Apa Persamaan & Perbedaan dari Citta, Mano, Viññāṇa

แชร์
ฝัง
  • เผยแพร่เมื่อ 16 ก.ย. 2024
  • Dhammasākacchā oleh Bhante Mahā Dhammadhīro usai dana makan di Vihāra Dibba Ratana Jakarta

ความคิดเห็น • 15

  • @levi6297
    @levi6297 15 วันที่ผ่านมา

    Terimakasih Bhante 🙏🙏🙏
    Anumodana Admin 🙏🙏🙏

  • @levi6297
    @levi6297 15 วันที่ผ่านมา

    Vandami Bhante 🙏🙏🙏

  • @ratnawidya781
    @ratnawidya781 4 วันที่ผ่านมา

    Anumodana Bhante

  • @dhomes8
    @dhomes8 15 วันที่ผ่านมา

    🙏🙏🙏

  • @rahmatadiwarga6364
    @rahmatadiwarga6364 15 วันที่ผ่านมา

    🙏 Vandami YM Bhante Māha Dhammadhiro MT 。💐 anumodami 。

  • @yodhajiva
    @yodhajiva 15 วันที่ผ่านมา +2

    Bhante, bukannya Sang Buddha sendiri juga suka pakai pendekatan redefinisi, ya? Misalnya pada kata "karma", "punarbawa", dll. yg maknanya agak berbeda dari pemahaman Hindu, tetapi toh tetap dipakai asalkan redefinisinya jelas diuraikan 🙏🙏🙏
    Kadang kita terlalu fokus di sering gonta-ganti istilah kayak misalnya "kotoran batin" yg Bhante tdk setuju di sini, bukan malah fokus ke pemaknaan. Saya sempat baca Paritta Suci yg Bhante terjemahkan dan jujur mohon maaf, persis yg seperti Bhante bilang, istilah di sana sangat membingungkan karena diganti total. Menurut saya, lebih baik kita fokus di pemaknaan saja; untuk istilah2 tidak perlu terlalu signifikan diubahnya karena percuma kalau pemaknaannya juga salah, Bhante. Para Bhante sblmny juga punya alasan sendiri kok pakai istilah tertemtu, biasanya agar sinkron scr internasional dgn padanan bahasa Inggrisnya.
    misalnya "kotoran batin" sinkron dengan "mental afflictions" (kotoran) yg umum di bhs Inggris, bukan "mental afflictors" (pengotor). begitu jg dgn "faktor mental" yg sinkron dgn "mental factors" alih-alih "penyerta batin"... ini memudahkan utk referensi-silang ke buku2 para Bhante internasional... bukankah justru yg penting pemaknaannya?
    Vandāmi 🙏🙏🙏

