Halo bang Alex. Kalau abg ditanya nih, dan jawab jujur "Apakah ada perbedaan yang abg alami sebelum dan sesudah menikah?, terkhusus dalam hal kebahagiaan dan kesenangan". Adakah kegelisahan/beban jiwa yg terselesaikan setelah menikah? Karena terlalu klise kalau kita berkata menikah atau tidak menikah tidak mempengaruhi kebahagiaan, sementara disatu sisi Tuhan menciptakan kita sebagai mahluk yg berelasi. Dalam hal ini relasi suami istri adalah penggambaran antara Kristus dan Gereja. Bukankan relasi berdampak terhadap suka cita kita ? Bagaimana dengan orang yang terpaksa tidak menikah karena keadaan? Contoh kasus seperti saya, saya mengalami ketertarikan sesama jenis. Sudah berbagai upaya saya lakukan untuk tidak tertarik, bertahun2 berdoa hasilnya nihil, ketertarikan tetap ada malah terkadang semakin terasa. Ketertarikan ini bukan semata sexual tapi juga emosional/romantic. Dari teologi yg saya percaya, sekalipun ini adalah akibat Gen (meskipun penyebabnya kompleks), itu semua adalah akibat kejatuhan manusia dalam dosa, sehingga semua aspek terdisorientasi. Bagaimana dengan kita2 yg merindukan intimacy dan companionship tapi tidak bisa, karna pada gender yg sama? Sedangkan ketertarikan kepada lawan jenis tidak kunjung bertumbuh, meski telah menjalani banyak cara dan doa yg tidak terhitung lagi. Sejujurnya saya tidak mau seperti ini terus dan tidak mau selibat selamanya. Namun secara logika, kemungkinan besar saya akan single seumur hidup (kecuali mengikuti ego dan terpaksa menikah, lalu mengorbankan kehidupan seorang wanita). Sementara digereja manapun single itu dianggap buruk. Sangat susah rasanya untuk bergabung dan melayani digereja dengan beban seberat ini. Juga muncul dosa kecemburuan akan berkat Tuhan bagi orang2 menikah seolah Tuhan berpesta bersama mereka. Mungkin bg alex akan berpikir bahwa saya telah memberhalakan kesembuhan ataupun relasi. Tapi percayalah ini bukan hal yg mudah (meskipun Tuhan berkata kuk ringan). Tidak jarang saya dan orang2 seperti saya berakhir dengan bunuh diri atau sengaja merusak diri karena tidak ada lagi harapan untuk kehidupan yg lebih baik. Kebanyakan orang Kristen, menerima kasih Yesus juga melalui orang2 yg mereka kasihi, terutama suami/istri. Orang orang seperti saya harus melampai nature sebagai manusia (karena potensi hidup single dan perasaan yg harus selalu di tekan karena objek kasih kita yg tidak sesuai kemauan Tuhan), hal ini sering membuat muncul pemikiran bahwa Yesus mengasihi kita adalah klise. Nyaris tidak ada hari yang dilewatkan tanpa tangisan dan ketidak adanya harapan (berdasarkan psikologi/medis bahwa tidak ada orang yg sembuh dari ketertarikan sesama jenis, mungkin gaya hidup homosexual bisa dihindari, namun keterarikan tetap ada. Dan juga Tuhan tidak menjajikan kesembuhan). Tidak tahu kemana lagi harus meminta tolong, harusnya hanya Tuhan lah satu2 tempat pertolongan, namun Tuhan juga diam. Saat ini saya kehabisan kata kata untuk mengungkapkan apa yg dialami oleh orang2 seperti saya dan orang2 Kristen lain yg juga seperti saya (jumlahnya banyak). Terima kasih bang
Halo bang Alex.
Kalau abg ditanya nih, dan jawab jujur "Apakah ada perbedaan yang abg alami sebelum dan sesudah menikah?, terkhusus dalam hal kebahagiaan dan kesenangan". Adakah kegelisahan/beban jiwa yg terselesaikan setelah menikah?
Karena terlalu klise kalau kita berkata menikah atau tidak menikah tidak mempengaruhi kebahagiaan, sementara disatu sisi Tuhan menciptakan kita sebagai mahluk yg berelasi. Dalam hal ini relasi suami istri adalah penggambaran antara Kristus dan Gereja. Bukankan relasi berdampak terhadap suka cita kita ?
Bagaimana dengan orang yang terpaksa tidak menikah karena keadaan? Contoh kasus seperti saya, saya mengalami ketertarikan sesama jenis.
Sudah berbagai upaya saya lakukan untuk tidak tertarik, bertahun2 berdoa hasilnya nihil, ketertarikan tetap ada malah terkadang semakin terasa.
Ketertarikan ini bukan semata sexual tapi juga emosional/romantic.
Dari teologi yg saya percaya, sekalipun ini adalah akibat Gen (meskipun penyebabnya kompleks), itu semua adalah akibat kejatuhan manusia dalam dosa, sehingga semua aspek terdisorientasi.
Bagaimana dengan kita2 yg merindukan intimacy dan companionship tapi tidak bisa, karna pada gender yg sama? Sedangkan ketertarikan kepada lawan jenis tidak kunjung bertumbuh, meski telah menjalani banyak cara dan doa yg tidak terhitung lagi.
Sejujurnya saya tidak mau seperti ini terus dan tidak mau selibat selamanya. Namun secara logika, kemungkinan besar saya akan single seumur hidup (kecuali mengikuti ego dan terpaksa menikah, lalu mengorbankan kehidupan seorang wanita).
Sementara digereja manapun single itu dianggap buruk. Sangat susah rasanya untuk bergabung dan melayani digereja dengan beban seberat ini. Juga muncul dosa kecemburuan akan berkat Tuhan bagi orang2 menikah seolah Tuhan berpesta bersama mereka.
Mungkin bg alex akan berpikir bahwa saya telah memberhalakan kesembuhan ataupun relasi. Tapi percayalah ini bukan hal yg mudah (meskipun Tuhan berkata kuk ringan). Tidak jarang saya dan orang2 seperti saya berakhir dengan bunuh diri atau sengaja merusak diri karena tidak ada lagi harapan untuk kehidupan yg lebih baik.
Kebanyakan orang Kristen, menerima kasih Yesus juga melalui orang2 yg mereka kasihi, terutama suami/istri.
Orang orang seperti saya harus melampai nature sebagai manusia (karena potensi hidup single dan perasaan yg harus selalu di tekan karena objek kasih kita yg tidak sesuai kemauan Tuhan), hal ini sering membuat muncul pemikiran bahwa Yesus mengasihi kita adalah klise.
Nyaris tidak ada hari yang dilewatkan tanpa tangisan dan ketidak adanya harapan (berdasarkan psikologi/medis bahwa tidak ada orang yg sembuh dari ketertarikan sesama jenis, mungkin gaya hidup homosexual bisa dihindari, namun keterarikan tetap ada. Dan juga Tuhan tidak menjajikan kesembuhan).
Tidak tahu kemana lagi harus meminta tolong, harusnya hanya Tuhan lah satu2 tempat pertolongan, namun Tuhan juga diam. Saat ini saya kehabisan kata kata untuk mengungkapkan apa yg dialami oleh orang2 seperti saya dan orang2 Kristen lain yg juga seperti saya (jumlahnya banyak).
Terima kasih bang