 hingga 33% seperti mengalami demensia Alzheimer dan lainnya.
Gangguan penyakit yang tidak perlu tentu saja membuat kualitas kehidupan fisik dan psikis seseorang menjadi buruk. Kehidupan menjadi sangat boros biaya dan waktu untuk urusan pengobatan dan perawatan. Selain orang yang bermasalah tersebut tidak bisa bekerja atau berkarya lagi, juga akan merepotkan dan mengganggu pikiran dan kinerja orang lain. Tentu secara global berpengaruh menghambat kemajuan dunia. Mungkin yang paling merasa diuntungkan adalah industri farmasi, rumah sakit dan dunia medis. Pada era industri ini, untuk effisiensi dan menekan biaya produksi dimana sudah menjadi rahasia umum, hewan-hewan ternak dikondisikan secepat mungkin untuk dipotong, yaitu dengan menyuntikkan dan atau memberikan ke dalam asupan makanannya hormon-horman untuk mempercepat pertumbuhannya. Hal ini yang seharusnya bisa menjelaskan mengapa anak-anak jaman sekarang dan semakin ke depan, akan lebih cepat lagi mencapai usia akil baliknya atau usia akil baliknya semakin maju. Belum lagi akumulasi pestisida pada daging hewan yang sangat tidak mudah diatasi (jika pada sayuran cukup direndam dengan air garam kemudian dibilas dengan air mengalir), turut menyumbang masalah serius terhadap kesehatan manusia.
6. Tahukah kita akan dampak kerusakan lingkungan luar biasa terkait pola makan daging di era saat ini ? Jika nantinya sudah tahu, bagaimana bentuk kepedulian kita ?
Kebanyakan dari kita tidak sadar bumi ini sedang menderita karena kebiasaan mayoritas manusia berpola makan daging. Selera, kebiasaan, adat, tradisi dan budaya makan daging memang sudah terlanjur menggurita dan sudah sangat menjadi ketergantungan. Oleh karena itu disadari atau tidak, industri terkait daging berupaya supaya sebanyak banyaknya orang selalu mengkonsumsinya dominan demi profit dan mata pencaharian pekerjanya. Industri terkait daging meningkatkan produksinya dengan segala cara, mempromosikan ke segala media, mengundang artis terkenal dan membuat gambar kemasan yang menarik hati untuk memasarkan produk sosis misalnya. Tidak mungkin para konsumen dibuat mengerti bagaimana prosesnya, kekejian berat, kebiadaban, pembunuhan yang pasti disengaja, dampak kemerosotan kesehatan jangka panjang, akibat kerusakan lingkungan dan bumi dibalik sepotong sosis yang akan kita beli itu.
Jika kita mengetahui dampak buruknya yang luar biasa dibanding kenikmatan selera lidah, dibanding menuruti kebiasaan adat tradisi budaya lingkungan, dibanding kulit pelajaran 3 syarat makan daging dan punya perasaan tahu diri sedikit saja, maka terutama sebagai Buddhist dan dalam keadaan kesehatan & kondisi badan yang normal, yang hidup di Indonesia yang sangat subur ini, maka mestinya akan segera muncul niatan dan berupaya sebisa mungkin untuk meninggalkan pola makan hewani ini. Untuk era saat ini dan ke depan, dimana populasi manusia sudah mendekati angka 8 miliar, pola makan hewani ini juga sangat berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan dan mengancam kelestarian bumi yang kita tempati bersama ini. Hutan-hutan di bumi ini menjadi hilang musnah penyebab utamanya adalah karena pembukaan lahan untuk urusan peternakan yang sangat masif, bukan cenderung karena mobil, atau listrik, atau yang lainnya. Global warming yang mengancam kelangsungan kehidupan itu kontribusi utamanya adalah karena pola makan manusia yang keliru ini. Sudah menjadi sifatnya bahwa hewan ternak seperti sapi itu memproduksi gas metana yang sangat banyak. Mulai dari sendawa, kentut sampai kotorannya. Seperti yang kita ketahui, metana membuat efek rumah kaca yang membuat pemanasan global, juga merusak ozon sehingga ozon perisai bumi ini menjadi bolong. Jika dibandingkan, daya rusak akibat peternakan adalah lebih dahsyat dibanding keseluruhan mobil-mobil yang digunakan untuk keperluan transportasi manusia.. Untuk diketahui juga, bahwa setiap 4 ekor sapi membutuhkan 1 hektar lahan untuk menunjang segala kebutuhan hidupnya sebagai hewan potong. Karena hewan tentu butuh bertumbuh, bergerak, berproses menggemukkan badannya maka hewan paling tidak harus memakan 16 porsi nutrisi nabati supaya 1 porsi dagingnya yang setara 1 porsi nutrisi nabati bisa diserap manusia. Tentu sangat tidak efisien. Dengan kata lain jika dari bahan nabati dikonsumsi langsung ke manusia, hanya dibutuhkan 1/16 nya saja dibanding bahan daging. Banyak sekali yang bisa dibagikan ke orang lain tentunya. Ironis sekali, dimana banyak sesama manusia lain yang kelaparan, pola makan hewani ini bersifat boros sekali. Karena itu daging jauh lebih mahal dari tempe. Padahal di Indonesia, kedelai bahan baku tempe itu diimpor dari US. Sedangkan pakar nutrisi membuktikan kandungan tempe lebih bagus dari daging. (bisa tanya ke Om Google) Coba lihat juga data industri pakan ternak. Hasil biji-bijian jagung 11,51 juta ton di Indonesia saja itu bukan lah buat manusia, tetapi untuk pakan ternak. Ladang-ladang berbagai tanaman untuk kebutuhan hewan ternak tersebut tentu disemprot pestisida, tidak lah mungkin penanamannya secara organik seperti untuk manusia yang mengerti dan peduli akan kesehatan juga menghindari pencemaran dan banyak pembunuhan. 