Kebanyakan orang aja kadang belum paham nggak udah lihat latar belakang pendidikan nyata nya banyak orang niat pengen sekolah tinggi kan biar gampang dapat kerja
Gw setuju lu..One man one vote,, belum siap, bang Utk sekarang (urgent) Gw stujunya ada strata dalam jumlah vote. Profesor/pemuka agama : 3 vote Mahasiswa : 2 vote Org biasa : 1 vote
itu masalah internet dimana". klo tau english speaking spheres internet sama aja bego di "populasi" yg lebih gede, contradictorian cuma karna pengen beda, ga percaya vaksin dan medis, masalah scientific ngasih sumbernya jarang dari jurnal cuma dari newsletter dll.
One person one vote mutlak benar cuma pertanyaannya apa penguasa mau cetak lebih banyak orang yg berkualitas sebagai pelaku demokrasi.. Jangan sampai penguasa sengaja pelihara/dikte kualitas yang bakal segitu2 aja.
Klo one man one vote perbandingan panji profesor dengan tukang kayu itu masih benar dan bisa diterima selama kita berkelakuan baik.. Menurut gw One man one vote yg salah itu kenapa orang2 Napi di LP bisa ikut voting padahal udah jelas2 mereka itu koruptor, pembunuh, pemerkosa, pencabul, perampok. Panji bicara keadilan yg beradab, lalu Apakah adil orang2 yg berkelakuan baik di masyarakat suaranya disamakan dengan mereka yg bermasalah di masyarakat..
@@panjul5071 memang yg di luar LP semuanya berkelakuan baik? misal, contoh yg lagi rame biar gampang, "pegi" dia diluar LP loh saat pemilu kemarin. Terus yg didalam LP apakah semuanya bermasalah? Misal, masih contoh yg sama, 8/7 orang pelaku kasus vina yg sudah di dalam LP, kalau trnyata nanti terbukti polda jabar salah tangkap? Mereka di dalam loh pas pemilu kemarin. Di dalam pun ada masanya nanti keluar, apakah manusia dengan title "bermasalah" ini melekat seterusnya? Bolehkah vote?
@@SirGhefheLP itu isinya udah pasti 99% orang2 bermasalah, ya aneh klo mereka dpet hak pilih.. mereka itu didalem gk bayar pajak bro, tapi mereka bisa hidup makan dari pajak rakyat, itu artinya mereka gk berhak punya hak vote.. Tapi klo mereka udh keluar selesai dari masa hukuman, baru hak2 pilih mereka wajib aktif kembali.. Sama kaya ASN,TNI,POLISI hak pilih mereka dicabut selama masih aktif klo udh gk aktif bru punya hak pilih.. ini aneh orang2 di dalem LP yg statusnya masih tahanan tapi punya hak pilih..
Inget ada teori : "Kemiskinan dan kebodohan adalah ladang bagi penguasa yang tamak" Tujuannya itu bang, Selagi msih banyak yg miskin dan bodoh. One man one vote itu absurb😂
Oligarki tidak hanya ada di sistem demokrasi tapi segala sistem yang memiliki hirarki kepemimpinan. Di sistem kerajaan, oligarkinya adalah keluarga bangsawan. Di sistem komunis, oligarkinya adalah elit partai komunis.
One man one vote itu sebenarnya ilusi. Emang bener setiap warga negara punya hak pilih, tapi yang menentukan siapa yang harus dipilih adalah lembaga negara bernama KPU. Bahkan partai politik yang boleh mengikuti proses di KPU harus mendapatkan restu menteri hukum dan HAM. Artinya elit politik lah yang menentukan peserta pemilu. Rakyat memiliki hak pilih yang terbatas.
Panji membela Professor / akademik yang berikan statement buruk kepada jokowi karena banyak nya perlinsos untuk kelas bawah. Bahkan panji juga ikut curiga dengan statement nada hinaan bahwa banyak nya budget perlinsos itu untuk kepentingan election. Di video ini panji membela hak kelas bawah yang suara nya juga sama dengan hak suara profesor. Tolong panji berfikirlah yang logic dengan data data hal yang yang telah terjadi di Indonesia (ekonomi sosial politik budaya olahraga) : 1. Nilai Indonesia saat 2004 - 2024 2. Projeksi nilai Indonesia saat 2025 - 2045 Jika sudah diibandingkan dengan negara lain. Maka : 1. Apakah Indonesia tidak berada di track yang benar menuju tahun emas 2045 ? 2. Point apa yang masih bisa di naikkan untuk mempercepat tujuan negara keadilan sosial untuk seluruh Indonesia tahun 2045 ? Jika kerangka berfikir ini yang di lakukan, maka mansrea yang panji buat itu bukan lah lagi hanya obrolan warung kopi tanpa tujuan yang jelas.
"1 suara profesor = 1 org gila" Ini bukan ungkapan untuk "org yg beda pendapat dianggap gila" TAPI Ini beneran kejadian nyata loh bg panji Kenyataan nya rumah sakit jiwa kemarin ikut nyoblos dan kalian tau deh siapa yg menang di semua rumah sakit jiwa tersebut 😂
Yah terus kenapa? Jika seseorang bergelar profesor, apa dia mendadak gak punya blindspot? Justru orang berpendidikan tinggi biasanya spesialisasi di bidang tertentu, dan hasilnya malah tunnel vision.
@@lyq232 sesat pikir, lu pikir kalo orang pendidikan tinggi itu malah cuma melihat satu sisi? (gw gak ngomong profesor karena profesor bukan gelar akademis). Gw tetep berpatokan orang berpendidikan tinggi masih jauh lebih baik dari orang yang tidak berpendidikan. Secara kumulatif orang berpendidikan tinggi lebih sukses dari orang tidak berpendidikan. Untuk menjadi orang berpendidikan tinggi orang perlu belajar tidak hanya satu ilmu, ada banyak ilmu terlibat tersebut. Termasuk menulis, sosialisasi, public speaking, negosiasi, dll. Sekarang lu bilang orang tidak berpendidikan lebih baik dari orang berpendidikan tinggi bahkan orang gila lebih baik dari orang berpendidikan tinggi? Hahahah. Mengutip kata Pandji, "CUT THAT STUPID SHIT"
menganalogikan profesor butuh laboratorium dan tukang kayu butuh hak2 nya sebagai tukang kayu mungkin kurang tepat. Profesor dengan ilmu pengetahuan dan kecerdasan berpikirnya "mungkin" lebih mempunyai kemampuan untuk mengupas dan menilai seorang calon presiden berdasarkan kapasitasnya apakah layak dan mampu mengemban tugas yang sangat rumit dan kompleks mulai dari urusan ekonomi, ketahanan pangan, teknologi, industri pertanian,pendidikan,kesehatan penegakan hukum, dll. dan Seandainya jika pemilu hanya melibatkan profesor2 mungkin terlihat tidak adil dalam kesetaraan kesempatan hak untuk berpartisipasi memilih pemimpin, tapi faktanya untuk saat ini dampak dari ketidaktahuan mayoritas masyarakat tentang idealnya seorang pemimpin justru melahirkan pemimpin yang gagal dalam menghadirkan hak kesetaraan dan kesempatan di banyak aspek
masalahnya adalah walaupun pendidikan dinegara ini sudah bagus (yang mana untuk saat ini masih blm) sdmnya itu tidak akan merata, apalagi negara ini sangat luas. menurut saya karena one person one vote itu yang membuat politik uang mudah sekali dilakukan, dan menurut saya untuk saat ini one person one vote kurang tepat dilakukan dinegara tercinta ini.
Lebih tepatnya adalah: sistem demokrasi saja dari dasarnya sudah bermasalah. Ditambah lagi dengan kualitas manusia Indonesia zaman sekarang yang sudah rusak, jadi mau dikasih sistem politik apapun ya ujung-ujungnya tetap aja bermasalah.
panji mau mengalihkan masalah dari one person one vote ke pendidikan atau ke pelaku demokrasi, padahal masalah memang ada di demokrasi nya itu sendiri, mau kapan pendidikan bisa beres sedangkan vote ada tiap tahun dari mulai pilkades sampai pilpres. Sedangkan tiap vote para calon butuh dana yang mereka ini akan meminta pada sponsor, dan para sponsorny adalah para kapitalis. Emang mau para kapitalis rakyat cerdas dengan pendidikan yang berkualitas? YA GAK LAH!
Setuju. Masalahnya ada di demokrasi elektoral, di mana kita memilih pemimpin dengan one man one vote. Ini bukan demokrasi murni. Demokrasi murni seharusnya dijalankan dengan undian, di mana kita, ya artinya gua dan elo, secara bergiliran duduk di kursi pemerintahan. Jadi kita semua memiliki kemungkinan yang sama untuk duduk di pemerintahan. Yang menentukan apakah kita bisa jadi pemimpin hanyalah undian, bukan koneksi apalagi keluarga. Apakah ada kemungkinan terpilih pemimpin yang buruk? Tentu saja. Tapi kalau sebagian besar rakyatnya berkualitas, kemungkinan besar akan terpilih pemimpin yang baik. Kalau sebagian besar rakyatnya hancur, ya gitu deh. Karena demokrasi tidak menjamin munculnya pemimpin terbaik, melainkan "getting the leader that they deserve". Karena pemimpin diambil dari rakyatnya sendiri. Apakah ini sistem yang terbaik. Masih panjang ceritanya, tapi paling tidak inilah esensi demokrasi sesungguhnya. Demokrasi elektoral sekarang sejatinya hanyalah sebuah tragedi karena rakyat yang punya kuasa menyerahkan kekuasaanya pada hari pemilu kepada pemimpin terpilih.
Mungkin argumen penolakan terhadap one person one vote terbilang cukup disproporsional karena kebanyakan orang yang milih di pemilu kemarin cenderung tidak melihat gagasan yang terukur. Jadi kaya ada semacam ketimpangan antara pemilih yang mempertimbangkan gagasan yang terukur dengan satu gagasan lain yang konkret, namun kurang terukur. Hasilnya ya beberapa orang jadi bingung, apakah masyarakat Indonesia pada umumnya punya pemahaman tentang sebuah gagasan.
Sepakat!!!! begitu banyak orang yang kita kenal pintar justru mengkhianati kita. Permasalahan kita itu jelas bukan karena one man one vote, karena terbukti orang-orang pintar juga banyak yang bisa dibeli suaranya. Sebenarnya rasa empati kita yang kurang, saat pemilihan kita cendrung memikirkan diri kita sendiri. bersikap abai, bahwa suara kita bisa berpengaruh untuk masa depan orang lain.
@@saveandshare1138 betul sekali, komen diatas cuma ingin "menghibur" diri sebagai orang yang tidak berpendidikan dan kebencian terhadap orang pintar. Buktinya secara kumulatif orang yang bisa dibeli suaranya adalah orang miskin dan tidak berpendidikan.
Karena one person one vote adlh CARA yg SALAH/JAHAT dlm rekrutmen pegawai, maka TIDAK ADA Perusahaan yg MAU menggunakan CARA one person one vote dlm rekrutmen PEGAWAI tuk dipekerjakan a.l: sbg Pimpinan Pegawai, dll, termasuk tuk menjd NAHKODA Hal ini a.l agar: jangan sampai KAPAL (Negara) itu KARAM/HANCUR atau TIDAK MENCAPAI TUJUAN atau MENGANCAM KESELAMATAN seluruh orang yg ada didlm kapal (negara) tsb Itulah sebabnya, berbagai macam TEST, termasuk test KEMAMPUANNYA, KETERAMPILANNYA dan PENGETAHUANNYA tentang tujuan2 KAPAL (Negara) itu berlayar (dijalankan), dll itu SANGAT DIBUTUHKAN sebelum KAPAL (Negara) itu diserahkan kepada orang yg terbaik nilai dari hasil TESTNYA (yg tepat) Yakinlah, bahwa TIDAK semua orang itu MAMPU menjalankan tugas n kewajibannya dg baik n benar sbg Presiden RI, Wklnya, Menteri Negara, Kep. Daerah, Wklnya, atau anggota Legeslatif, dll, yg lebih banyak MENGUNTUNGKAN bangsa n negara RI sebelum ada BUKTI AWAL secara tertulis dari hasil TEST kemampuan/keterampilan, dll yg diikuti oleh se-banyak2nya CALON PEGAWAI Ma'af jika saya salah
yang salah tuh kualifikasi jadi pejabat terlalu mudah, masa cuma kualifikasi umur doank. Jadi dokter aja harus ada kualifikasi yang tinggi, masa jadi pejabat cuma pake kualifikasi umur. Semoga kedepan ada kualifikasi yang tinggi buat pejabat karena kalo pilihannya berkualitas semua, maka mau siapapun yang vote tetep berkualitas karena pilihannya semua berkualitas.