    • @kalyanaviro
      @kalyanaviro 14 วันที่ผ่านมา +2

      Yang saya tangkap, Bhante Dhammadiro sangat ingin kita memahami teks agama melalui bahasa yang digunakan dalam teks itu. Ketika memahami teks agama melalui bahasa asalnya, "bias penerjemahan" akan sangat minimal, walaupun sebenarnya kita tidak akan bisa menerjemahkan secara sempurna tiap kata dalam satu bahasa sebagai berkorespondensi satu-satu dengan kata dalam bahasa lain. Hal ini terjadi karena bahasa selalu dilingkup oleh kebiasaan dan budaya masyarakat pendukungnya. Dan sudah menjadi jamaknya, satu kebiasaan masyarakat satu tidak akan sama persis dengan kebiasaan masyarakat lainnya. Satu istilah di budaya yang satu, bisa jadi tidak ada di budaya yang lain. Apalagi bahasa yang sudah mati, yang tidak lagi digunakan dalam komunikasi keseharian suatu masyarakat, dalam hal ini bahasa Pali, sangat mungkin banyak makna yang sebenarnya kita hanya "sedang meraba-raba" saja. Terjemahan-terjemahan istilah Pali versi bahasa Inggris itu adalah suatu usaha yang dilakukan, pun tidak lepas dari perbedaan pendapat. Boleh misalnya ketika menyimak ceramah dari mendiang Bhante Punnaji dari Sri Lanka, seorang bhikkhu senior dan cendekia, beliau pun banyak menunjukkan "kesalahan terjemahan" istilah Pali versi Barat. Menurut beliau, bahasa Pali sangat cocok diterjemahkan melalui sarana bahasa Sinhala, karena dalam bahasa Sinhala banyak kata-kata Pali yang dilestarikan sesuai dengan makna "aslinya".
      Kalau kita baca terjemahan paritta yang dibuat Bhante, mungkin itu terasa begitu aneh dan banyak kata yang tidak umum digunakan. Tapi, itu adalah usaha Bhante untuk membuat kita memahami istilah Pali langsung dari makna aslinya. Bagian ini menurut saya sangat penting, karena latihan kita bisa relatif lebih terarah. Misalnya, yang sangat saya ingat adalah terjemahan Bhante terhadap kata māna, bisa dilihat di Pustaka Dhammapada Pāli - Indonesia terbitan Saṅgha Theravāda Indonesia halaman 195. Bhante menerjemahkan māna sebagai 'pembandingan diri'. Padahal di terjemahan-terjemahan Indonesia lawas, māna diterjemahkan sebagai 'sombong, kesombongan', yang bisa saja hanya menerjemahkan dari versi Inggrisnya saja "pride, conceit, arrogance" seperti yang dimaktub dalam The Pali Text Society's Pali-English Dictionary. Terjemahan Bhante tersebut tentu bukan tanpa alasan, makna māna terlalu sempit jika hanya diterjemahkan sebagai 'kesombongan', sebab wujud dari "pembandingan diri" ini bukan hanya sombong saja (sebagai hasil membandingkan diri dengan merasa diri lebih tinggi), tapi juga rasa rendah diri (sebagai hasil membandingkan diri merasa diri lebih rendah), atau merasa sama dengan orang lain (sebagai hasil membandingkan diri sama dengan orang lain, yang efeknya bisa berupa ketidaksenangan jika orang lain yang punya "derajat" sama mendapat sesuatu yang lebih istimewa dari kita). Kata māna yang berarti 'pembandingan diri' menurut saya lebih pas, sehingga kita bisa punya panduan untuk tidak hanya berusaha menanggulangi kesombongan, tapi juga rasa rendah diri, atau merasa sama dengan orang lain, yang efeknya bisa membuat kita melihat setiap fenomena sebagai apa adanya tanpa adanya bias "penafsiran". Oleh karena itu māna alias 'pembandingan diri' harusah dihindari oleh mereka yang berlatih di jalan Dhamma.

    • @Teduhhijau
      @Teduhhijau 14 วันที่ผ่านมา +1

      Terjemahan bahasa Indonesia yang mendekati akan memperjelas maknanya.
      Jika jelas, arah latihan akan benar.
      Kotoran batin dan pengotor batin, kedua kata ini sepertinya memiliki arti yang sama, sebenarnya berbeda.
      Kotoran batin, misalnya kotoran mata, mata akan tetap memproduksi kotoran, akan selalu ada kotoran mata, karena itu namanya kotoran mata.
      Jika dikatakan sebagai kotoran batin, ini berarti akan selalu ada kotoron batin, ini berarti batin yang memproduksi kotoran dan ini berarti tidak dapat dihilangkan.
      Pengotor batin sendiri, diibaratkan debu yang mengotori kulit, disebut pengotor, jadi debu bisa dibersihkan dan dihilangkan.
      karena menimbulkan mengotori, bukan bagian dari kulit, debu tidak diproduksi oleh kulit, ini bisa dihilangkan, ini berarti bisa dipadamkan.
      Jika ada terjemahan baru yang mendekati, mengganti yang lama, tentu lebih baik mengunakannya, awal memang bingung, nanti sudah mengerti, akan terbiasa, dan bahkan akan lebih jelas.
      Kalau bingung, minta lah penjelasan, agar tidak bingung lagi, atau sudah bisa mengerti