70% hasil biji-bijian seperti kedelai dan jagung di US adalah untuk pakan ternak disana, sebagian kecil dikonsumsi penduduknya, sebagian lagi di ekspor ke Indonesia untuk dibuat tempe yang menjadi makanan khas & makanan bermutu Indonesia. Bahan daging hewani membutuhkan lahan yang sangat banyak, air yang sangat banyak juga. Untuk memproduksi 1 pound daging sapi diperlukan air sebanyak 2500 galon lebih beserta limbah-limbah polutannya. Bandingkan dengan kentang yang hanya 30 galon dan bagusnya tanaman kentang juga menghasilkan O2. Sumber dari hewani membuat banyak polusi macam-macam. Banyak peternak yang membuang kotoran ternaknya ke sungai. Dimana air sungai tersebut juga dipakai untuk kegiatan sehari-hari penduduknya seperti mandi dan mencuci. Proses pemotongan hewan juga sangat amat mencemari air. Kandang peternakan juga membuat polusi dan bau busuk menyengat luar biasa yang mengundang lalat dan tak terhitung organisme pencetus berbagai macam penyakit. Sebetulnya tidak akan ada yang mau bertempat tinggal di dekat industri peternakan atau penjagalan. Masyarakatnya juga tidak akan mau jika dibuat industri peternakan di dekat pemukiman, paling tidak mereka baru "diam" jika ada uang kompensasinya. Tentu sangat berbeda dengan kebun apel yang menyegarkan dan indah bukan ? Dan banyak hal lain yang membuat miris terkait lingkungan ini. Jika ingin membuktikan sendiri, Anda sekalian bisa melakukan kunjungan ke peternakan dan penjagalan terdekat kemudian mengamati dan bertanya-tanya di sana. Dengan mengerti begitu, sudah wajar semestinya orang vegan juga jauh lebih perhatian untuk hal-hal terkait kelestarian lingkungan lainnya.
Salah kaprah akibat dari asumsi sendiri dan pendapat umum yang keliru sering dihinggapi juga oleh penganut Buddhist yang mestinya terkenal sangat kritis, lebih punya kecerdasan moral, mental, spiritual dan terkenal akan keunggulan daya nalarnya itu. Sering dikatakan bahwa pola makan nabatipun membuat serangga mahluk kecil-kecil atau hama apapun bisa mati karena petani melibas yang mengganggu tanamannya, kemungkinan terbesar memakai semacam pestisida kalau serangga. "Yang penting jangan kita yang membunuh", begitu katanya. Berbeda tipis dengan menyuruh orang lain bukan ya ? "Bangsa lain dan penganut agama yang lain juga biasa saja melakukannya" begitu terusnya. Apakah pemikiran yang seperti itu adalah sekali lagi dibuat sebagai pembenaran untuk terus memuaskan selera lidah kita juga tidak disadari melanggengkan kebiasaan, adat, tradisi, budaya yang sudah bersifat merusak kelestarian alam ini ? Padahal dari kita-kita yang berpola makan hewani itu paling tidak bisa 16 kali lipat membuat keburukan yang demikian, bahkan mestinya angkanya tidaklah linier, tetapi eksponensial. Karena lahan pertanian dan perkebunan justru jauh lebih luas dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pakan hewan ternak potong, selain mahluk hewan yang akan dipotong itu sendiri adalah sangat kompleks. Karena belum lagi kalau memang benar-benar mau diperhitungkan tak terkira banyaknya mahluk organisme di tubuh hewan-hewan tersebut yang juga akan mati bila hewan itu dipotong dan dimasak.
Sangat disayangkan, bahwa niatan dari seseorang untuk melakukan upaya kebaikan menjadi runtuh karena masih mempersoalkan adanya ekses minor kematian hama yang tidak diharapkan yang sudah sangat sedikit masih bisa terjadi. Perlu dipahami sekali lagi bahwa justru motivasi utama dari berpola makan nabati adalah untuk menghindari sebisa mungkin penderitaan, pembunuhan mahluk lain yang benar-benar disengaja, untuk menjaga kelestarian lingkungan, juga untuk kesehatan. Kalau manusia bisa lebih fokus ke pola makan nabati, harusnya teknologi untuk menumbuhkan tanaman itu bisa dibuat lebih maju dan bagus lagi, sangat lebih minim membuat kematian mahluk lain, dan justru mendukung kebaikan alam. Sebenarnya sekarang pun sudah dilakukan, dimana tidak lagi digunakan pestisida kimia yang beracun untuk membunuh hama. Sistem tanam organik itu namanya. Pelaku vegan juga akan sangat bisa menganggarkan budgetnya ke sistem organik yang lebih aman dan lebih ramah bagi mahluk lain dan lingkungan ini. Karena pengeluarannya sudah jauh lebih hemat tidak membeli daging yang jauh lebih mahal itu. Karena sudah sangat-sangat jarang sekali sakit sehingga pengeluaran tidak boros untuk mengurusi masalah kesehatannya. Karena sehat, waktunya bisa lebih panjang untuk berkarya sehingga terus lebih lama dalam perpenghasilan. Justru pengaruh dari pola makan hewani oleh masyarakat mayoritas yang belum mengerti itulah yang menjadi penyebab tak terhitung banyaknya mahluk serangga dan berbagai jenis mahluk organik, bahkan binatang-binatang besar yang dianggap sebagai hama yang mati. Karena memang dimaklumi cara tanam mereka kemungkinan besar tidaklah berorientasi terhadap kepedulian akan kehidupan mahluk lain, tidak peduli juga efek racun pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan konsumennya. Kemungkinan besar, orientasi utamanya adalah untuk menekan biaya dan menghasilkan untung sebanyak banyaknya. Bila mengetahui hal-hal yang sangat merugikan itu dibanding manfaat mengkonsumsi daging, akan sangat membuat tertegun apabila jangan-jangan masih ada seorang tokoh spiritual top yang akan mengatakan bahwa urusan kerusakan lingkungan terkait pola makan itu bukanlah urusan agama atau spiritual.