Bener, bayangin Marshell yg eks anter jemput lonte, sabu, pembeli bokep terus hoki di 5 taun terakhirnya... Jadi populer... Dan tiba2 disokong partai pemenang presiden buat cawalkot. Ini yg bener2 gila
Dapat rekomendasi dari partai itu kualifikasi yang berat loh. Dan kalau mau fair, di Jepang kualifikasi untuk jadi gubernur tokyo aja jauh lebih mudah di banding jadi gubernur Jakarta
1 man 1 vote = makin banyak orang2 "tidak cerdas" makin bagus untuk penguasa. Cukup dg beberapa ratus ribu + sembako sdh cukup utk melanggengkan kekuasaan 😂😂
@@TheTrikai ya balikin lagi... Emg udah pasti SMA lebih paham dari sarjana? 😅 Tapi satu yang pasti Di Kampus iklim politik dan demokrasi itu lebih kental. Makanya hampir 100% politisi itu berangkat dari kampus, organisasi kemahasiswaan macam BEM, HMI, KAMMI, PMII, KMHDI, PMKRI, GMNI, LMND, IMM, DLL. Tokoh² nasional macam Pak Ganjar, Anies, Risma, Mahfud, JK, Fahri Hamzah, Budiman dll. Lahir dari organisasi² tsb.
DEMOKRASI yg diartikan one person one vote itu dalam REKRUTMEN PEGAWAI untuk DIPEKERJAKAN sbg a.l Presiden RI, Wklnya, Kep. Daerah, Wklnya, anggota legeslatif itu JELAS SALAH, sebab coba bayangkan KESELAMATAN anda n para PENUMPANG lainnya, bila untuk jadi PEGAWAI yg DIPEKERJAKAN sbg NAHKODA atau PILOT yg mengangkut penumpang yg jumlahnya tidak lebih banyak dari jmlh penduduk yg ada di P. Jawa itu juga menggunakan ONE PERSON ONE VOTE? Ma'af jika saya salah
SATU ORANG SATU SUARA ITU TANDA DEMOKRASI BERJALAN BAIK. TAPI KALO YG TERJADI "SATU/LEBIH SUARA DITENTUKAN OLEH SATU ORANG ITU BERMASALAH". dgn faktor money politik,intimidasi,ancaman dll
bahkan Socrates gak setuju dg 1man 1vote, karena kualitas warga negara gak sama. karena itu saya mengusulkan vote based on quality. S3: 7vote s2: 6vote s1/D4: 5vote D1-D3: 4vote SMA/sederajat: 3vote SD-SMP/sederajat: 2vote tidak sekolah: 1 vote orang gila dan napi dg hukuman 5tahun/lebih: 0 vote
"Masyarakat yang BODOH, akan memilih pemimpin yang BODOH." ~Plato. Makanya sistem demokrasi saat ini tidak sesuai dengan rakya dengan IQ dibawah 130 atau rata2 masih 78. Perlu effort untuk bisa mencerdaskan masyarakat supaya mencapai batas minimal rata2. Pertanyaanya, seberapa merusak kebodohan itu terhadap suatu negara?
Kritik thd Demokrasi sistem 1 man 1 vote itu bukan pemikiran baru ji.. Tapi udah dari jaman Yunani Kuno. Tokoh pemikir spt Socrates, Plato, dkk menganggap Demokrasi dgn sistem 1 man 1 vote itu adl sistem pemerintahan TERBURUK, hanya lebih bagus sedikit dari tirani otoritarianisme. Jadi ini bukan sesat pikir yg seolah2 baru ditemukan si bapak berpendidikan itu kemarin sore pas duduk di WC. _"In Plato’s Republic, Socrates depicts democracy as nearly the worst form of rule: though superior to tyranny, it is inferior to every other political arrangement. Aristotle classifies democracy, along with oligarchy (rule of oligoi - the few) and tyranny, as a deformed constitutional arrangement."_ (Greek Democracy by Richard Kraut, Northwestern University) Socrates sendiri mati karena menerima hukuman dgn sistem juri (1 man 1 vote), saat dia diadli atas tuduhan ajaran sesat (pada waktu itu dia mengajarkan ke anak muda Yunani utk berhenti menyembah dewa2 kuno). _"Crucially, Socrates was not elitist in the normal sense. He didn’t believe that a narrow few should only ever vote. He did, however, insist that only those who had thought about issues rationally and deeply should be let near a vote. We have forgotten this distinction between an intellectual democracy and a democracy by birthright. We have given the vote to all without connecting it to wisdom. And Socrates knew exactly where that would lead to a system the Greeks feared above all, demagoguery."_ (Why Socrates Hated Democracy, Wold History) Socrates mengibaratkan negara itu sbg kapal di tengah lautan, penduduk negara adl penumpang & awak kapal, dan pemerintahan itu sbg navigatornya. Nah, jika penumpang & awak kapal akan memilih navigator, mana yg lebih masuk akal? Semua penumpang & awak kapal, baik yg mengerti & berpengalaman soal navigasi & tata kelola kapal maupun yg tidak mengerti sama sekali, boleh voting - atau hanya sebagian yg betul2 mengerti & berpengalaman saja yg boleh voting? Pemikir spt Socrates, Plato, Aristoteles, dkk menganggap alternatif yg kedua adl yg baik.
Kayanya yg dimaksud bapak2 dlm video ini coach Justin deh 😅 Belio kan selalu kritik corrupt-nya sistem di UEFA, yg dalam votingnya menyamakan suara klub gede spt Man City, Madrid, Barca, Juve dgn klub seperti Venezia, Watford, Zaragoza
Saya apresiasi Bang, tp untuk sekarang kurang setuju.. Poinnya bukan profesor atau bukan, mungkin diksinya yang kurang tepat.. Lebih baik sebuah keputusan dipegang HANYA oleh orang yang kompeten mengurus semua bidang dan berpegang pada nilai2 norma dan hukum, dialah seorang PEMIMPIN yang dapat MEWAKILI Sedangkan tidak semua orang mempunyai kompetensi untuk menjadi pemimpin jadi one man one vote tidak lebih baik dibandingkan sistem perwakilan terpimpin
Saya coba mencoba memahami keresahan tentang kelemahan one man one vote ini. Ketika masyarakatnya belum berdaulat secara ekonomi, belum berdaulat secara pikiran maka mereka akan menganggap persoalan demokrasi ini menjadi irrelevant bagi mereka, sementara pemberian bantuan sosial akan terasa lebih nyata manfaatnya, ujung-ujungnya ya politik uang akan menjadi massive. Persoalan lain adalah pragmatisme politik para tokoh/calon pemimpin, termasuk parpol yang hanya mementingkan soal angka kemenangan akhirnya sekedar memanfaatkan masyarakat sebagai lumbung suara, tanpa upaya untuk mencerdaskan atau mendewasakan cara berpikir masyarakat. Jujur saya semakin skeptis dan pesimis dengan daya kritisisme masyarakat kita. Gagasan tentang pembatasan terhadap siapa-siapa saja yang boleh terlibat dalam memberikan suara mereka untuk menentukan pemimpin bangsa ini kedepan itu layak untuk dipikirkan ulang (misal dengan argument orang gila suaranya dianggap tidak sah tadi). Ide saya misal membatasi usia pemilih menjadi 21/22 tahun karena pada usia tersebut pemilih diharapkan sudah semakin dewasa dan lebih mampu melihat persoalan bangsa kedepan, apakah itu soal penciptaan lapangan kerja, issue pengangguran, perumahan, dan lain-lain.
Benarkah One Man One Vote Masalah Terbesar Demokrasi Indonesia? - Sebuah Analisis Komprehensif ### Ringkasan Argumen **Pernyataan Awal:** Seseorang di Twitter, yang digambarkan sebagai orang dewasa terdidik, menyatakan bahwa akar masalah demokrasi Indonesia terletak pada prinsip "One Man One Vote". Ia berpendapat bahwa kesetaraan suara antara seorang profesor dan seorang tukang kayu, misalnya, adalah sumber masalah. **Bantahan Narator:** Narator menolak argumen tersebut dan menegaskan bahwa "One Man One Vote" bukanlah masalahnya, melainkan **kualitas pelaku demokrasi** itu sendiri. Ia menekankan bahwa sistem ini justru **krusial untuk mewujudkan keadilan dan keberadaban** dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia. ### Poin-poin Penting Berikut adalah poin-poin penting yang dibahas dalam video: 1. **Kesetaraan Suara:** "One Man One Vote" menjamin kesetaraan politik dengan memberikan hak suara yang sama kepada setiap warga negara, terlepas dari latar belakang pendidikan, profesi, atau status sosial ekonomi. 2. **Keadilan dan Keberagaman:** Narator berpendapat bahwa sistem ini penting untuk mengakomodasi keragaman Indonesia. Jika hanya segelintir orang terdidik yang memegang kendali, aspirasi dan kebutuhan kelompok lain akan terabaikan. 3. **Musyawarah Mufakat vs. Voting:** Narator membantah anggapan bahwa sistem "One Man One Vote" bertentangan dengan prinsip musyawarah mufakat. Ia mencontohkan proses pengambilan keputusan di DPR yang mayoritas dilakukan melalui voting, bukan musyawarah mufakat. 4. **Pendidikan sebagai Solusi:** Narator mengakui bahwa kualitas pendidikan yang rendah dapat menjadi penghambat demokrasi. Namun, ia menekankan bahwa solusi bukanlah dengan menghapus "One Man One Vote", melainkan meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. 5. **Bahaya Penyempitan Pandangan:** Narator mengkritik kecenderungan untuk melabeli orang yang berbeda pendapat sebagai "gila". Ia menekankan pentingnya menghargai perbedaan dan membuka diri terhadap beragam perspektif. 6. **Tanggung Jawab Kolektif:** Narator menegaskan bahwa perbaikan demokrasi adalah tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya pemerintah atau elite politik. ### Analisis Mendalam Video ini menyajikan kritik tajam terhadap pandangan elitis yang merendahkan kemampuan rakyat dalam berdemokrasi. Narator dengan gamblang menunjukkan bahwa "One Man One Vote" bukanlah akar masalah, melainkan cerminan dari tantangan yang lebih besar, yaitu: * **Ketimpangan Pendidikan:** Kualitas pendidikan yang rendah membuat sebagian masyarakat rentan terhadap manipulasi politik dan informasi. * **Kurangnya Kesadaran Politik:** Rendahnya partisipasi politik dan minimnya pemahaman tentang hak dan kewajiban warga negara. * **Budaya Politik Transaksional:** Praktik politik uang dan patronase yang menghambat terciptanya proses demokrasi yang bersih dan adil. ### Kesimpulan Alih-alih mempertanyakan sistem "One Man One Vote", video ini mengajak kita untuk fokus pada akar permasalahan dan mencari solusi yang holistik. Peningkatan kualitas pendidikan, penguatan budaya politik yang sehat, dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat adalah kunci untuk mewujudkan demokrasi Indonesia yang lebih baik. ### Catatan Tambahan * Video menggunakan bahasa informal dan gaya komedi untuk menyampaikan pesan serius dengan cara yang menghibur dan mudah dipahami. * Narator secara aktif mengajak penonton untuk berpikir kritis dan terlibat dalam diskusi tentang demokrasi. * Video ini relevan dengan konteks sosial politik Indonesia saat ini, di mana kualitas demokrasi masih menjadi perdebatan.
Well, kalau bahasannya seperti itu, one man one vot juga bisa benar, DENGAN KONDISI. Misal yang boleh voting adalah profesor, yah gpp, tapi dengan kondisi, profesor itu memiliki standar moral yang mulia, tidak mementingkan golongannya sendiri, turut membantu profesi tukang kayu agar bisa go internasional dan pada akhirnya menguntungkan masyarakat secara menyeluruh. Your argument sucks Pandji Segala-galanya itu jadi mungkin dengan kondisi-kondisi tertentu
One person one vote kmren di gaung gaungkan karena abah kalah, plus setiap ada kebijakan aneh nyalahin pemimpinnya, padahal orng yg mimpin dulu anda yg pilih. Yg bener itu kalo bagus programnya di dukung klo salah ya di kritik. Dan jangan ngerasa ah kalo si A jadi pemimpin pasti Indonesia jauh lebih baik, inget selama ada presidential threshold ada. Itu SYULITTTTTTTT 😅😅
itulah kenapa one person one vote itu bukan menjadi masalah utamanya tapi orang orangnya, kenapa? ya karena orang gila dan orang bodoh diperbolehkan untuk memilih. Lebih lucunya lagi.... sorry to say untuk pendukung 02 sebelumnya. banyak suara/vote orang bodoh dan orang gila yang diconvert buat suruh dukung 02 sebelumnya ( Lu boleh cek beritanya 02 menang di beberapa tps orang gila di google, cari sendiri jangan malas. ) bukan berarti di 01 dan 03 tidak ada ya, mereka juga ada kok.
panji mau mengalihkan masalah dari one person one vote ke pendidikan atau ke pelaku demokrasi, padahal masalah memang ada di demokrasi nya itu sendiri, mau kapan pendidikan bisa beres sedangkan vote ada tiap tahun dari mulai pilkades sampai pilpres. Sedangkan tiap vote para calon butuh dana besar, yang mereka ini akan meminta pada sponsor, dan para sponsornya adalah para kapitalis. Emang mau para kapitalis rakyat cerdas dengan pendidikan murah yang berkualitas? YA GAK LAH!
