Pengungsi Nduga, Papua tolak bantuan pemerintah karena 'tidak sesuai adat' - BBC News Indonesia
ฝัง
- เผยแพร่เมื่อ 18 พ.ย. 2024
- Konflik bersenjata yang terjadi di Nduga, Papua, antara TNI dan kelompok pro kemerdekaan (OPM) sejak Desember 2018, membuat ribuan warga mengungsi. Hingga Juli 2019, tercatat 2000 warga Nduga mengungsi ke Wamena.
Tidak adanya kamp pengungsian di Wamena, membuat kebanyakan warga Nduga tinggal bersama kerabat mereka. Di sisi lain, kondisi mereka di pengungsian serba kekurangan, seperti dituturkan Angelina Gwijangge, warga dari distrik Yigi di Kabupaten Nduga, yang sudah mengungsi selama tiga bulan terakhir.
"Tidak ada apa-apa di noken, di tangan, tidak ada punya apa-apa. Tuhan yang kasih makan ke saya, menjamin saya. Tuhan yang kasih, jadi anak-anak yang menjamin makanan saya," tutur Angelina.
Adapun pemerintah telah mengirimkan bantuan kepada para pengungsi Nduga melalui Kementerian Sosial. Namun bantuan itu ditolak sebagian pengungsi. Alasannya, "tidak sesuai adat".
"Kalau pemerintah yang langsung bawa ke sini, kami bisa dapat. Tapi karena melalui Kodim, sementara Kodim menghabiskan rumah dan segala macam di sana, jadi kami tidak setuju, tidak suka menerima makanan dari mereka," ujar Sandra Kogoya, salah satu pengungsi yang menolak bantuan.
Kementerian Sosial mengakui kesalahan mereka terkait tertahannya distribusi bantuan sosial pada para pengungsi Nduga di Wamena.
"Kami tidak memungkiri kelemahan kami yang tidak menguasai kearifan lokal daerah, seperti tata kramanya atau prosedurnya. Oleh karena itu kami akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial Nduga untuk mendistribusikan bantuan tersebut nantinya," sebut Victor Siahaan, Kasubdit Kementerian Sosial.
Sementara, Theo Hasegem, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) menyebut para pengungsi menuntut agar operasi militer di Nduga dihentikan sehingga mereka bisa pulang.
"Harapan para pengungsi minta pasukan (TNI) ditarik dari Nduga sehingga mereka bisa kembali ke sana kemudian bisa lakukan pemulihan total," tegas Theo.
Laporan wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni dan Oki Budhi, dari Wamena, Papua.