Sangat disayangkan, bahwa niatan dari seseorang untuk melakukan upaya kebaikan menjadi runtuh karena masih mempersoalkan adanya ekses minor kematian hama yang tidak diharapkan yang sudah sangat sedikit masih bisa terjadi. Perlu dipahami sekali lagi bahwa justru motivasi utama dari berpola makan nabati adalah untuk menghindari sebisa mungkin penderitaan, pembunuhan mahluk lain yang benar-benar disengaja, untuk menjaga kelestarian lingkungan, juga untuk kesehatan. Kalau manusia bisa lebih fokus ke pola makan nabati, harusnya teknologi untuk menumbuhkan tanaman itu bisa dibuat lebih maju dan bagus lagi, sangat lebih minim membuat kematian mahluk lain, dan justru mendukung kebaikan alam. Sebenarnya sekarang pun sudah dilakukan, dimana tidak lagi digunakan pestisida kimia yang beracun untuk membunuh hama. Sistem tanam organik itu namanya. Pelaku vegan juga akan sangat bisa menganggarkan budgetnya ke sistem organik yang lebih aman dan lebih ramah bagi mahluk lain dan lingkungan ini. Karena pengeluarannya sudah jauh lebih hemat tidak membeli daging yang jauh lebih mahal itu. Karena sudah sangat-sangat jarang sekali sakit sehingga pengeluaran tidak boros untuk mengurusi masalah kesehatannya. Karena sehat, waktunya bisa lebih panjang untuk berkarya sehingga terus lebih lama dalam perpenghasilan. Justru pengaruh dari pola makan hewani oleh masyarakat mayoritas yang belum mengerti itulah yang menjadi penyebab tak terhitung banyaknya mahluk serangga dan berbagai jenis mahluk organik, bahkan binatang-binatang besar yang dianggap sebagai hama yang mati. Karena memang dimaklumi cara tanam mereka kemungkinan besar tidaklah berorientasi terhadap kepedulian akan kehidupan mahluk lain, tidak peduli juga efek racun pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan konsumennya. Kemungkinan besar, orientasi utamanya adalah untuk menekan biaya dan menghasilkan untung sebanyak banyaknya. Bila mengetahui hal-hal yang sangat merugikan itu dibanding manfaat mengkonsumsi daging, akan sangat membuat tertegun apabila jangan-jangan masih ada seorang tokoh spiritual top yang akan mengatakan bahwa urusan kerusakan lingkungan terkait pola makan itu bukanlah urusan agama atau spiritual.
1. Kebaikan-kebaikan apa yang terutama diharapkan manusia dan banyak mahluk dalam kehidupan ini ?
- Keamanan, ketentraman - Kesehatan, kekuatan - Kesejahteraan, kemakmuran - Kegembiraan, kesenangan - Saling mencintai - Kebahagiaan Kurang lebih itulah harapan-harapan yang seharusnya kita sepakati terlebih dahulu yang kemudian bisa bersama-sama kita jadikan sebagai visi hidup bersama di dunia ini. Mungkin bisa Anda-Anda tambahkan juga keinginan yang lainnya seperti misalnya : - Kehidupan yang beretika - Lingkungan yang bersih dan indah - Dll Kemudian menjadi acuan untuk kita umat manusia ini dimana manusia adalah mahluk yang berpengaruh utama di bumi ini yang paling memungkinkan mengemban misi untuk mewujudkannya . Jangan sampai karena ulah manusia yang melenceng semakin tak terkendali lalu justru manusia sendiri yang merusak, menghancurkan harapan-harapan itu. Untuk itu seharusnya perlu ditanamkan terus menerus pengertian bagaimana visi dan misi sebagai mahluk manusia ini.
Perkembangan kemajuan teknologi tentu semakin canggih. Manusia bisa menemukan dan membuat alat-alat dan apa saja yang hebat-hebat. Pada jaman Sang Buddha 26 abad lampau belum ditemukan kaca mata, pencangkokan kornea mata, alat bantu dengar, obat antibiotik, vaksin, alat pemicu jantung, teknologi kedokteran pasang ring di pembuluh darah, dll. Juga smart phone, komputer, radio, televisi, satelit belum ditemukan. Demikian pula dengan sepeda motor, mobil, kapal motor, pesawat terbang mungkin belum terpikirkan 2600 tahun silam. Kita tentunya mengikuti perkembangan jaman menggunakan penemuan penemuan baru tersebut untuk menunjang aktifitas aktifitas keseharian dan kegiatan kita. Para Bhikkhupun tentunya tidak mungkin bersikap kaku atau kolot tidak mau menggunakan penemuan baru tersebut karena tetap hanya mengacu pada kondisi saat jaman Sang Buddha masih hidup saja. Para umatpun tentu juga akan sangat memaklumi sifat perubahan annica ini. Demikian pula tidak seperti jaman 2600 tahun lampau dimana jumlah manusia masih hanya 100 jutaan saja dibanding saat ini yang melesat ke angka 8 miliar. Tentunya ada hal-hal yang disesuaikan dimaklumi dan diadaptasikan dengan situasi dan kondisi saat ini meskipun tidak tercantum dalam aturan vinaya. Bila usia bertambah, lalu pandangan mata menjadi buram, bisa menggunakan kaca mata. Bila kepala pusing, tinggal ambil tablet obat, kalau enggan mengikuti anjuran meminum air seninya sendiri sebagai obatnya. Berkomunikasi antar Bhikkhu apakah bisa dengan kemampuan telepati ? Hampir pasti di tas ada smart phone, sudah lumrah dan menjadi kebutuhan utama sekarang ini. Berjalan puluhan ratusan kilometer ke vihara lainnya tentu sudah tidak cocok lagi, karena lebih layak menggunakan mobil, kereta, kapal atau pesawat. Demikian pula jika kita memesan, order, meminta, menyuruh, membeli, merestui, mengijinkan, mengkonsumsi dan membiarkan pola makan daging. Hal-hal demikian itu semestinya sudah sangat bukan jamannya lagi, karena prilaku tersebut saat ini sudah bersifat menista, menyiksa dan sengaja membunuh mahluk hidup, menciderai ajaran cinta kasih dan kasih sayang, tidak ramah terhadap lingkungan dan merusak bumi tempat tinggal kita bersama, tidaklah menyehatkan apalagi untuk jangka panjang, juga sangatlah boros.