Ini jadinya mirip kaya isu yg pernah panji bahas tentang pemilihan presiden lewat MPR aja kaya dulu. Paham ga sih kalo masalahnya suaranya bisa dibeli, yang diubah bukan siapa yang bersuara, tapi bagaimana seseorang bersuara. Kenapa setiap pemilu butuh dana besar, karena pemilihnya melihat dari siapa yang ngasih bantuan(ngeluarin duit) paling besar. Yang diubah bukan jumlahnya dikurangin, kalo gitu malah tambah gampang dibeli. Kalo pemilihnya ga melihat dari harta, pemilu ga akan butuh dana besar.
@@orangbiasa1257 sepemikiran bang, kok ya banyak yg gak bisa nangkep? Urusan sistem tata kelola kita itu udah gak ada masalah, masalahnya di pemegang jabatan & pelaksana yang pinter aja cari celah buat ngakali/ubah regulasi, sistemnya US atau Uni Eropa atau Jepang kalo diisi pejabat kita juga bakal jauh lebih bobrok
@@orangbiasa1257 ya itu masalahnya panji terlalu mensimplikasi persoala, dengan mengarahkan masalah ada pada pendidikan atau tingkat pendidikan pelaku demokrasi, padahal masalahnya justru ya demokrasi itu sendiri.
Esensi nya bkn bedain si profesor atau si tukang kayu, pak.. tapi proses pengambilan keputusan yg jd suara one man one vote itu yg jadi pembeda. Kalo profesor berpikir jauh dan lbh detail dibanding tukang kayu. Contoh aja dollar 16k itu yg kritis kira2 siapa? Profesor atau tukang kayu? Kalo tkg kayu mungkin mikirnya, dia belanja sehari2 pake rupiah, jd kgk ngaruh dollar mau brp pun. Beda sm profesor, sdkt byk pst paham ada pengaruhnya. Gituloh mas.. bkn subjek voter nya yg jd masalah, tp proses vote nya itu yg membedakan.
Banyak yang komen one man one vote, jadi ajang jual beli. Emang ada jaminan kalau hanya diri suara profesor terus gak ada jual beli..? Profesor juga "manusia" hey. Yang jadi pejabat itu orang pintar juga, bukan orang goblok. Kalau orang goblok gaakan bisa jadi pejabat. Bedanya cuma, cara mengunakan kepintarannya. Berhenti beranggapan, bedain pintar sama jujur.
Mungkin lebih baiknya setiap orang diberi poin. Misal, tukang kayu 1 poin, pengusaha taat hukum & pajak 10 poin, profesor yg kontribusinya besar bagi pendidikan 10 poin, dsb
Tp alasan *ARIE MAKE SENSE JUGA KETIKA FAIRNEES TIDAK DISELENGGRAKAN OLEH NEGARA Y GIMANA LAGI,TERLEPAS SDM S1 JA KURG DARI 8 PERSEN* mau gk mau *POLITIC KOP SEKOP TERLALU BERAT DILAWAN BUAT KALANGAN BAWAH* KEBUTUHAN DI ATAS SEGALA KLO KAUM BAWAH FAKTANYA,DAH GK URUS SIAPA YG JADI,YG PNTING SIAPA YG KASIH
6:55 Ini bener sih, tapi gak harus seluruh professor juga, minimal screening gak harus whole population terlibat juga Sebenernya kita ini dilema antara mau kembali ke sistem Pra-Reformasi yang petahsn itu dipilih melalui MPR atau One Person One Vote yang semua population malah terlibat
Masalah ini juga sudah sering dibahas sama orang2 kantor kami ketika masa pemilu, karena di kantor kami tidak ada yang milih 02 tapi yakin 02 menang kalo one person one vote di Indonesia. Sama seperti yang Pandji bilang ini bukan masalah one person one vote, karena ini sebenarnya adalah potret demokrasi sebenarnya. Tapi di Indonesia orang-orangnya belum dewasa secara politik (selain rata-rata ber-IQ rendah), buktinya tidak ada yang mau tau program yang diusung oleh capres/cawapres (let alone oleh caleg). Mereka hanya melihat sosok, gimmick, dan tampilan bukan niatan dan isi otak makanya artis banyak duduk di parlemen. One person one vote akan berfungsi sempurna ketika mayoritas orang setidaknya melek politik. Untuk sekarang tidak. Dan sebenarnya untuk sekarang saya juga gak ikhlas sih suara saya disamain sama orang gila bansos. Wkwkwk.
Bikin negara terlalu besar tuh susah mending bikin negara yg lebih kecil dah Lebih gampang diorganisir, pengawasan lebih mudah, konflik sosialnya bisa lebih sedikit, fokusnya lbh jelas Bikin negara terlalu luas jadi susah sendiri manfaatnya juga gak ada ngapain coba Sebaiknya Indonesia tuh di bubarin aja Bubar... Bubar...
Agak bahaya pemikirannya Bang, karena dari apa yang dijabarkan seakan-akan mendiskreditkan “professor”. Seakan-qkan professor itu egoistis, fokus hanya riset. Padahal untuk menjadi profesor tidak hanya masalah riset (penelitian), melainkan juga melibatkan aspek pendidikan dan pengabdian masyarakat. Maksud gue, seorang profesor itu secara ideal bukan hanya ahli di bidangnya, tapi juga punya mampu menjembatani keahliannya dengan kepentingan masyarakat. Profesor itu banyak bidangnya juga (gua tau Bang Pandji tau akan hal ini), tidak hanya bidang sains dan teknologi. Tapi, ada juga di bidang sosial, seni, budaya, dan semua cabang ilmu. tentu beda dong keputusan orang yang berilmu dan tidak berilmu. bikin bangunan deh, kalo mengandalkan orang teknik sipil ya bangunan tentu hanya berfokus pda kekuatan bangunan. kalo hanya mengandalkan arsitek ya titik berat di fungsi dan estetik saja. kqlo hanya orang seni, mungkin bangunan hanya fokus pada aspek rasa, makna, dan estetik. kombinasi dari berbagai keilmuan akan lebih mengakomodir banyak kepentingan. gua rasa ini maksud lo. tapi analogi yang lu gunakan kurang tepat. Sistem 1 man 1 vote bagus, bisa memberi fungsi preventive kesemena-menaan eksekutif. Dengan syarat masyarakat cukup ilmu dalam membuat pilihan. Sistem yang bukan 1 man 1 vote juga bagus, bisa memberi fungsi preventive supaya yang belum tercerdaskan tidak memegang kendali yang dikhawatirkan merugikan kepentingan bersama. Syaratnya, orang yang dipercaya memegang kekuasaan amanah. Ga ada sistem yang total sempurna untuk suatu peradaban yang tidak sempurna dan dinamis. Tapi yang pasti dengan ilmu (sesuai permasalahannya) akan mempermudah menghadapi segala permasalahan.
fakta masyarakat pedesaan banyak yg milih karena duit, dibandingkan gagasan. siapa yg berani kasih duit lebih banyak, dia yg dicoblos. mereka gatau dan gamau tau itu duit "modal" nyalon darimana dan bakal "balik modal" darimana. keluarga sepupu gue dapet hampir 1.5 juta anjir cash pilpres. ada yg berani kasih 200k per orang (4 org jadi dapet 800k), akhirnya kepilih sekarang. paslon lain yg dibawah itu ya gakepilih one man one vote, tapi banyak banget "man" "man" yg milih bukan karena gagasan, bukan karena visi misi, tapi karena duit. jadinya sekarang ya siapa yg punya modal paling gede, dia yg bakal jadi. simpel
One person one vote mungkin ideal untuk sebuah sistem demokrasi. Pertanyaanya, apakah sistem ini ideal untuk kita saat ini? Terus Belajar tanpa berharap kita yg memetik buahnya pernah dijelaskan sm pandji di sebuah podcast. Tinggal dulu2an mana dinastinya kuat duluan, atau masyarakatnya yg " pinter" duluan. Kalo liat background sejarah ini bangsa, monarki aja ga sih..mental masynya juga gitu gsmpang sembah sujud sesuatu.
Gimana kalau syarat mengikuti pemilunya ditambah? Selain punya ktp ditambah juga Syarat minimal lulus SMA sederajat. Jadi kalo pengen ikut pemilu ya musti lulus SMA. Tentu pemerintah musti mendukung agar semua masyarakat dapat sekolah sampai SMA dulu. Jangan bhas kulliah dulu, cuma. tamatan SD aja masih banyak
analoginya jangan pake profesor om, profesor yg memang "benar" profesor itu cenderung hirarki teratas dari segala lingkup profesi-profesi yang melatarbelakanginya, hal ini meniscayakan keterwakilan suara pada profesor akan mewakili juga suara-suara dibawahnya. maksud saya, jika lingkup profesor memang untuk biaya riset2 dan segala tetek bengeknya, yg seperti itu biasanya demi keberlangsungan profesi dibawahnya juga agar mendapat pengetahuan yang lebih baik, jadi bisa menjadi kontradiktif dgn argumen om sendiri. rada rumit memang, kalau profesor tidak dibela, lingkup mana lagi yang punya otoritas tertinggi dalam pendidikan? tapi tidak sampai situ, kadang ada juga "profesor" yang tidak sesuai harapan. kalau memang dalam konteks yang mana yang lebih baik, yang terbaik itu menyesuaikan dengan keadaan. toh segala macam aturan jaman sekarang kan sudah lumrah berubah-ubah 😁
You are right, as well as wrong there, Panji. One person one vote memang outputnya adalah keadilan, dan terutama sekali legitimasi. Hasil dari one man one vote harus diterima oleh semua pihak, dan oleh karena itu legitim. One man one vote memang adalah sistem yang paling memuaskan para pemilih. Pertanyaannya, apakah ini adalah hasil yang terbaik? Belum tentu. Inilah yang dikritik Plato dari one man one vote. Bagaimana kita menentukan siapa yang menentukan nahkoda dari sebuah kapal? Apakah harus voting semua penumpang, atau kita serahkan pada orang yang paling mumpuni? Siapa yang tahu orang yang paling mumpuni membawa kapal? Apakah semua penumpang tahu siapa yang paling jago membawa kapal dengan selamat sampai ke tujuan. Tentu tidak. Hampir seluruh penumpang hanya "nurut" saja pada orang yang lebih tahu untuk memilih nahkoda. Bayangkan kalau para calon nahkoda kampanye di hadapan para penumpang dan "jualan" supaya dipilih jadi nahkoda. Mungkin yang menjanjikan gratis akan menang, dan belum tentu dia adalah nahkoda terbaik. Inilah kelemahan demokrasi sebagaimana dikritik oleh Plato. Nah, untuk memilih nahkoda kapal saja berantakan, apalagi memilih kepala negara. Di lain pihak, Panji benar, dengan mengatakan bahwa one man one vote akan berhasil, atau minimal lebih baik, jika para pemilih itu berpendidikan. Dan oleh karena itu, pendidikan adalah syarat utama untuk demokrasi, bahkan syarat mutlak menurut saya. Masalahnya adalah, syarat ini belum terpenuhi sekarang. Sangat sulit diharapkan bahwa rakyat akan memilih pemimpin terbaik, sebagai nahkoda untuk membawa kapal bangsa ini dengan selamat. Sebagian besar akan memilih pemimpin yang akan menyenangkan mereka, bukan mementingkan keselamatan bangsa. Makanya semua akan kampanye dengan jualan janji. Gak mungkin akan ada calon yang menang kalau ia mengkampanyekan program ikat pinggang secara nasional, karena orang tidak suka susah, walaupun itu untuk keselamatan bersama. Makanya makan gratis menang. One man one vote juga bermasalah dalam perimbangan pusat daerah, makanya Amerika menggunakan electoral college untuk mengimbangkan daerah yang berpopulasi banyak dengan yang berpopulasi sedikit. Jika one man one vote dijalankan secara murni, maka kepentingan yang akan menang adalah kepentingan di daerah padat penduduk atau di perkotaan. Dan dalam kasus Indonesia, yang akan dimenangkan adalah kepentingan Jawa. Makanya Jawa adalah koentji. Dan kritik saya yang paling keras pada one man one vote, adalah seolah cara ini adalah the ultimate goal. Demokrasi liberal yang diusung barat selalu menggaungkan ini. One man one vote adalah cara, bukan tujuan. Tujuan suatu bangsa adalah menjadi negara yang adil dan makmur, bukan negara yang one man one vote. Kalau bisa dicapai dengan one man one vote, ya silakan, tapi kalau tidak, ya cara lain juga gpp. Diskriminasi dalam voting itu sebenarnya lumrah dan sudah kita jalankan. Orang yang belum 17 tahun dan belum menikah kan tidak boleh memilih. Jadi pembatasan hak pilih itu biasa saja sebetulnya. Hanya saja dalam sejarahnya, memang ada golongan yang disingkirkan dan tidak diberi hak pilih, misalnya para budak, orang kulit hitam, dan perempuan. Ada semacam "trauma sejarah" bahwa jika ada pembatasan hak pilih, maka akan memutar jarum sejarah dan menimbukan penindasan dan ketidakadilan. Contoh terakhir bagaimana one man one vote merugikan sebuah negara adalah Brexit. Semua warga punya hak suara yang sama. Dan apa hasilnya, rakyat memilih keluar dari Uni Eropa, dan ini membuat ekonomi Inggris hancur. Segoblok itukah orang Inggris memilih untuk menghancurkan ekonomi mereka? Ya. Segoblok itu. Karena mereka disetir oleh media yang menakut-nakuti mereka. Dan golongan mana yang memilih Brexit? Golongan tua yang (maaf) tidak lama lagi masuk liang kubur, dan yang menderita adalah golongan muda, yang hidupnya masih panjang dan harus menderita karena Brexit. Intinya, tidak semua warga Inggris memiliki informasi dan rasionalitas yang cukup untuk memilih apa yang terbaik untuk Inggris, apakah bertahan atau keluar dari Uni Eropa. Sekian.