    • @yodhajiva
      @yodhajiva 12 วันที่ผ่านมา +1

      ​@@kalyanaviro Terima kasih atas penjelasan rincinya, iyap pada akhirnya terjemahan ya tetap terjemahan, suatu usaha untuk memahami makna sebenarnya. Saya setuju dengan poin-poin yang dijelaskan Anda. Sādhu sādhu sādhu ​🙏

    • @yodhajiva
      @yodhajiva 12 วันที่ผ่านมา +1

      @@Teduhhijau Baik, saya sangat setuju untuk poin tentang "kotoran". Terima kasih atas penjelasannya 🙏🙏🙏
      Pemaknaan bahasa Indonesia sendiri pun juga memang luas (bahasa memang sering membingungkan), justru yang tertera di KBBI malah "sesuatu yang menyebabkan kotor, berupa noda, bintik-bintik, daki, dan sebagainya." tetapi tidak bisa dinafikan kalau dalam bahasa sehari-hari kata "kotoran X" lebih mengacu ke sesuatu yang diproduksi oleh X.
      Dalam makna kedua, memang frasa "kotoran batin" jadi terkesan "batin kita memproduksi kotoran (secara terus-menerus)". Dalam konteks keseharian, katanya punya nuansa yang berbeda dari kata "noda" seperti dalam "noda pakaian" (noda-nya tidak diproduksi pakaian, tetapi mengotori pakaian) 🤔
      Oh iya, sebenarnya, mereka yang berwenang (pejabat, STAB, dan lain-lain) juga bisa mengajukan kata baru ke dalam KBBI, apalagi jika kata-katanya tersusun atas konsonan yang diakui seperti "ki-le-sa" (kalau ingin benar-benar presisi), tetapi kelemahannya ya jadi tetap sulit dipahami haha.
      Saya juga lupa kalau agama Buddha, terutama Theravāda, baru sejak tahun 1990-an mulai berkembang di Indonesia, STI sendiri saja baru ada 1976 dan PATRIA baru ada tahun 1995. Oleh karena itu, sangat wajar istilah-istilah kita belum "baku", berbeda-beda, dan masih sering gonta-ganti.
      Mungkin bisa dipertimbangkan agar sesama Theravāda, meskipun berbeda ordo/nikāya, mengadakan pertemuan untuk menyelaraskan istilah-istilah (meskipun pasti ada kerumitan karena perbedaan pendapat, setidaknya sesama Theravāda bisa mencapai mufakat dalam rapat atau apa pun itu, dalam hal ini juga termasuk lembaga independen seperti Ehipassiko Foundation dengan Lembaga Tipiṭaka Indonesia-nya). Perlu ada semacam organisasi yang menyatukan semacam “Persatuan Saṅgha Theravāda Se-Indonesia” yang mewadahi mereka yang juga datang dari ordo-ordo Burma (seperti Ashin Kusaladhamma, Ashin Kheminda, dan para Ashin lainnya), tidak hanya Dhammayuttika Thai (Mahānikāya seperti Bhante Kamsai Sumano juga bisa sekalian), untuk sama-sama bersinergi mengembangkan Sāsana.
      Sekali lagi, terima kasih atas penjelasannya 🙏

    • @Teduhhijau
      @Teduhhijau 11 วันที่ผ่านมา +1

      @@yodhajiva Tujuan dari penyampaian makna yg lebih mendekati agar kita lebih memahami ajaran Buddha, bukan untuk menambah masalah.
      Tujuannya baik, agar lebih dimengerti.
      Kalau merasa terjemahan lama sudah cukup, itu hak personal setiap orang.
      Tetapi tentunya, tetap diperlukan terjemahan yang lebih mendekati makna aslinya, agar bisa dimengerti lebih baik.
      Misalnya batin, ini bahasa arab untuk terjemahan Citta.
      Apakah terjemahan ini tepat? Tidak, tetapi tidak ada kata yang mendekati Citta dalam bahasa Indonesia.
      Karena itulah kata batin digunakan sebagai terjemahan Citta dengan pengertian berbeda.

  • @michikoalice
    @michikoalice 15 วันที่ผ่านมา

    🙏🙏🙏