Di era sekarang ini, dengan ditunjang pemahaman akan kebijaksanaan Buddhisme yang hebat, saat kemudian kita mengetahui kerugian-kerugian, bahaya-bahaya dari pola makan hewani dibanding manfaatnya, mestinya pikiran kita yang seharusnya lebih unggul ini akan lebih berhati-hati, tidak akan menjadi ringan lagi dalam berpendapat bahwa pola hewani atau pola nabati adalah sekedar pilihan bebas begitu saja. Kebaikan - keburukan, Kebijaksanaan - kesembronoan, Tenang seimbang - egois ketidak pedulian, Sikap taat - berprilaku robot mengabaikan kebijaksanaan... Kontradiksi tersebut akan menjadi berbeda tipis bila kita sudah terlanjur terkurung oleh kebiasaan adat tradisi budaya komunitasnya. Yang bisa menilai lebih obyektif adalah orang-orang yang berada di luar kurungan budaya yang seperti itu. Tetapi di manapun memang lumrah jika ada sifat defence / bertahan / bebal dalam batin manusia ini yang berlaku untuk bertahan pada pola kebiasaan yang baik maupun yang buruk. Memang bisa dimaklumi, akan relatif tidak mudah untuk merubah hal yang sudah menjadi suatu pola yang mengurung, yang sudah menjadi suatu adat kebiasaan tradisi budaya. (hal yang baik, juga apalagi hal yang buruk) Contoh hal buruk yang mudah dan gamblang dilihat untuk menggambarkan situasi pola kurungan ini adalah sekali lagi pada pecandu rokok. Mereka akan mengatakan demikian : - Merokok tidak merokok adalah pilihan bebas. Jangan mengusik mengganggu merecoki aktifitas kebahagiaan (yang benar mestinya : kesenangan) merokoknya. - Merokok tidak merokok akan mati juga. - Jika Anda terlalu memusingkan urusan rokok orang lain, Anda sendiri yang akan mati duluan. - Lebih baik merokok tapi baik hati daripada tidak merokok tetapi suka marah. - dll dll Padahal kita semua pasti tahu, aktifitas kebiasaan kecanduan merokoknya tersebut sangat mengganggu, merugikan orang-orang lain dan tentu sebetulnya adalah dirinya sendiri. Dari data statistik, pecandu rokok berpotensi menderita gangguan kesehatan yang jauh lebih besar. Jika sudah terkena masalah semisal kanker, selain tentu merugikan dirinya sendiri, pecandu rokok itu akan sangat mengganggu dan membebani, paling tidak adalah terhadap orang orang dekatnya yang kemungkinan besar sudah menyarankan kepada orang itu supaya berhenti merokok. Saat merokok membuat polusi di sembarang tempat, orang-orang di dekatnya juga akan terkontaminasi yang istilahnya menjadi perokok pasif. Seperti juga sudah umum kita ketahui, perokok pasif punya resiko yang bisa justru lebih membahayakan daripada si perokoknya itu sendiri. Maka, karena keegoisannya itu, orang-orang lainpun akan menjadi dirugikan. Di era sekarang, adat, kebiasaan, tradisi, budaya, selera pola makan hewani sebetulnya kurang lebih juga demikian. Hanya memang komunitasnya jauh lebih banyak dan luas. Sehingga tentu memang akan lebih berat untuk memberikan pengertian, mengedukasi, menjelaskan kepada mereka sehingga mengerti, apalagi menjalani. Masih mending bila tidak membully ataupun memusuhi orang yang berniat memberi himbauan dan informasi. Kemudian, di komunitas atau sekte-sekte tertentu orang bijaknya membuat peraturan rutinitas hal-hal yang bersifat lunak. Seperti yang kemudian dilakukan adalah melakukan pantangan-pantangan pada hari tertentu, semisal hari uposatha untuk tidak makan daging, membuat daging tiruan untuk mengalihkan kelengketan pikiran akan daging asli, dsb. Upaya tersebut dilakukan sebagai latihan untuk kemudian seharusnya menjadi pola kebiasaan yang baru. Tetapi, mungkin karena tidak cukup dibarengi dengan pengertian dan dasar penjelasan yang berkesinambungan, maka hal-hal tersebut pun akhirnya hanya menjadi sekedar tradisi juga, tanpa dimengerti lagi mengapa hal tersebut dilakukan. Bahkan daging palsu itupun akhirnya juga sering menjadi bahan cemoohan dan ejekan. Banyak orang belum bisa memandangnya dari sudut pemikiran yang positif.