Pandji seakan2 mau bilang bahwa kalau satu golongan suaranya dihitung lebih, maka golongan itu pasti akan mendapatkan apa yang dia inginkan melalui suara itu. Padahal enggak. Coba bandingkan saja jumlah "profesor" dan jumlah "tukang kayu" yang ada di Indonesia. Timpang sekali. Jadi, mau tidak mau pelaku politik harus merangkuk semuanya, tidak hanya yang "banyak". Kenapa ada gagasan untuk menghitung suara profesor lebih banyak itu bagus? karena, utk gua, merekalah yang harusnya lebih "didengar" melalui suara mereka. Paling nggak, cara ini yang paling mudah dan cepat untuk meningkatkan peran pendidikan di demokrasi. One person one vote memang bagus, tapi di negara yang pendidikan demokrasinya sudah merata, yang bisa didapat dari pendidikan demokrasi. Tapi, di Indonesia, it's a disaster.
5:06 Biasanya golongan yang paling permasalahin *"One Man One Vote"* itu orang2 yang mendambakan khilafah. Hati mereka berisinya tentang runtuh nya utsmani sebagai kekhalfahan terakhir dan mengenang romansa nya masa2 itu. Padahal kalau dipikir2 utsmani itu sendiri tak lain bukan karena diruntuhkan oleh 1 pihak tertentu, sejak awal bahkan tahun 1800 itu sendiri utsmani udah rentan. Akibat dikuasai orang2 berlebihan wara' dari kalangan agama yang terlalu paranoid melaksanakan hidup mereka.
Justru bang pandji, One Person One Vote itu jadi masalah dan dibahas orang karena orang pada sadar bahwa sangat sulit meningkatkan kualitas pendidikan demokrasi di indonesia. Cara yang paling mungkin adalah mengarahkan kebijakan yang totalitas pro pada area akademis. Biarin aja kebijakan hanya full para akademisi. Biar jalan dulu dekade pro akademisi. Gaji guru jadi gede, riset dimana2. Titik muara jadi populer orang pada mau jadi akademisi. Setelah itu baru balikin lagi ke one man one vote. Pasti akan lahir akademisi yg sadar di generasi selanjutnya buat balikin ke One man One Vote. sekarang apa yg terjadi? kebijakan pro pengusaha dan penguasa yang dimana kebanyakan mereka kurang berpendidikan. Iya kurang selain mental bisnisnya yg sangat besar. Pebisnis itu mentalnya bisnis bukan mental akademis apalagi filosofis. Sisanya kebijakan pro pejabat karena muaranya disitu. Orang pada pengen jadi pns karena kebijakan pro pejabat dan pns. Orang pengen jadi pejabat , anak pejabat jadi pejabat. anak pejabat lagi di militer suruh resign nerusin politik ortunya jadi pejabat. Ya karena pro disitu. coba pro di akademis. akademis sejahtera dan kaya. Pada berlomba2 kesana. kita 40 tahun dikuasain ahli militer. sekian tahun sama politisi. sebentar sama akademisi. sebentar banget sama ulama. terusannya politisi semua sama mantan militer 2 periode. Biarin kebijakan pro akademisi. Gausah pro ke rakyat kecil gpp, biar muaranya ke akademisi dulu. Itu dulu. Pola pikir lu bang pandji seakan indonesia MAMPU ngebiayain pendidikan senasional. Seolah ini amerika yg udah maju. Kalau amerika nolak one man one vote jelas salah. Ini negara baru kemarin sore, mereka pengalaman demokrasi udah ratusan tahun.
Coba ngomong buruk nya Kaga semua orang memiliki kebijaksanaan dan kapasitas untuk memilih. Mau tau kenapa money politik disini masih kuat? Ya karena one man ini bisa dimobilisasi untuk vote karena dia kaga punya kebijaksanaan atas hak nya tersebut. Ada 1 orang yang memahami dan paham isu, tapi ada juga 1 orang yang kena money politik buat dimobilisasi. Bahkan gw liat yang sarajan pun masih bisa kena money politik kaya gitu Iya emang one man vote buat keadilan semua orang, tapi kalau pendidikan politik mereka berjalan. Udah tugas nya pemerintah dan parpol untuk pendidikan politik. Tapi parpol juga tau buat menang pemilu butuh popularitas, makanya banyak partai pake cara instant pilih "artis" buat pemilu
liat dikomen bnyak yg mempermasalhkan demokrasinya y, saya sependapat sih dengan bang panji, memang berat dan panjang buat "memperbaiki" pelaku demokrasi nya, tpi y wajib dilakukan... jgn ambil shortcut dengan serahkan dlm musyawarah para "pakar", krn para pakarnya juga blum tentu baik dan benar loh...jdi solusinya tugas mencerdaskan pelaku demokrasinya itu harus dilakukan oleh semua orang, dengan cara dan kemampuan nya masing2, mulai dari keluarga terdekat, di ajari cara memmilih pemimpin dan wakil rakyat yg baik dan benar, klo yg muslim y dengan kisi2 dari ajaran islam, y sah aja
PASTIKAN DULU DIRIMU, BAHWA NEGARA INI BUKAN NEGARA AGAMA, BUKAN NEGARA SEKULER, NEGARA INI BERKETUHANAN YG MAHA ESA DAN MUSYAWARAH MUFAKAT @pandjipragiwaksono Salam (kepal tangan keatas) MERDEKA!!!! MERDEKA!!! MERDEKA!!! dari BALI-Indonesia 'skip
Medan merdeka,pusat,barat,selatan, utara,timur,pertempuran bumi nusantara.satu orang satu konstitusi x 270 juta,petbedaan menjadi satu dalam ikatan pita merah putih.
Ini baru setuju! Kalaupun proesor punya hak multiple sedangkan mayoritas orang tidak mendukungnya, blm lagi "kekuatan militer" gaak akan jalan negara tuh jangan halu deh. Disparitas bukanya dibenahi ini malah di romantisasi kocak
Masalahnya bang, si profesor itu mampu menganalisa dan memberikan vote kepada calon pemimpin yg program kerjanya pro terhadap si tukang kayu. Tapi si tukang kayu mungkin tdk cukup kapasitas utk menganalisa pemimpin mana yg program kerjanya bagus bahkan utk dirinya sendiri.
Mayoritas di video ini bener kok, tapi masalah nya kalau one person one itu diterapkan at literal mean kepada whole population itu problematic. Masalahnya adalah gak semua orang itu peduli politik, mayoritas manusia itu bahkan gak tau siapa bupati/walikota yang sedang menjabat. Again, pembahasan beginian memang terlalu abstrak
One man one vote, kalo mayoritas votersnya Dumb yaaa pemenangnya bakal yang Dumb juga. Apalagi sekarang orang utk mendapatkan akses pendidikan sangat sulit, katanya seolah ini akan dilestarikan. Kudu diperbanyak dulu Orang dengan Pendidikan Tinggi agar yang menang nanti yang Smart juga.
yang jadi masalah soal one man one vote itu klo mnurut saya ya... "yang vote dari hasil berpikir dan yang vote karena bansos/bayaran itu sama2 dihitung satu" krna itu terjadi di daerah saya....... tapi blm ada solusi lain saat ini selain one man one vote....
one person one vote, suara tersalurkan, tapi ga sampai ke telinga wakil rakyar, rakyat tetap lapar, tidak sejahtera, dan terbelakang. one person one vote, variabel jadi banyak, negara jadi ga jelas, dan selalu ada yang jadi "puppeteer" menunggangi ketidakjelasan tersebut.
Masalahnya menurutku yaa ada di demokrasi itu sendiri bang, sistem ini bikin stabil. Kalo pendidikan rakyatnya bagus yaa stabil bagusnya. Kalo pendidikannya rusak yaa stabil rusaknya Negara yang bisa maju dengan cepat pasti demokrasinya gak demokrasi banget. Cenderung otoriter tapi dipimpin orang yang bijak, pintar dan takut akan Tuhan
one man one vote sangat optimis dengan semua pelaku demokrasinya bisa mengidentifikasi permasalahan hidupnya masing2 dan setidaknya bisa memilih orang yang mereka anggap bisa mencari solusinya. sayangnya saat ini kita bangsa dengan rata2 iq 78.49, sebagian besar akan salah mengidentifikasi masalah, dan cuma bakal mencapai solusi yang salah juga: bansos
ga masalah orang dari kalangan bawah ikut vote demi mememperjuangkan haknya, itu malah bagus artinya yg ikut berpartisipasi membangun negeri bukan cuma orang kalangan atas. yang jadi masalah, yg kalangan bawah ini, tanpa memandang pekerjaan atau pendidikan, mereka yg ga melek politik. one man yg masalah adalah one man yg ga melek politik, terima serangan fajar padahal merugikan 5 tahun bahkan lebih, milih pemimpin cuma dari tampilan, sibuk kerja cuma mau happy tanpa mikirin permasalah rumit politik, bahkan memilih karena 1 golongan atau fanatik terhadap personal calon, itu yang merusak. mereka dikasih pendidikan, beli tentu mau, bahkan kasiannya, belum tentu mereka sempat. bisa karena sibuk mengurus anak dan rumah atau urusan perut mereka besok makan apa. makanya one man one vote itu cacat.
sayangny kebanyakan kaum buruh memilih bukan karena kebutuhan mereka akan kebijkan upah yang layak, kemakmuran,dll tapi karena duit buat makan. itu yang buat rusak 1 man 1 vote. sedangkan kaum intelektual memilih karena membaca dan mengkritisi program-program yang akan dibawakan oleh calon pemimpin.
Parpol satu satunya yg berhak mencalonkan pemimpin negara dari eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah itu masalahnya kalau parpolnya kurang bagus rekrutmen pemimpin kurang bagus pemimpin yg di hasilkan kurang bagus perbaikan parpol dan tingkat pendidikan warga negara agar bisa memilih pemimpinnya secara rasional gitu bung Panji
gw agak ga setuju sama pandji soal ini. ya tentu betul one man one vote itu sesuatu ideal yg ingin kita capai, tapi konteks bapak2 itu ngeliat kondisi kita hari ini yang menyebabkan one man one vote menjadi celah yang bisa di "hack"
mau pinter, mau kagak, bobotnya sama (one person one vote), bayangkan banyakan yang mana, kemudian didorong milih pemimpin, berdasarkan mayoritas suara, sudah terbayangkan siapa yang menang, karena yang paling kemungkinan dipilih bukan calon berdasarkan gagasan isi kepala, melainkan hal lain.
cara pandji menitikberatkan tanggung jawab ke rakyat tidak sepenuhnya benar. memang benar masyarakat masih perlu banyak belajar. dan klo pun mayoritas masyarakat udh berpendidikan, tapi apa daya mereka karna memang sistemnya aja udah busuk. harus berjalan beriringan itu, perbaikan sistem dan perbaikan kualitas rakyat.
Tukang kayu bukan sembarang tukang kayu, tapi tukang kayu yang bisa membuat politik dinasti di sebuah negara awwoakwowkk
aduuhh kasian deh kalau gak ada bla bla blaa..
Lu bodo sebagai rakyat menerima aj
Yang pengen pak Panji ngobrol dgn Ust Felix Siauw soal one man one vote, kasih dukungan..
