Museum Radya Pustaka
ฝัง
- เผยแพร่เมื่อ 8 ธ.ค. 2024
- Hallo semua, kami dari sekolah SMK Katolik Santo Mikael Surakarta
bersama kami
Neo Rafael XITP2/22
Nihat Arlido XITP2/23
Stanislaus Vidro XITP2/27
Di tengah riuhnya Kota Surakarta, berdiri sebuah bangunan tua yang menampung ribuan cerita dari masa silam: Museum Radya Pustaka. Sebagai museum tertua di Indonesia, tempat ini sering disebut sebagai gerbang menuju sejarah kerajaan Mataram dan pecahannya. Dalam keheningan sore itu, Raka, seorang mahasiswa arkeologi dari Yogyakarta, datang dengan langkah penuh rasa penasaran.
Raka bukan sekadar pengunjung biasa. Dia datang dengan satu misi: menemukan jejak leluhurnya yang kabarnya memiliki peran penting dalam sejarah Surakarta. Sang kakek, dalam sebuah surat tua yang ditemukan di lemari antik rumah keluarga, menulis bahwa nenek moyang mereka adalah abdi dalem Keraton Surakarta yang memiliki hubungan erat dengan pujangga besar, Ranggawarsita.
“Ranggawarsita...” suara pelan Raka sambil memandangi patung pujangga itu di salah satu sudut museum. Nama itu seakan akan seperti mantra yang terus menerus menggema di pikirannya. Dalam surat tersebut, sang kakek menyebutkan bahwa leluhurnya pernah membantu Ranggawarsita menyelamatkan naskah-naskah penting dari ancaman kolonial Belanda.
Dia berjalan perlahan, menelusuri setiap sudut museum. Matanya terpaku pada koleksi-koleksi naskah kuno, gamelan, dan arca yang seolah hidup dan mengisahkan zaman kejayaan Mataram. Di salah satu ruangan, pandangannya berhenti pada sebuah naskah yang dipajang dengan hati-hati di dalam kotak kaca.
Serat Kalatidha, karya Ranggawarsita yang paling terkenal. Isinya menggambarkan kegelisahan dan kehancuran tatanan moral pada masanya. Di bawah naskah itu, terdapat keterangan tentang peran abdi dalem tak dikenal yang disebut sebagai “Bayu”. Nama itu seketika membuat dada Raka mendebar kencang.
“Bayu,” gumamnya. “Apakah ini yang dimaksud Kakek?”
Raka mendekati seorang kurator yang sedang memeriksa koleksi di dekatnya. “Maaf, Pak. Boleh saya bertanya tentang abdi dalem bernama Bayu ini? Apakah ada cerita lebih lengkap?”
Sang kurator, pria tua berusia sekitar 60-an, tersenyum samar. “Ah, Bayu. Dia memang jarang disebut dalam buku sejarah, tapi perannya tak kalah penting. Dia adalah orang kepercayaan Ranggawarsita yang menyembunyikan beberapa naskah dari penjajahan. Sebagian naskah itu ditemukan kembali di sini, tapi ada yang hilang hingga sekarang.”
“Apakah ada petunjuk lainnya yang bisa kita temukan tentang naskah yang hilang itu?” tanya Raka dengan antusias.
Sang kurator menggeleng pelan. “Tidak ada yang pasti. Namun, ada rumor bahwa naskah itu berisi ramalan terakhir Ranggawarsita yang sengaja disembunyikan karena terlalu berbahaya.”
Raka terdiam. Dia merasa terhubung dengan cerita itu, seolah-olah leluhurnya berbicara langsung kepadanya melalui waktu. Dalam surat yang ditulis kakeknya, disebutkan tentang sebuah kotak kayu kecil yang diwariskan turun-temurun dalam keluarganya. Kotak itu sekarang ada di rumah.
Kembali ke rumah, Raka segera membuka kotak tersebut. Di dalam kotak tersebut, dia menemukan secarik kertas yang hampir rapuh. Tulisan tangan itu sulit dibaca, tetapi ada sebuah peta kasar yang menunjukkan lokasi di sekitar Keraton Surakarta.
Esoknya, Raka kembali ke museum dengan membawa peta itu. Dia menunjukkan peta tersebut kepada sang kurator. Setelah beberapa saat mempelajarinya, kurator itu tampak sangat terkejut. “i.. i.. ini mirip lokasi di taman belakang Keraton, yang berada didekat pohon beringin yang tua!”
Tanpa membuang waktu, Raka dan kurator bergegas menuju lokasi tersebut. Dengan izin dari pihak keraton, mereka menggali di tempat yang ditunjukkan peta. Tak lama, cangkul mereka menabrak sesuatu yang keras. Sebuah peti kecil muncul dari balik tanah.
Peti itu berisi naskah tua yang terbungkus kain lusuh. Setelah dibuka dan dibaca, naskah itu berisi ramalan terakhir Ranggawarsita, tentang masa depan bangsa yang akan bangkit dari kegelapan dengan kekuatan pemuda dan ilmu pengetahuan.
Raka merasa lega sekaligus bangga. Dia tidak hanya menemukan sejarah keluarganya, tetapi juga menambah harta karun budaya bangsa. Naskah itu diserahkan kepada Museum Radya Pustaka untuk dilestarikan, dan kisah Bayu, abdi dalem setia, akhirnya mendapat tempat dalam sejarah.
Sejak hari itu, setiap kali Raka melihat patung Ranggawarsita di museum, dia tersenyum. Dia tahu, di balik karya besar sang pujangga, ada sosok-sosok kecil yang berjuang tanpa pamrih, seperti Bayu-dan mungkin, seperti dirinya.