Memang tabiat manusia di dunia ini, meskipun melakukan perbuatan yang jelek dan merugikan, apabila sudah menjadi selera, adat kebiasaan budaya tradisi, maka akan dianggap sesuatu yang benar dan wajar di tempat itu dan malahan bisa berkeras untuk dipertahankan. Misal : jaman dulu ada praktek kanibal di Nias, Papua, dll, perdagangan manusia di banyak benua, perzinahan di Sodom dan Gomorah dan banyak tempat lainnya, saat ini pun masih biasa korupsi di Indo, kita mafhum pasar loak Dupak Surabaya itu menjual hasil curian, mabuk mabukan dan narkoba memang lumrah saja di tempat dugem, belum lagi budaya merokok itu yang gigih diperjuangkan oleh pelaku dan raksasa industrinya, dsb, dsb. Di jaman sekarang ini kita bisa merasakan bahwa praktek kanibalisme, perbudakan, perdagangan manusia yang biasa saja dilakukan pada saat lampau di beberapa daerah itu adalah sangat sangat tidak sesuai lagi. Sangat primitif, membuat geleng-geleng kepala, miris dibayangkan, tidak menghargai etika kehidupan dan rendah sekali harkat dan martabat sebagai mahluk yang namanya manusia ini saat itu. Nanti (semoga) kalau memang kualitas manusia di dunia ini menjadi semakin tinggi yaitu sesuai dengan yang seharusnya bahwa arti nama manusia ini adalah mahluk yang berakal dan berbudi, di saat itu para manusia kemungkinan besar juga akan merasakan hal yang sama bila menengok sejarah bahwa di era kita sekarang ini mayoritasnya masih berpola makan hewani.
Makan memang untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Seakan-akan memang sepele, tetapi pola makan yang keliru tentunya akan membawa dampak yang tidak baik. Pikiran memang pelopor segalanya. Tentunya untuk kebahagiaan adalah pikiran yang dilandasi oleh kemurahan hati, cinta kasih dan pengetahuan yang seluas-luasnya untuk dimengerti. Jika pikirannya keliru, maka segala-galanya bisa keliru. Pola pikir, pola kebiasaan hidup, pola makan bisa keliru yang menyebabkan kekacauan, bencana akibat kerusakan lingkungan alam, berbagai macam penyakit, wabah² penyakit, peperangan dan penderitaan mahluk sepanjang masa. Sebagai umat, tentunya kita lebih bebas memilih jenis makanan yang lebih selaras dengan cinta kasih & kasih sayang, lebih ramah terhadap kelestarian lingkungan, lebih menunjang kesehatan jangka panjang, lebih hemat bersahaja juga lebih beretika, tidak menjadi momok yang menakutkan yang mengancam kehidupan bagi mahluk lain karena pola makan daging di era sekarang ini adalah penyebab yang pasti sangat disengaja untuk hilangnya nyawa hewan secara masif. Sebagai Bhikkhu, meskipun tidak bisa memilih jenis makanan, tentunya tidak akan tinggal diam, apalagi mengijinkan, memperbolehkan, dengan ringan merestui, membiarkan begitu saja bila mengetahui besarnya keburukan dibalik pilihan makanan para umat. (jika masih memandang banyak sisi-sisi Dhamma tentang hukum sebab-akibat, annica, metta, muddita, karuna dan kebijaksanaan itu sendiri tentunya, dengan acuan misalkan pada Kalama Sutta dibanding satu doktrin 3 syarat makan daging yang itupun juga belum dibahas mendalam). Kemudian tentu bisa memberi masukan, arahan, wejangan kepada umat berdasar pengetahuan yang sudah lebih lengkap dan lebih bijaksana pada era sekarang ini, bukan tetap kokoh harus mengacu seperti situasi kondisi saat 26 abad yang lampau. Itulah pentingnya dan gunanya update wawasan yang luas selain lingkup spiritual saja. Adalah sangat janggal bila kita memasrahkan hal-hal basic mendasar kepada pihak lain tanpa mau tahu sedikit saja. Seperti menyerahkan urusan kesehatan kita kepada dokter tanpa terlalu mau berusaha bagaimana yang sebaiknya untuk dimengerti dan dilakukan paling tidak untuk pencegahan sebelum benar-benar terserang oleh penyakit akibat kekeliruan kita sendiri. Atau jangan-jangan juga tidak peduli, tidak ambil pusing dengan dampak kerusakan-kerusakan yang hebat akibat pola makan hewani ini karena menganggap kerusakan lingkungan akibat pola makan yang keliru di era sekarang ini bukanlah ranah spiritual.
15. Pikiran, Ucapan dan Perbuatan Para Tokoh 1. Sang Buddha & tokoh Buddhist
Vinaya "Jika seseorang mengajarkan yang tidak konsisten terhadap Dhamma, maka hindarilah itu."
Karaniyametta Sutta (cuplikan) "Mahluk hidup apapun juga, yang lemah dan kuat tanpa kecuali, yang panjang atau besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk. Yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, Semoga semua makhluk berbahagia Bagaikan seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya Melindungi anaknya yang tunggal. Demikianlah terhadap semua makhluk hidup, dipancarkannya pikiran (kasih sayang) tanpa batas..."
Dhammapada, "Semua mahluk gemetar di hadapan bahaya; semua takut mati. Ketika seseorang mempertimbangkan hal ini, dia tidak akan membunuh atau menyebabkan pembunuhan." ; (Semua ajaran etika Buddhis dari zaman paling kuno hingga saat ini berkaitan dengan hubungan kita dengan "semua mahluk", bukan "manusia" saja.)
Anguttara Nikaya 4:39 "Aku tidak memuji pengurbanan keji yang mana ternak, kambing, domba, ayam dan babi disembelih, yang mana berbagai mahluk dibawa untuk dibantai."