Mau liat dong
Seru kayaknya tuh
Pengen bang
Dukunglah
Gw dukung
Rilis bang. Orang berpendidikan sampai S1 saja belum tentu paham betul tentang cara kerja politik dan bernegara
s1 aja belum tentu paham, apalagi sma
@@smithydahlwinsen7659apalagi orang yg jelas2 udah di diagnosa sebagai odgj😂
Mereka msh bisa milih lhoo
@@smithydahlwinsen7659 iya bener banget yang S1 aja belum tentu paham apalagi yang ngga lulus SD
S1 pas lulus bingung, 4 tahun belajar apaan
Kebanyakan orang aja kadang belum paham nggak udah lihat latar belakang pendidikan nyata nya banyak orang niat pengen sekolah tinggi kan biar gampang dapat kerja
Gw setuju lu..One man one vote,, belum siap, bang
Utk sekarang (urgent) Gw stujunya ada strata dalam jumlah vote.
Profesor/pemuka agama : 3 vote
Mahasiswa : 2 vote
Org biasa : 1 vote
Yap..
One man one vote klo utk negara maju sih..
Gakmasalah..
La kita cma dibuat mainan doang..
Gw setuju bgt bang..
One man one vote,, blm siap.
Mnding dibuat strata aja..
Mahasiswa 2 suara
Biar pemodal2 politik nyekolahin pemilih mereka
Iya..ak wetuju
Sepemikiran ma saya mah..
Nemu komen cakep😂..
One man one vote gak bermutu buat sekarang ini
TERIMAKASIH MEMBER-MEMBER SEPUHKU.
SEMOGA KALO NGANTOR GADAPET MACET SEBULAN.
SEMOGA BISA BERAK DENGAN TENANG DI TOILET KANTOR YANG NYAMAN ITUH.
Sama sama 🔥
@@gigilu5792Lucu juga anda
Indonesia tuh bangsa yg "kalo ada masalah teriak2 minta solusi, saat dikasih solusi dijawab dengan masalah yg lain lagi"
dan juga bangsa yang kalo dibilang "lu itu bermasalah" bukannya membenahi diri malah ngomong "lah yang lain juga bermasalah"
itu masalah internet dimana". klo tau english speaking spheres internet sama aja bego di "populasi" yg lebih gede, contradictorian cuma karna pengen beda, ga percaya vaksin dan medis, masalah scientific ngasih sumbernya jarang dari jurnal cuma dari newsletter dll.
One person one vote mutlak benar cuma pertanyaannya apa penguasa mau cetak lebih banyak orang yg berkualitas sebagai pelaku demokrasi.. Jangan sampai penguasa sengaja pelihara/dikte kualitas yang bakal segitu2 aja.
Lho emang itu justru yg di incer kan? bikin pemilih/penduduk yg minim edukasi biar gampang di setir tiap pemilu buat dulang suara?
Gak mutlak doong...
Klo one man one vote perbandingan panji profesor dengan tukang kayu itu masih benar dan bisa diterima selama kita berkelakuan baik..
Menurut gw One man one vote yg salah itu kenapa orang2 Napi di LP bisa ikut voting padahal udah jelas2 mereka itu koruptor, pembunuh, pemerkosa, pencabul, perampok.
Panji bicara keadilan yg beradab, lalu Apakah adil orang2 yg berkelakuan baik di masyarakat suaranya disamakan dengan mereka yg bermasalah di masyarakat..
@@panjul5071 memang yg di luar LP semuanya berkelakuan baik? misal, contoh yg lagi rame biar gampang, "pegi" dia diluar LP loh saat pemilu kemarin. Terus yg didalam LP apakah semuanya bermasalah? Misal, masih contoh yg sama, 8/7 orang pelaku kasus vina yg sudah di dalam LP, kalau trnyata nanti terbukti polda jabar salah tangkap? Mereka di dalam loh pas pemilu kemarin.
Di dalam pun ada masanya nanti keluar, apakah manusia dengan title "bermasalah" ini melekat seterusnya? Bolehkah vote?
@@SirGhefheLP itu isinya udah pasti 99% orang2 bermasalah, ya aneh klo mereka dpet hak pilih.. mereka itu didalem gk bayar pajak bro, tapi mereka bisa hidup makan dari pajak rakyat, itu artinya mereka gk berhak punya hak vote..
Tapi klo mereka udh keluar selesai dari masa hukuman, baru hak2 pilih mereka wajib aktif kembali..
Sama kaya ASN,TNI,POLISI hak pilih mereka dicabut selama masih aktif klo udh gk aktif bru punya hak pilih..
ini aneh orang2 di dalem LP yg statusnya masih tahanan tapi punya hak pilih..
Bang Pandji, lagi di Jakarta ga? Kalau iya, Gw mau ngundang nonton Musikal Keluarga Cemara, produksinya Visinema (gw MD nya) hehehee
Coba kontak ke Comika deh biar dibantu CP nya siapa.
gk ah
Kalo niat ngajak mah japri, kok malah komen youtube 😂
Inget ada teori :
"Kemiskinan dan kebodohan adalah ladang bagi penguasa yang tamak"
Tujuannya itu bang,
Selagi msih banyak yg miskin dan bodoh. One man one vote itu absurb😂
Gwa setuju..
Sependapat.
Keren pemikiran lu
Up..
Lu denger bang..
Ini pendapat bagus❤
Beneeerrr bgt pula
Upp...
Like this..
Kita semua bkal "djpelihara kemiskinan ma kebodohan"nya
Masalah ada pada demokrasi itu sendiri, karena dimanapun demokrasi berada sejatinya sistem ini dikendalikan oligarki dan para kapital
Oligarki tidak hanya ada di sistem demokrasi tapi segala sistem yang memiliki hirarki kepemimpinan.
Di sistem kerajaan, oligarkinya adalah keluarga bangsawan. Di sistem komunis, oligarkinya adalah elit partai komunis.
One man one vote itu sebenarnya ilusi. Emang bener setiap warga negara punya hak pilih, tapi yang menentukan siapa yang harus dipilih adalah lembaga negara bernama KPU. Bahkan partai politik yang boleh mengikuti proses di KPU harus mendapatkan restu menteri hukum dan HAM. Artinya elit politik lah yang menentukan peserta pemilu. Rakyat memiliki hak pilih yang terbatas.
Masalah terbesar nya adl prinsip KEDAULATAN DITANGAN RAKYAT..Monggo dicek pak Pandji
Nah bener nih
Sebab yg menentukan sbh hukum d regulasi dikembalikan kpda rakyat bukan kpda ayat
Ane setuju masalahnya di prinsip ini
Panji membela Professor / akademik yang berikan statement buruk kepada jokowi karena banyak nya perlinsos untuk kelas bawah.
Bahkan panji juga ikut curiga dengan statement nada hinaan bahwa banyak nya budget perlinsos itu untuk kepentingan election.
Di video ini panji membela hak kelas bawah yang suara nya juga sama dengan hak suara profesor.
Tolong panji berfikirlah yang logic dengan data data hal yang yang telah terjadi di Indonesia (ekonomi sosial politik budaya olahraga) :
1. Nilai Indonesia saat 2004 - 2024
2. Projeksi nilai Indonesia saat 2025 - 2045
Jika sudah diibandingkan dengan negara lain.
Maka :
1. Apakah Indonesia tidak berada di track yang benar menuju tahun emas 2045 ?
2. Point apa yang masih bisa di naikkan untuk mempercepat tujuan negara keadilan sosial untuk seluruh Indonesia tahun 2045 ?
Jika kerangka berfikir ini yang di lakukan, maka mansrea yang panji buat itu bukan lah lagi hanya obrolan warung kopi tanpa tujuan yang jelas.
"1 suara profesor = 1 org gila"
Ini bukan ungkapan untuk "org yg beda pendapat dianggap gila"
TAPI Ini beneran kejadian nyata loh bg panji
Kenyataan nya rumah sakit jiwa kemarin ikut nyoblos dan kalian tau deh siapa yg menang di semua rumah sakit jiwa tersebut 😂
Mungkin dia kaga tau
Yah terus kenapa? Jika seseorang bergelar profesor, apa dia mendadak gak punya blindspot? Justru orang berpendidikan tinggi biasanya spesialisasi di bidang tertentu, dan hasilnya malah tunnel vision.
@@lyq232 sesat pikir, lu pikir kalo orang pendidikan tinggi itu malah cuma melihat satu sisi? (gw gak ngomong profesor karena profesor bukan gelar akademis). Gw tetep berpatokan orang berpendidikan tinggi masih jauh lebih baik dari orang yang tidak berpendidikan. Secara kumulatif orang berpendidikan tinggi lebih sukses dari orang tidak berpendidikan.
Untuk menjadi orang berpendidikan tinggi orang perlu belajar tidak hanya satu ilmu, ada banyak ilmu terlibat tersebut. Termasuk menulis, sosialisasi, public speaking, negosiasi, dll. Sekarang lu bilang orang tidak berpendidikan lebih baik dari orang berpendidikan tinggi bahkan orang gila lebih baik dari orang berpendidikan tinggi?
Hahahah. Mengutip kata Pandji, "CUT THAT STUPID SHIT"
1 profesor yg cabul....dg....1 pemulung yg jujur
nilai DEMOKRASI bukan melulu soal akedemisi
@@rzkzkr20
dosen yg cabul.....dan....tukang becak yg jujur
nilainya gimana bro?
menganalogikan profesor butuh laboratorium dan tukang kayu butuh hak2 nya sebagai tukang kayu mungkin kurang tepat. Profesor dengan ilmu pengetahuan dan kecerdasan berpikirnya "mungkin" lebih mempunyai kemampuan untuk mengupas dan menilai seorang calon presiden berdasarkan kapasitasnya apakah layak dan mampu mengemban tugas yang sangat rumit dan kompleks mulai dari urusan ekonomi, ketahanan pangan, teknologi, industri pertanian,pendidikan,kesehatan penegakan hukum, dll. dan Seandainya jika pemilu hanya melibatkan profesor2 mungkin terlihat tidak adil dalam kesetaraan kesempatan hak untuk berpartisipasi memilih pemimpin, tapi faktanya untuk saat ini dampak dari ketidaktahuan mayoritas masyarakat tentang idealnya seorang pemimpin justru melahirkan pemimpin yang gagal dalam menghadirkan hak kesetaraan dan kesempatan di banyak aspek
Yg penting Tukang Kayunya Bukan Jokowi. Soalnya Jokowi bikin Dinasti bukan bikin Mebel lagi.
ini perlu dirilis bang, karena ilmunya bagus banget
Dalam Islam ada gugus tugas namanya ahlul hal wal aqdi dan itu dikenal dlm politik islam..nah, gali lebih dalam bareng UFS bang Pandji
masalahnya adalah walaupun pendidikan dinegara ini sudah bagus (yang mana untuk saat ini masih blm) sdmnya itu tidak akan merata, apalagi negara ini sangat luas.
menurut saya karena one person one vote itu yang membuat politik uang mudah sekali dilakukan, dan menurut saya untuk saat ini one person one vote kurang tepat dilakukan dinegara tercinta ini.
Lebih tepatnya adalah: sistem demokrasi saja dari dasarnya sudah bermasalah. Ditambah lagi dengan kualitas manusia Indonesia zaman sekarang yang sudah rusak, jadi mau dikasih sistem politik apapun ya ujung-ujungnya tetap aja bermasalah.
panji mau mengalihkan masalah dari one person one vote ke pendidikan atau ke pelaku demokrasi, padahal masalah memang ada di demokrasi nya itu sendiri, mau kapan pendidikan bisa beres sedangkan vote ada tiap tahun dari mulai pilkades sampai pilpres. Sedangkan tiap vote para calon butuh dana yang mereka ini akan meminta pada sponsor, dan para sponsorny adalah para kapitalis. Emang mau para kapitalis rakyat cerdas dengan pendidikan yang berkualitas? YA GAK LAH!
Setuju. Masalahnya ada di demokrasi elektoral, di mana kita memilih pemimpin dengan one man one vote. Ini bukan demokrasi murni. Demokrasi murni seharusnya dijalankan dengan undian, di mana kita, ya artinya gua dan elo, secara bergiliran duduk di kursi pemerintahan. Jadi kita semua memiliki kemungkinan yang sama untuk duduk di pemerintahan. Yang menentukan apakah kita bisa jadi pemimpin hanyalah undian, bukan koneksi apalagi keluarga.
Apakah ada kemungkinan terpilih pemimpin yang buruk? Tentu saja. Tapi kalau sebagian besar rakyatnya berkualitas, kemungkinan besar akan terpilih pemimpin yang baik. Kalau sebagian besar rakyatnya hancur, ya gitu deh. Karena demokrasi tidak menjamin munculnya pemimpin terbaik, melainkan "getting the leader that they deserve". Karena pemimpin diambil dari rakyatnya sendiri.
Apakah ini sistem yang terbaik. Masih panjang ceritanya, tapi paling tidak inilah esensi demokrasi sesungguhnya. Demokrasi elektoral sekarang sejatinya hanyalah sebuah tragedi karena rakyat yang punya kuasa menyerahkan kekuasaanya pada hari pemilu kepada pemimpin terpilih.
Mungkin argumen penolakan terhadap one person one vote terbilang cukup disproporsional karena kebanyakan orang yang milih di pemilu kemarin cenderung tidak melihat gagasan yang terukur. Jadi kaya ada semacam ketimpangan antara pemilih yang mempertimbangkan gagasan yang terukur dengan satu gagasan lain yang konkret, namun kurang terukur. Hasilnya ya beberapa orang jadi bingung, apakah masyarakat Indonesia pada umumnya punya pemahaman tentang sebuah gagasan.
kenapa ada gagasan yang terukur dan gagasan konkrit kurang terukur?
Sepakat!!!! begitu banyak orang yang kita kenal pintar justru mengkhianati kita. Permasalahan kita itu jelas bukan karena one man one vote, karena terbukti orang-orang pintar juga banyak yang bisa dibeli suaranya.
Sebenarnya rasa empati kita yang kurang, saat pemilihan kita cendrung memikirkan diri kita sendiri. bersikap abai, bahwa suara kita bisa berpengaruh untuk masa depan orang lain.
tapi bukannya fakta di lapangan orang miskin yang banyaknya dibeli suaranya?
@@saveandshare1138 betul sekali, komen diatas cuma ingin "menghibur" diri sebagai orang yang tidak berpendidikan dan kebencian terhadap orang pintar. Buktinya secara kumulatif orang yang bisa dibeli suaranya adalah orang miskin dan tidak berpendidikan.
Karena one person one vote adlh CARA yg SALAH/JAHAT dlm rekrutmen pegawai, maka
TIDAK ADA Perusahaan yg MAU menggunakan CARA one person one vote dlm rekrutmen PEGAWAI tuk dipekerjakan a.l: sbg Pimpinan Pegawai, dll, termasuk tuk menjd NAHKODA
Hal ini a.l agar:
jangan sampai KAPAL (Negara) itu KARAM/HANCUR atau TIDAK MENCAPAI TUJUAN atau MENGANCAM KESELAMATAN seluruh orang yg ada didlm kapal (negara) tsb
Itulah sebabnya, berbagai macam TEST, termasuk test KEMAMPUANNYA, KETERAMPILANNYA dan PENGETAHUANNYA tentang tujuan2 KAPAL (Negara) itu berlayar (dijalankan), dll itu
SANGAT DIBUTUHKAN sebelum KAPAL (Negara) itu diserahkan kepada orang yg terbaik nilai dari hasil TESTNYA (yg tepat)
Yakinlah, bahwa TIDAK semua orang itu MAMPU menjalankan tugas n kewajibannya dg baik n benar sbg Presiden RI, Wklnya, Menteri Negara, Kep. Daerah, Wklnya, atau anggota Legeslatif, dll, yg
lebih banyak MENGUNTUNGKAN bangsa n negara RI sebelum ada BUKTI AWAL secara tertulis dari hasil TEST kemampuan/keterampilan, dll yg diikuti oleh se-banyak2nya CALON PEGAWAI
Ma'af jika saya salah
Nyatanya suara "orang gila" itu beneran kehitung bang 😂
yang salah tuh kualifikasi jadi pejabat terlalu mudah, masa cuma kualifikasi umur doank. Jadi dokter aja harus ada kualifikasi yang tinggi, masa jadi pejabat cuma pake kualifikasi umur. Semoga kedepan ada kualifikasi yang tinggi buat pejabat karena kalo pilihannya berkualitas semua, maka mau siapapun yang vote tetep berkualitas karena pilihannya semua berkualitas.
Bener, bayangin Marshell yg eks anter jemput lonte, sabu, pembeli bokep terus hoki di 5 taun terakhirnya... Jadi populer... Dan tiba2 disokong partai pemenang presiden buat cawalkot. Ini yg bener2 gila
Dapat rekomendasi dari partai itu kualifikasi yang berat loh. Dan kalau mau fair, di Jepang kualifikasi untuk jadi gubernur tokyo aja jauh lebih mudah di banding jadi gubernur Jakarta
One person one vote adalah hak asasi manusia. Dalam pemilihan pemimpin, one person one vote jadi ajang perniagaan suara
Jualan ham , basi keles
@@561-m3sorg banyak bacot gini klo hak nya dah diambil baru nangis.
1 man 1 vote = makin banyak orang2 "tidak cerdas" makin bagus untuk penguasa.
Cukup dg beberapa ratus ribu + sembako sdh cukup utk melanggengkan kekuasaan 😂😂
bang Pandji,undang guru gembul bang
One man one vote gak cocok untuk negara yg pendidikannya gak merata😅
Ya berarti pendidikannya diratain, bukan OMOV-nya diapus.
sistem OMOV masih yg terbaik utk pilih pemimpin
idealnya
partai politik yg ambil momen TEKNOKRASI/kualitas
rakyat itu ambil momen DEMOKRASI/suara
Memilih pemimpin dgn memilih wakil rakyat itu mesti jelas bedanya mas Panji..ngibrol deh dgn ust Felix
Bole juga tuh
Lah iya bang Pandji kurang rinci soal itu
Nah itu dia, pilih pemimpin itu ada tata caranya dlm Islam..koq malah pake cara demokrasi yg berasal dari Barat
memilih pemimpin bukannya agama Islam punya aturannya..
Ane pikir bgitu, harusnya bisa mbedakan
Gimana kalo S1 keatas vote nya 2 😂 SMA kebawah vote nya 1.
Emang yg S1 udah pasti lebih berakal & pham dengan politik dll dari pada yg cuma lulusan SMA ? 🤣🤣
@@TheTrikai ya balikin lagi... Emg udah pasti SMA lebih paham dari sarjana? 😅 Tapi satu yang pasti Di Kampus iklim politik dan demokrasi itu lebih kental. Makanya hampir 100% politisi itu berangkat dari kampus, organisasi kemahasiswaan macam BEM, HMI, KAMMI, PMII, KMHDI, PMKRI, GMNI, LMND, IMM, DLL. Tokoh² nasional macam Pak Ganjar, Anies, Risma, Mahfud, JK, Fahri Hamzah, Budiman dll. Lahir dari organisasi² tsb.
DEMOKRASI yg diartikan one person one vote itu dalam REKRUTMEN PEGAWAI untuk DIPEKERJAKAN sbg a.l
Presiden RI, Wklnya, Kep. Daerah, Wklnya, anggota legeslatif itu JELAS SALAH, sebab
coba bayangkan KESELAMATAN anda n para PENUMPANG lainnya, bila
untuk jadi PEGAWAI yg DIPEKERJAKAN sbg NAHKODA atau PILOT yg mengangkut penumpang yg jumlahnya tidak lebih banyak dari jmlh penduduk yg ada di P. Jawa itu juga menggunakan ONE PERSON ONE VOTE?
Ma'af jika saya salah
SATU ORANG SATU SUARA ITU TANDA DEMOKRASI BERJALAN BAIK. TAPI KALO YG TERJADI "SATU/LEBIH SUARA DITENTUKAN OLEH SATU ORANG ITU BERMASALAH".
dgn faktor money politik,intimidasi,ancaman dll
bahkan Socrates gak setuju dg 1man 1vote, karena kualitas warga negara gak sama. karena itu saya mengusulkan vote based on quality.
S3: 7vote
s2: 6vote
s1/D4: 5vote
D1-D3: 4vote
SMA/sederajat: 3vote
SD-SMP/sederajat: 2vote
tidak sekolah: 1 vote
orang gila dan napi dg hukuman 5tahun/lebih: 0 vote
"Masyarakat yang BODOH, akan memilih pemimpin yang BODOH." ~Plato.
Makanya sistem demokrasi saat ini tidak sesuai dengan rakya dengan IQ dibawah 130 atau rata2 masih 78. Perlu effort untuk bisa mencerdaskan masyarakat supaya mencapai batas minimal rata2. Pertanyaanya, seberapa merusak kebodohan itu terhadap suatu negara?
Kritik thd Demokrasi sistem 1 man 1 vote itu bukan pemikiran baru ji.. Tapi udah dari jaman Yunani Kuno. Tokoh pemikir spt Socrates, Plato, dkk menganggap Demokrasi dgn sistem 1 man 1 vote itu adl sistem pemerintahan TERBURUK, hanya lebih bagus sedikit dari tirani otoritarianisme. Jadi ini bukan sesat pikir yg seolah2 baru ditemukan si bapak berpendidikan itu kemarin sore pas duduk di WC.
_"In Plato’s Republic, Socrates depicts democracy as nearly the worst form of rule: though superior to tyranny, it is inferior to every other political arrangement. Aristotle classifies democracy, along with oligarchy (rule of oligoi - the few) and tyranny, as a deformed constitutional arrangement."_ (Greek Democracy by Richard Kraut, Northwestern University)
Socrates sendiri mati karena menerima hukuman dgn sistem juri (1 man 1 vote), saat dia diadli atas tuduhan ajaran sesat (pada waktu itu dia mengajarkan ke anak muda Yunani utk berhenti menyembah dewa2 kuno).
_"Crucially, Socrates was not elitist in the normal sense. He didn’t believe that a narrow few should only ever vote. He did, however, insist that only those who had thought about issues rationally and deeply should be let near a vote. We have forgotten this distinction between an intellectual democracy and a democracy by birthright. We have given the vote to all without connecting it to wisdom. And Socrates knew exactly where that would lead to a system the Greeks feared above all, demagoguery."_ (Why Socrates Hated Democracy, Wold History)
Socrates mengibaratkan negara itu sbg kapal di tengah lautan, penduduk negara adl penumpang & awak kapal, dan pemerintahan itu sbg navigatornya. Nah, jika penumpang & awak kapal akan memilih navigator, mana yg lebih masuk akal? Semua penumpang & awak kapal, baik yg mengerti & berpengalaman soal navigasi & tata kelola kapal maupun yg tidak mengerti sama sekali, boleh voting - atau hanya sebagian yg betul2 mengerti & berpengalaman saja yg boleh voting?
Pemikir spt Socrates, Plato, Aristoteles, dkk menganggap alternatif yg kedua adl yg baik.
Kayanya yg dimaksud bapak2 dlm video ini coach Justin deh 😅
Belio kan selalu kritik corrupt-nya sistem di UEFA, yg dalam votingnya menyamakan suara klub gede spt Man City, Madrid, Barca, Juve dgn klub seperti Venezia, Watford, Zaragoza
Bang bahas kominfo dong
Saya apresiasi Bang, tp untuk sekarang kurang setuju..
Poinnya bukan profesor atau bukan, mungkin diksinya yang kurang tepat..
Lebih baik sebuah keputusan dipegang HANYA oleh orang yang kompeten mengurus semua bidang dan berpegang pada nilai2 norma dan hukum, dialah seorang PEMIMPIN yang dapat MEWAKILI
Sedangkan tidak semua orang mempunyai kompetensi untuk menjadi pemimpin
jadi one man one vote tidak lebih baik dibandingkan sistem perwakilan terpimpin
Saya coba mencoba memahami keresahan tentang kelemahan one man one vote ini. Ketika masyarakatnya belum berdaulat secara ekonomi, belum berdaulat secara pikiran maka mereka akan menganggap persoalan demokrasi ini menjadi irrelevant bagi mereka, sementara pemberian bantuan sosial akan terasa lebih nyata manfaatnya, ujung-ujungnya ya politik uang akan menjadi massive. Persoalan lain adalah pragmatisme politik para tokoh/calon pemimpin, termasuk parpol yang hanya mementingkan soal angka kemenangan akhirnya sekedar memanfaatkan masyarakat sebagai lumbung suara, tanpa upaya untuk mencerdaskan atau mendewasakan cara berpikir masyarakat.
Jujur saya semakin skeptis dan pesimis dengan daya kritisisme masyarakat kita. Gagasan tentang pembatasan terhadap siapa-siapa saja yang boleh terlibat dalam memberikan suara mereka untuk menentukan pemimpin bangsa ini kedepan itu layak untuk dipikirkan ulang (misal dengan argument orang gila suaranya dianggap tidak sah tadi).
Ide saya misal membatasi usia pemilih menjadi 21/22 tahun karena pada usia tersebut pemilih diharapkan sudah semakin dewasa dan lebih mampu melihat persoalan bangsa kedepan, apakah itu soal penciptaan lapangan kerja, issue pengangguran, perumahan, dan lain-lain.