"Seseorang bukanlah yang hebat karena ia mengalahkan atau mencelakai makhluk hidup lainnya. Seseorang disebut demikian karena ia menahan diri untuk tidak mengalahkan atau menyakiti makhluk hidup lainnya."
12. Vipassana di penjagalan tradisional. (yang masih suka daging & tidak mau lepas tapi masih punya nurani lebih baik jangan baca)
Pada suatu pagi di tempat penjagalan desa kira-kira 10 km di luar kota suatu kabupaten. Tempat itu berupa bangunan sederhana 1/2 tembok bergenting sederhana yang berfungsi untuk penjagalan tradisional. Jadi karena setengah tembok, maka siapapun bisa mendengar dan kalau mau bisa juga melihat kegiatan di dalamnya. Setiap harinya kira-kira ada supply 2 - 3 ekor sapi yang "diproses" di tempat itu untuk memenuhi permintaan /demand kecamatan dan desa-desa sekitarnya juga di lereng-lereng gunung. Jadi, pada setiap pagi hari, bisa didengar lenguhan-lenguhan panjang yang menyayat hati dari sapi yang akan dieksekusi itu yang diikat diluar bangunan sederhana tersebut. Tidak banyak personil petugas yang beraktifitas di sana, mungkin karena sudah sangat terbiasa, hanya 3-4 orang saja.
Prosesnya demikian... Seekor sapi digiring masuk ruangan maut itu, tali penarik yang biasa ada di hidungnya diikat di pilar tengah bangunan, lalu dua kaki depan diikat menjadi satu, juga kedua kaki belakang diikat jadi satu. Sedemikian rupa sehingga mudah untuk ditarik dan terbanting lalu terbaring tak berdaya di lantai semen yang tentu saja keras. Kemudian sepertinya penjagal ber-ritual komat kamit sebentar (mirip seperti suster PMI yg mau menusuk jarum jumbo ke lengan saat saya donor, bedanya suster biasanya bilang ke saya untuk ambil nafas yang panjang sembari membenamkan jarum supernya itu). Dalam waktu beberapa detik kemudian, leher itu sudah menganga dan darah segar deras menyembur memancar tertampung ke beberapa tampah yang sebelumnya dipersiapkan ditaruh sebagai alas di leher. Genangan-genangan itu nantinya juga laku untuk dijual. Jangan tanya bagaimana suaranya, kasihan sekali. Tapi semestinya saat Vipassana kita hanyalah mengamati prosesnya saja. Kemudian dengan sangat terampil dan cekatan, penjagal itu mulai membuat sayatan yang dalam memanjang dari leher yang sudah robek itu turun ke sepanjang dada, perut sampai selangkangan. Itu dilakukan selagi si sapi belum sepenuhnya mati. Kemudian terbukalah badannya dan segala isi di rongga badan dikeluarkan, lalu si sapi yang entah masih bernyawa tipis atau sudah mati itu digantung pada salah satu kakinya dan dengan cekatan mereka menguliti sapi malang itu. Sementara itu petugas lain mencuci isi perut yang sudah dikeluarkan tersebut. Lambung, usus kecil, usus besar, hati, paru paru, jantung yang masih berdenyut, dll. Semuanya dicuci di selokan air pedesaan yang sengaja dibuat mengalir melalui bagian dalam tempat ini. Berulang-ulang usus "diporot" untuk mengeluarkan kotorannya. Memang benar terlihat kegiatan ini saja sudah membuat pencemaran air yang berat, entah bagaimana warga di bawah aliran air itu yang juga menggunakannya untuk kehidupan sehari hari. Kemudian bagian-bagian tubuh itu terpotong potong tercerai berai dengan sangat cepatnya. Masih nampak otot-otot daging itu bergerak gerak, seolah masih merasakan pengalaman hebat yang tidak pernah diduganya saat ternyata hari itu adalah hari terakhir kehidupannya sebagai sapi. Kemudian jasad (bukan bangkai) yang sebagian masih nampak bergerak-gerak itu ditumpuk memakai semacam becak untuk diangkut ke pasar yang jaraknya juga tidak terlalu jauh, dalam rangka menggenapi rangkaian rantai hukum sebab dan akibat, supply and demand. Semua bagian tubuh sapi tersebut punya nilai ekonomis, mulai dari kepala sampai ekornya, kecuali kotorannya yang terhanyut di aliran selokan yang merupakan sisa dari makanan terakhir hidupnya itu. Demikian hal ini berlangsung setiap hari.
4. Tiga syarat untuk makan daging.
Tiga syarat untuk makan daging diberikan oleh Sang Buddha yang hebat tiada taranya kepada para Bhikkhu pada 26 abad yang telah silam. Buddhism terkenal luar biasa untuk daya penalaran, pemikiran, pemahaman, kedewasaan dan tentu spiritualnya. Seringkali Sang Buddha memberi uraian-uraian Dhamma dengan halusnya, terkadang pula dengan ilustrasi metafora, selain penjelasan-penjelasan yang bersifat langsung. Suatu ketika Yang Mulia Bhante Pannavaro dalam ceramahnya pernah bercerita tentang kisah seorang anak tukang tenun pada jaman Sang Buddha. Suatu saat Sang Buddha bertanya kepada seorang anak tukang tenun saat terlambat datang disuatu acara ceramah Beliau, yaitu "Wahai anak tukang tenun... kamu dari mana ? mau ke mana ? apakah tidak tahu ? dan apakah tahu...?" Bagi orang biasa, wajar bila pertanyaan seperti itu menjadi membingungkan jika anak itu lalu menjawabnya dengan jawaban : "aku tidak tahu Bhante, aku tidak tahu, justru itu yang aku tahu dan itu aku tidak tahu". Anak tukang tenun itu mengerti apa yang dimaksud Sang Buddha bahwa pertanyaanNya itu tentu bukan sekedar pertanyaan dangkal biasa. Sedangkan peserta ceramah lainnya yang kebingungan itu mengalami gagal paham dan menganggap anak tersebut tidak sopan karena pertanyaan Sang Buddha dan jawaban anak tukang tenun itu diartikan secara harafiah begitu saja.