Membatasi usia pilihan dari umur 23-67 tahun
Benarkah One Man One Vote Masalah Terbesar Demokrasi Indonesia? - Sebuah Analisis Komprehensif
### Ringkasan Argumen
**Pernyataan Awal:** Seseorang di Twitter, yang digambarkan sebagai orang dewasa terdidik, menyatakan bahwa akar masalah demokrasi Indonesia terletak pada prinsip "One Man One Vote". Ia berpendapat bahwa kesetaraan suara antara seorang profesor dan seorang tukang kayu, misalnya, adalah sumber masalah.
**Bantahan Narator:** Narator menolak argumen tersebut dan menegaskan bahwa "One Man One Vote" bukanlah masalahnya, melainkan **kualitas pelaku demokrasi** itu sendiri. Ia menekankan bahwa sistem ini justru **krusial untuk mewujudkan keadilan dan keberadaban** dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia.
### Poin-poin Penting
Berikut adalah poin-poin penting yang dibahas dalam video:
1. **Kesetaraan Suara:** "One Man One Vote" menjamin kesetaraan politik dengan memberikan hak suara yang sama kepada setiap warga negara, terlepas dari latar belakang pendidikan, profesi, atau status sosial ekonomi.
2. **Keadilan dan Keberagaman:** Narator berpendapat bahwa sistem ini penting untuk mengakomodasi keragaman Indonesia. Jika hanya segelintir orang terdidik yang memegang kendali, aspirasi dan kebutuhan kelompok lain akan terabaikan.
3. **Musyawarah Mufakat vs. Voting:** Narator membantah anggapan bahwa sistem "One Man One Vote" bertentangan dengan prinsip musyawarah mufakat. Ia mencontohkan proses pengambilan keputusan di DPR yang mayoritas dilakukan melalui voting, bukan musyawarah mufakat.
4. **Pendidikan sebagai Solusi:** Narator mengakui bahwa kualitas pendidikan yang rendah dapat menjadi penghambat demokrasi. Namun, ia menekankan bahwa solusi bukanlah dengan menghapus "One Man One Vote", melainkan meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri.
5. **Bahaya Penyempitan Pandangan:** Narator mengkritik kecenderungan untuk melabeli orang yang berbeda pendapat sebagai "gila". Ia menekankan pentingnya menghargai perbedaan dan membuka diri terhadap beragam perspektif.
6. **Tanggung Jawab Kolektif:** Narator menegaskan bahwa perbaikan demokrasi adalah tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya pemerintah atau elite politik.
### Analisis Mendalam
Video ini menyajikan kritik tajam terhadap pandangan elitis yang merendahkan kemampuan rakyat dalam berdemokrasi. Narator dengan gamblang menunjukkan bahwa "One Man One Vote" bukanlah akar masalah, melainkan cerminan dari tantangan yang lebih besar, yaitu:
* **Ketimpangan Pendidikan:** Kualitas pendidikan yang rendah membuat sebagian masyarakat rentan terhadap manipulasi politik dan informasi.
* **Kurangnya Kesadaran Politik:** Rendahnya partisipasi politik dan minimnya pemahaman tentang hak dan kewajiban warga negara.
* **Budaya Politik Transaksional:** Praktik politik uang dan patronase yang menghambat terciptanya proses demokrasi yang bersih dan adil.
### Kesimpulan
Alih-alih mempertanyakan sistem "One Man One Vote", video ini mengajak kita untuk fokus pada akar permasalahan dan mencari solusi yang holistik. Peningkatan kualitas pendidikan, penguatan budaya politik yang sehat, dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat adalah kunci untuk mewujudkan demokrasi Indonesia yang lebih baik.
### Catatan Tambahan
* Video menggunakan bahasa informal dan gaya komedi untuk menyampaikan pesan serius dengan cara yang menghibur dan mudah dipahami.
* Narator secara aktif mengajak penonton untuk berpikir kritis dan terlibat dalam diskusi tentang demokrasi.
* Video ini relevan dengan konteks sosial politik Indonesia saat ini, di mana kualitas demokrasi masih menjadi perdebatan.
Woy Nji ... Ngomongin politik, lu gak sempurna tanpa ngobrol sama the one and only. ROCKY GERUNG.
Undang di Skakmat kayanya seru
Well, kalau bahasannya seperti itu, one man one vot juga bisa benar, DENGAN KONDISI. Misal yang boleh voting adalah profesor, yah gpp, tapi dengan kondisi, profesor itu memiliki standar moral yang mulia, tidak mementingkan golongannya sendiri, turut membantu profesi tukang kayu agar bisa go internasional dan pada akhirnya menguntungkan masyarakat secara menyeluruh.
Your argument sucks Pandji
Segala-galanya itu jadi mungkin dengan kondisi-kondisi tertentu
One person one vote kmren di gaung gaungkan karena abah kalah, plus setiap ada kebijakan aneh nyalahin pemimpinnya, padahal orng yg mimpin dulu anda yg pilih. Yg bener itu kalo bagus programnya di dukung klo salah ya di kritik. Dan jangan ngerasa ah kalo si A jadi pemimpin pasti Indonesia jauh lebih baik, inget selama ada presidential threshold ada. Itu SYULITTTTTTTT 😅😅
Bener, tukang kayu juga harus dibantu. Minimal jadi walikota. Maksimal jadi presiden. Bukan hanya profesor 🙏🏻🇲🇨
itulah kenapa one person one vote itu bukan menjadi masalah utamanya tapi orang orangnya, kenapa? ya karena orang gila dan orang bodoh diperbolehkan untuk memilih. Lebih lucunya lagi.... sorry to say untuk pendukung 02 sebelumnya. banyak suara/vote orang bodoh dan orang gila yang diconvert buat suruh dukung 02 sebelumnya ( Lu boleh cek beritanya 02 menang di beberapa tps orang gila di google, cari sendiri jangan malas. ) bukan berarti di 01 dan 03 tidak ada ya, mereka juga ada kok.
panji mau mengalihkan masalah dari one person one vote ke pendidikan atau ke pelaku demokrasi, padahal masalah memang ada di demokrasi nya itu sendiri, mau kapan pendidikan bisa beres sedangkan vote ada tiap tahun dari mulai pilkades sampai pilpres. Sedangkan tiap vote para calon butuh dana besar, yang mereka ini akan meminta pada sponsor, dan para sponsornya adalah para kapitalis. Emang mau para kapitalis rakyat cerdas dengan pendidikan murah yang berkualitas? YA GAK LAH!
trus mau gimana? suara diwakilkan? yang ngewakilin siapa? emang yang ngewakilin gak akan tergiur kapitalis?
Lingkaran setaan
Ini jadinya mirip kaya isu yg pernah panji bahas tentang pemilihan presiden lewat MPR aja kaya dulu. Paham ga sih kalo masalahnya suaranya bisa dibeli, yang diubah bukan siapa yang bersuara, tapi bagaimana seseorang bersuara. Kenapa setiap pemilu butuh dana besar, karena pemilihnya melihat dari siapa yang ngasih bantuan(ngeluarin duit) paling besar. Yang diubah bukan jumlahnya dikurangin, kalo gitu malah tambah gampang dibeli. Kalo pemilihnya ga melihat dari harta, pemilu ga akan butuh dana besar.
@@orangbiasa1257 sepemikiran bang, kok ya banyak yg gak bisa nangkep? Urusan sistem tata kelola kita itu udah gak ada masalah, masalahnya di pemegang jabatan & pelaksana yang pinter aja cari celah buat ngakali/ubah regulasi, sistemnya US atau Uni Eropa atau Jepang kalo diisi pejabat kita juga bakal jauh lebih bobrok
@@orangbiasa1257 ya itu masalahnya panji terlalu mensimplikasi persoala, dengan mengarahkan masalah ada pada pendidikan atau tingkat pendidikan pelaku demokrasi, padahal masalahnya justru ya demokrasi itu sendiri.
Esensi nya bkn bedain si profesor atau si tukang kayu, pak.. tapi proses pengambilan keputusan yg jd suara one man one vote itu yg jadi pembeda. Kalo profesor berpikir jauh dan lbh detail dibanding tukang kayu. Contoh aja dollar 16k itu yg kritis kira2 siapa? Profesor atau tukang kayu? Kalo tkg kayu mungkin mikirnya, dia belanja sehari2 pake rupiah, jd kgk ngaruh dollar mau brp pun. Beda sm profesor, sdkt byk pst paham ada pengaruhnya. Gituloh mas.. bkn subjek voter nya yg jd masalah, tp proses vote nya itu yg membedakan.
Banyak yang komen one man one vote, jadi ajang jual beli.
Emang ada jaminan kalau hanya diri suara profesor terus gak ada jual beli..?
Profesor juga "manusia" hey.
Yang jadi pejabat itu orang pintar juga, bukan orang goblok.
Kalau orang goblok gaakan bisa jadi pejabat. Bedanya cuma, cara mengunakan kepintarannya.
Berhenti beranggapan, bedain pintar sama jujur.
perlu dirilis biar bisa kasih paham orang2 berpikir serupa dengan bapak tadi
Mungkin lebih baiknya setiap orang diberi poin.
Misal, tukang kayu 1 poin,
pengusaha taat hukum & pajak 10 poin,
profesor yg kontribusinya besar bagi pendidikan 10 poin, dsb
Tp alasan *ARIE MAKE SENSE JUGA KETIKA FAIRNEES TIDAK DISELENGGRAKAN OLEH NEGARA Y GIMANA LAGI,TERLEPAS SDM S1 JA KURG DARI 8 PERSEN*
mau gk mau *POLITIC KOP SEKOP TERLALU BERAT DILAWAN BUAT KALANGAN BAWAH*
KEBUTUHAN DI ATAS SEGALA KLO KAUM BAWAH FAKTANYA,DAH GK URUS SIAPA YG JADI,YG PNTING SIAPA YG KASIH
6:55
Ini bener sih, tapi gak harus seluruh professor juga, minimal screening gak harus whole population terlibat juga
Sebenernya kita ini dilema antara mau kembali ke sistem Pra-Reformasi yang petahsn itu dipilih melalui MPR atau One Person One Vote yang semua population malah terlibat
bang. lokasi spesifik mens rea dimana. gua bingung nih mau beli tiket di jakarta atau bogor. lokasi bogor dimananya
Masalah ini juga sudah sering dibahas sama orang2 kantor kami ketika masa pemilu, karena di kantor kami tidak ada yang milih 02 tapi yakin 02 menang kalo one person one vote di Indonesia. Sama seperti yang Pandji bilang ini bukan masalah one person one vote, karena ini sebenarnya adalah potret demokrasi sebenarnya. Tapi di Indonesia orang-orangnya belum dewasa secara politik (selain rata-rata ber-IQ rendah), buktinya tidak ada yang mau tau program yang diusung oleh capres/cawapres (let alone oleh caleg). Mereka hanya melihat sosok, gimmick, dan tampilan bukan niatan dan isi otak makanya artis banyak duduk di parlemen.
One person one vote akan berfungsi sempurna ketika mayoritas orang setidaknya melek politik. Untuk sekarang tidak. Dan sebenarnya untuk sekarang saya juga gak ikhlas sih suara saya disamain sama orang gila bansos. Wkwkwk.
one person one vote bagus kalau SEMUA pemilih mengerti politik dan cara kerja demokrasi. apakah Indonesia sudah seperti itu? saya ragu
Bikin negara terlalu besar tuh susah
mending bikin negara yg lebih kecil dah
Lebih gampang diorganisir, pengawasan lebih mudah, konflik sosialnya bisa lebih sedikit, fokusnya lbh jelas
Bikin negara terlalu luas jadi susah sendiri manfaatnya juga gak ada ngapain coba
Sebaiknya Indonesia tuh di bubarin aja
Bubar... Bubar...
Agak bahaya pemikirannya Bang, karena dari apa yang dijabarkan seakan-akan mendiskreditkan “professor”. Seakan-qkan professor itu egoistis, fokus hanya riset. Padahal untuk menjadi profesor tidak hanya masalah riset (penelitian), melainkan juga melibatkan aspek pendidikan dan pengabdian masyarakat.
Maksud gue, seorang profesor itu secara ideal bukan hanya ahli di bidangnya, tapi juga punya mampu menjembatani keahliannya dengan kepentingan masyarakat.
Profesor itu banyak bidangnya juga (gua tau Bang Pandji tau akan hal ini), tidak hanya bidang sains dan teknologi. Tapi, ada juga di bidang sosial, seni, budaya, dan semua cabang ilmu.
tentu beda dong keputusan orang yang berilmu dan tidak berilmu.
bikin bangunan deh, kalo mengandalkan orang teknik sipil ya bangunan tentu hanya berfokus pda kekuatan bangunan. kalo hanya mengandalkan arsitek ya titik berat di fungsi dan estetik saja. kqlo hanya orang seni, mungkin bangunan hanya fokus pada aspek rasa, makna, dan estetik.
kombinasi dari berbagai keilmuan akan lebih mengakomodir banyak kepentingan. gua rasa ini maksud lo. tapi analogi yang lu gunakan kurang tepat.