Tidaklah serumit kisah anak tukang tenun itu, Sang Buddha memberi tiga syarat makan daging kepada para Bhikkhu yang kemudian juga diadopsi oleh para umat, yaitu : kita tidak meminta daging, hewan tidak mati untuk / karena kita, kita tidak melihat hewan itu mati karena kita dan kita tidak ragu-ragu hewan itu mati karena kita. Jika bisa mempelajari kitab Abhidhamma yang sangat rumit itu, juga mengupas dengan rinci Pancasila Buddhist dan teori-teori Anatta, Tilakhana, dsb. Apakah kita lalu justru kesulitan untuk mengerti hal yang sangat sederhana untuk dinalar ini ? Di penghujung tahun 2022 ini, kedua mata dan kedua telinga kita tentu saja enggan, tidak mau, apalagi dengan sengaja mau mendengar suara yang mengerikan dari pembantaian dan melihat dengan mata kepala sendiri sadisnya pembunuhan di tempat jagal itu. Tetapi tidaklah demikian dangan mata hati, telinga nurani dan kecerdasan pengetahuan kita pasti menyadari dan tidak akan ragu bahwa daging-daging yang dijual di pasar dan dimanapun di era sekarang ini pasti berasal dari pembunuhan-pembunuhan yang pasti sangat disengaja tersebut. Daging-daging itu diadakan karena permintaan kita, yaitu niat para konsumen ini untuk membelinya, sehingga kita berandil, bersumbangsih, berkontribusi memenuhi rangkaian lingkaran setan hukum sebab & akibat. Kalau di dunia ekonomi namanya hukum Supply & Demand atau Permintaan dan Penawaran. Hukum ekonomi itu sudah diajarkan sejak kelas X. Mulai dari hulu pengadaan pembibitan, pemerkosaan hewan misalnya dengan inseminasi buatan, asupan-asupan yang diluar nalar manusia biasa, ke hilir penjagalan, sampai kemudian tersaji di piring kita, atau pada kemasan-kemasan cantik yang menarik hati itu.
Bila ada metode meditasi mengamati proses pembusukan jasad manusia, mungkin bisa lebih mudah juga dilakukan pula meditasi pengamatan proses bagaimana daging didapat di tempat-tempat penjagalan. Dengan demikian kita bisa mengetahui sendiri bahwa penderitaan, pembunuhan-pembunuhan berdarah dingin untuk memenuhi permintaan karena kebiasaan, adat, tradisi, budaya dan selera keinginan kita sendiri itu bukanlah tidak terdengar, juga bukan tidak terlihat, apalagi suatu fatamorgana yang meragukan.
Ada ucapan dari Sang Buddha yang sangat luar biasa kepada suku Kalama yang mengatakan untuk jangan percaya begitu saja akan suatu tradisi, pandangan, dsb.. Tetapi hendaknya direnungkan dulu, ditimbang-timbang dulu bagaimana untung ruginya, apakah bermanfaat atau justru memang lebih banyak mudaratnya suatu pandangan itu. Saya termasuk orang yang tidak percaya bila Sang Buddha hanya begitu saja mengijinkan kebiasaan berpola makan hewani tanpa mempertimbangkan banyak faktor-faktor lain yang lebih menyebabkan penderitaan, pembunuhan, kerugian-kerugian, kerusakan alam dan juga kemerosotan kesehatan di era sekarang ini. Bagaimana bila penjelasan yang lebih masuk akal adalah... umumnya pada saat jaman Sang Buddha itu tidaklah dominan terjadi kematian hewan yang disengaja oleh manusia... Seperti kasus kematian binatang pada cerita-cerita Jataka itu. Di jaman sekarang ini pun masih bisa kita lihat pada tayangan-tayangan alam liar seperti Discovery Channel dan National Geographic, bahwa ada binatang-binatang yang memang bisa mati sendiri tanpa ada yang dengan sengaja membunuhnya. Seperti saat beribu-ribu ekor Weldebis menyeberang sungai Serengeti di Tanzania ada beberapa dari mereka yang gagal lalu mati. Ratusan ribu ikan salmon juga mati setelah berjuang untuk bertelur di hulu sungai. Hewan Walrus di belahan kutub juga banyak yang mati karena terjatuh dari tebing. Beberapa kali kita juga mengetahui dari berita ada ikan besar seperti paus yang mati karena terdampar. Fenomena banyak serangga laron yang muncul kemudian mati diawal musim hujan juga demikian. Nah, apalagi saat jaman Sang Buddha dulu dimana kondisi alam masih rimbun belum rusak terdampak oleh ulah mahluk yang namanya Homo Sapiens / manusia ini. Belum ada yang namanya industri daging, pembabatan hutan luar biasa untuk menjadi lahan terkait perternakan, pertambangan yang mengkoyak-koyak bumi, ozon yang bolong, global warming, wabah pandemik yang mendunia, dll.
Karena situasi dan kondisinya, di Tibet ada tradisi pemakaman langit namanya. Dimana apabila ada seseorang atau Bhikkhu Tibet yang meninggal dunia, jasadnya tersebut lalu dicacah untuk diberikan kepada burung pemakan daging / bangkai. Di sana tidak ada yang sengaja membunuh seseorang untuk menjadi makanan burung. Jasad manusia tersebut juga masih berguna untuk burung pemakan bangkai itu. YM Bhante Pannavaro mungkin juga sudah mendaftarkan diri beliau untuk menjadi pendonor mata dan organ untuk orang lain yang membutuhkan. Hal ini menggambarkan bahwa ada pula orang orang yang mengerti dan peduli. Sehingga bila kelak meninggal dulia, masih bisa merelakan jasadnya yang sudah mati untuk menunjang suatu kabaikan. Semoga semua mahluk hidup berbahagia.
Amithuofo, Amithuofo, Amithuofo Buddha bless you
Thankyou for uploading this. 🎋
Namo me Buddhatejasā Ratanattayadhammikā Tejapasiddhipasīdevā Nārāyaboramesurā Siddhi brohmā ca indā ca Catulokā gambhīrakkhakā Samuddā bhūtungaṅgā ca Sahrambājaya pasiddhi bhavantu te Jaya jaya dhorani dhoranī Udadhi udadhī nadi nadī Jaya jaya gagonlatonlanisai Nirai saisena merurājjabolnorajī Jaya jaya gambhīra sombhī Nāgendanāgī pisācca bhūtakālī Jaya jaya dunnimitta rogī Jaya jaya Siṅgīsudādānamukhajā Jaya jaya varuṇṇamukhasātrā Jaya jaya Campādināgakulaganthok Jaya jaya gajjagonnaturoṁ, Sukaro bhūjoṁ sīhabīaggha dīpā Jaya jaya varuṇṇāmukhāyatrā Jita jita senārīpunasuddhinoradī Jaya jaya sukhāsukhā jīvī Jaya jaya dhoraṇī talesadāsujayā Jaya jaya dhoraṇī santisadā Jaya jaya maṅkarajraññā bhavagge Jaya jaya varuṇṇayakkhe Jaya jaya rakkhasesurabhūjatejā Jaya jaya brohmmendagaṇā Jaya jaya rājādhirājsajjay Jaya jaya pathaviṁ sabbaṁ Jaya jaya orahantā paccekabuddhasāvaṁ Jaya jaya mahesuro haroharindevā Jaya jaya brohmāsurakkho Jaya jaya nāgoviruḷhako Virūpakkho candimāravi Indo ca venateyyo ca Kuvero varuṇopi ca Aggi vāyo ca pājuṇho Kumāro dhataraṭṭhako Aṭṭharasa mahādevā Siddhitā pasa ādayo Isīno sāvakā sabbā Jaya rāmo bhavantu te Jaya Dhammo ca saṅgho ca Dasapālo ca jayakaṁ Etena jayatejena Jaya sotthī bhavantu te Etena Buddha tejena Hotute jayamaṅgalaṁ Jayopi Buddhassa sirimato ayaṁ mārassa ca pāpimato parājayo, uggho sayambodhimaṇde pamoditā jayatadā Brohmagaṇā mahesino Jayopi Buddhassa sirimato ayaṁ mārassa ca pāpimato parājayo, uggho sayambodhimaṇde pamoditā jayatadā Indagaṇā mahesino Jayopi Buddhassa sirimato ayaṁ mārassa ca pāpimato parājayo, uggho sayambodhimaṇde pamoditā jayatadā Devagaṇā mahesino Jayopi Buddhassa sirimato ayaṁ mārassa ca pāpimato parājayo, uggho sayambodhimaṇde pamoditā jayatadā Supaṇṇagaṇā mahesino Jayopi Buddhassa sirimato ayaṁ mārassa ca pāpimato parājayo, uggho sayambodhimaṇde pamoditā jayatadā Nāgāgaṇā mahesino Jayopi Buddhassa sirimato ayaṁ mārassa ca pāpimato parājayo, uggho sayambodhimaṇde pamoditā jayatadā Sahrambagaṇā mahesino Jayanto bodhiyā mūle Sakyānaṁ nandivaḍḍhano Evaṁ tvaṁ vijayo hohi Jayassu jayamaṅgale Aparājitapallaṅke Sīse pāṭhāvipokkhare Abhiseke sabbabuddhānaṁ Aggappatto pamodati Sunakkhattaṁ sumaṅgalaṁ Supabhātaṁ suhuṭṭhitaṁ Sukhaṇo sumuhutto ca Suyiṭṭhaṁ brahmacārisu Padakkhiṇaṁ kāyakammaṁ Vācākammaṁ padakkhiṇaṁ Padakkhiṇaṁ manokammaṁ paṇidhi te padakkhiṇā Padakkhiṇāni katvāna labhantatthe padakkhiṇe Te atthaladdhā sukhitā Viruḷha buddhasāsane Arogā sukhitā hotha Saha sabbehi ñātibhi Sūṇantu bhontoyedevā Asamiṅ thāne adhigatā Dighāyukā sadā hontu Sukhitā hontu sabbadā Rakkhantu sabbasattānaṁ Rakkhantu jinasāsanaṁ Yā keci patthanā tesaṁ Sabbe pūrentu manorāthā Yutta kāle pavassantu Vassaṁ vassā valāhakā Rogā cupaddavā tesaṁ Nivārentu ca sabbadā Kāya sukhaṁ cittisukhaṁ Ārahantu yāthārahaṁ
🙏🙏🙏
🙏🙏🙏
❤️Namo sakyamuni buddha🙏,️Namo ti chang wang phusa ,🙏Namo Guan Si Yin Phu Sa 🙏 om mani pad me hum 🧡《大慈大悲观世音菩萨》🙏🙏🙏 💛Semoga memberikan kita semua penuh dengan kebahagiaan dan kesehatan~ Sadhu Sadhu Sadhu~
Tolong dong textnya , trms
Kenapa ngak ada teks supaya lebih mudah kita ikuti,🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Anumodana baik terima Kasih atas masukannya
Paritta nya apa boleh saya baca di rmh