Sistem 1 man 1 vote bagus, bisa memberi fungsi preventive kesemena-menaan eksekutif. Dengan syarat masyarakat cukup ilmu dalam membuat pilihan.
Sistem yang bukan 1 man 1 vote juga bagus, bisa memberi fungsi preventive supaya yang belum tercerdaskan tidak memegang kendali yang dikhawatirkan merugikan kepentingan bersama. Syaratnya, orang yang dipercaya memegang kekuasaan amanah.
Ga ada sistem yang total sempurna untuk suatu peradaban yang tidak sempurna dan dinamis.
Tapi yang pasti dengan ilmu (sesuai permasalahannya) akan mempermudah menghadapi segala permasalahan.
fakta masyarakat pedesaan banyak yg milih karena duit, dibandingkan gagasan. siapa yg berani kasih duit lebih banyak, dia yg dicoblos. mereka gatau dan gamau tau itu duit "modal" nyalon darimana dan bakal "balik modal" darimana. keluarga sepupu gue dapet hampir 1.5 juta anjir cash pilpres. ada yg berani kasih 200k per orang (4 org jadi dapet 800k), akhirnya kepilih sekarang. paslon lain yg dibawah itu ya gakepilih
one man one vote, tapi banyak banget "man" "man" yg milih bukan karena gagasan, bukan karena visi misi, tapi karena duit. jadinya sekarang ya siapa yg punya modal paling gede, dia yg bakal jadi. simpel
One person one vote mungkin ideal untuk sebuah sistem demokrasi. Pertanyaanya, apakah sistem ini ideal untuk kita saat ini?
Terus Belajar tanpa berharap kita yg memetik buahnya pernah dijelaskan sm pandji di sebuah podcast. Tinggal dulu2an mana dinastinya kuat duluan, atau masyarakatnya yg " pinter" duluan.
Kalo liat background sejarah ini bangsa, monarki aja ga sih..mental masynya juga gitu gsmpang sembah sujud sesuatu.
Gimana kalau syarat mengikuti pemilunya ditambah? Selain punya ktp ditambah juga Syarat minimal lulus SMA sederajat. Jadi kalo pengen ikut pemilu ya musti lulus SMA. Tentu pemerintah musti mendukung agar semua masyarakat dapat sekolah sampai SMA dulu. Jangan bhas kulliah dulu, cuma. tamatan SD aja masih banyak
analoginya jangan pake profesor om, profesor yg memang "benar" profesor itu cenderung hirarki teratas dari segala lingkup profesi-profesi yang melatarbelakanginya, hal ini meniscayakan keterwakilan suara pada profesor akan mewakili juga suara-suara dibawahnya. maksud saya, jika lingkup profesor memang untuk biaya riset2 dan segala tetek bengeknya, yg seperti itu biasanya demi keberlangsungan profesi dibawahnya juga agar mendapat pengetahuan yang lebih baik, jadi bisa menjadi kontradiktif dgn argumen om sendiri.
rada rumit memang, kalau profesor tidak dibela, lingkup mana lagi yang punya otoritas tertinggi dalam pendidikan? tapi tidak sampai situ, kadang ada juga "profesor" yang tidak sesuai harapan.
kalau memang dalam konteks yang mana yang lebih baik, yang terbaik itu menyesuaikan dengan keadaan. toh segala macam aturan jaman sekarang kan sudah lumrah berubah-ubah 😁
You are right, as well as wrong there, Panji.
One person one vote memang outputnya adalah keadilan, dan terutama sekali legitimasi. Hasil dari one man one vote harus diterima oleh semua pihak, dan oleh karena itu legitim. One man one vote memang adalah sistem yang paling memuaskan para pemilih.
Pertanyaannya, apakah ini adalah hasil yang terbaik? Belum tentu. Inilah yang dikritik Plato dari one man one vote. Bagaimana kita menentukan siapa yang menentukan nahkoda dari sebuah kapal? Apakah harus voting semua penumpang, atau kita serahkan pada orang yang paling mumpuni? Siapa yang tahu orang yang paling mumpuni membawa kapal? Apakah semua penumpang tahu siapa yang paling jago membawa kapal dengan selamat sampai ke tujuan. Tentu tidak. Hampir seluruh penumpang hanya "nurut" saja pada orang yang lebih tahu untuk memilih nahkoda. Bayangkan kalau para calon nahkoda kampanye di hadapan para penumpang dan "jualan" supaya dipilih jadi nahkoda. Mungkin yang menjanjikan gratis akan menang, dan belum tentu dia adalah nahkoda terbaik. Inilah kelemahan demokrasi sebagaimana dikritik oleh Plato.
Nah, untuk memilih nahkoda kapal saja berantakan, apalagi memilih kepala negara.
Di lain pihak, Panji benar, dengan mengatakan bahwa one man one vote akan berhasil, atau minimal lebih baik, jika para pemilih itu berpendidikan. Dan oleh karena itu, pendidikan adalah syarat utama untuk demokrasi, bahkan syarat mutlak menurut saya. Masalahnya adalah, syarat ini belum terpenuhi sekarang. Sangat sulit diharapkan bahwa rakyat akan memilih pemimpin terbaik, sebagai nahkoda untuk membawa kapal bangsa ini dengan selamat. Sebagian besar akan memilih pemimpin yang akan menyenangkan mereka, bukan mementingkan keselamatan bangsa. Makanya semua akan kampanye dengan jualan janji. Gak mungkin akan ada calon yang menang kalau ia mengkampanyekan program ikat pinggang secara nasional, karena orang tidak suka susah, walaupun itu untuk keselamatan bersama. Makanya makan gratis menang.
One man one vote juga bermasalah dalam perimbangan pusat daerah, makanya Amerika menggunakan electoral college untuk mengimbangkan daerah yang berpopulasi banyak dengan yang berpopulasi sedikit. Jika one man one vote dijalankan secara murni, maka kepentingan yang akan menang adalah kepentingan di daerah padat penduduk atau di perkotaan. Dan dalam kasus Indonesia, yang akan dimenangkan adalah kepentingan Jawa. Makanya Jawa adalah koentji.
Dan kritik saya yang paling keras pada one man one vote, adalah seolah cara ini adalah the ultimate goal. Demokrasi liberal yang diusung barat selalu menggaungkan ini. One man one vote adalah cara, bukan tujuan. Tujuan suatu bangsa adalah menjadi negara yang adil dan makmur, bukan negara yang one man one vote. Kalau bisa dicapai dengan one man one vote, ya silakan, tapi kalau tidak, ya cara lain juga gpp.
Diskriminasi dalam voting itu sebenarnya lumrah dan sudah kita jalankan. Orang yang belum 17 tahun dan belum menikah kan tidak boleh memilih. Jadi pembatasan hak pilih itu biasa saja sebetulnya. Hanya saja dalam sejarahnya, memang ada golongan yang disingkirkan dan tidak diberi hak pilih, misalnya para budak, orang kulit hitam, dan perempuan. Ada semacam "trauma sejarah" bahwa jika ada pembatasan hak pilih, maka akan memutar jarum sejarah dan menimbukan penindasan dan ketidakadilan.
Contoh terakhir bagaimana one man one vote merugikan sebuah negara adalah Brexit. Semua warga punya hak suara yang sama. Dan apa hasilnya, rakyat memilih keluar dari Uni Eropa, dan ini membuat ekonomi Inggris hancur. Segoblok itukah orang Inggris memilih untuk menghancurkan ekonomi mereka? Ya. Segoblok itu. Karena mereka disetir oleh media yang menakut-nakuti mereka. Dan golongan mana yang memilih Brexit? Golongan tua yang (maaf) tidak lama lagi masuk liang kubur, dan yang menderita adalah golongan muda, yang hidupnya masih panjang dan harus menderita karena Brexit. Intinya, tidak semua warga Inggris memiliki informasi dan rasionalitas yang cukup untuk memilih apa yang terbaik untuk Inggris, apakah bertahan atau keluar dari Uni Eropa.
Sekian.
Bang Pandji coba undang Ustadz Felix siauw di Skakmatch, bahas tentang One Man One Vote
Bahas kasus wartawan yg meninggal sekeluarga / rumahnya kebakaran sehabis nyelidiki kasus judol bang , sedih banget gua 😢
Pandji seakan2 mau bilang bahwa kalau satu golongan suaranya dihitung lebih, maka golongan itu pasti akan mendapatkan apa yang dia inginkan melalui suara itu. Padahal enggak.
Coba bandingkan saja jumlah "profesor" dan jumlah "tukang kayu" yang ada di Indonesia. Timpang sekali. Jadi, mau tidak mau pelaku politik harus merangkuk semuanya, tidak hanya yang "banyak". Kenapa ada gagasan untuk menghitung suara profesor lebih banyak itu bagus? karena, utk gua, merekalah yang harusnya lebih "didengar" melalui suara mereka. Paling nggak, cara ini yang paling mudah dan cepat untuk meningkatkan peran pendidikan di demokrasi.
One person one vote memang bagus, tapi di negara yang pendidikan demokrasinya sudah merata, yang bisa didapat dari pendidikan demokrasi. Tapi, di Indonesia, it's a disaster.
Jasa Skip Iklan 02:23
5:06
Biasanya golongan yang paling permasalahin *"One Man One Vote"* itu orang2 yang mendambakan khilafah. Hati mereka berisinya tentang runtuh nya utsmani sebagai kekhalfahan terakhir dan mengenang romansa nya masa2 itu.
Padahal kalau dipikir2 utsmani itu sendiri tak lain bukan karena diruntuhkan oleh 1 pihak tertentu, sejak awal bahkan tahun 1800 itu sendiri utsmani udah rentan. Akibat dikuasai orang2 berlebihan wara' dari kalangan agama yang terlalu paranoid melaksanakan hidup mereka.
Justru bang pandji, One Person One Vote itu jadi masalah dan dibahas orang karena orang pada sadar bahwa sangat sulit meningkatkan kualitas pendidikan demokrasi di indonesia. Cara yang paling mungkin adalah mengarahkan kebijakan yang totalitas pro pada area akademis. Biarin aja kebijakan hanya full para akademisi. Biar jalan dulu dekade pro akademisi. Gaji guru jadi gede, riset dimana2. Titik muara jadi populer orang pada mau jadi akademisi. Setelah itu baru balikin lagi ke one man one vote. Pasti akan lahir akademisi yg sadar di generasi selanjutnya buat balikin ke One man One Vote.
sekarang apa yg terjadi? kebijakan pro pengusaha dan penguasa yang dimana kebanyakan mereka kurang berpendidikan. Iya kurang selain mental bisnisnya yg sangat besar. Pebisnis itu mentalnya bisnis bukan mental akademis apalagi filosofis. Sisanya kebijakan pro pejabat karena muaranya disitu. Orang pada pengen jadi pns karena kebijakan pro pejabat dan pns. Orang pengen jadi pejabat , anak pejabat jadi pejabat. anak pejabat lagi di militer suruh resign nerusin politik ortunya jadi pejabat. Ya karena pro disitu. coba pro di akademis. akademis sejahtera dan kaya. Pada berlomba2 kesana.
kita 40 tahun dikuasain ahli militer. sekian tahun sama politisi. sebentar sama akademisi. sebentar banget sama ulama. terusannya politisi semua sama mantan militer 2 periode.
Biarin kebijakan pro akademisi. Gausah pro ke rakyat kecil gpp, biar muaranya ke akademisi dulu. Itu dulu.
Pola pikir lu bang pandji seakan indonesia MAMPU ngebiayain pendidikan senasional. Seolah ini amerika yg udah maju. Kalau amerika nolak one man one vote jelas salah. Ini negara baru kemarin sore, mereka pengalaman demokrasi udah ratusan tahun.
Coba ngomong buruk nya
Kaga semua orang memiliki kebijaksanaan dan kapasitas untuk memilih. Mau tau kenapa money politik disini masih kuat? Ya karena one man ini bisa dimobilisasi untuk vote karena dia kaga punya kebijaksanaan atas hak nya tersebut. Ada 1 orang yang memahami dan paham isu, tapi ada juga 1 orang yang kena money politik buat dimobilisasi. Bahkan gw liat yang sarajan pun masih bisa kena money politik kaya gitu
Iya emang one man vote buat keadilan semua orang, tapi kalau pendidikan politik mereka berjalan. Udah tugas nya pemerintah dan parpol untuk pendidikan politik. Tapi parpol juga tau buat menang pemilu butuh popularitas, makanya banyak partai pake cara instant pilih "artis" buat pemilu
liat dikomen bnyak yg mempermasalhkan demokrasinya y, saya sependapat sih dengan bang panji, memang berat dan panjang buat "memperbaiki" pelaku demokrasi nya, tpi y wajib dilakukan... jgn ambil shortcut dengan serahkan dlm musyawarah para "pakar", krn para pakarnya juga blum tentu baik dan benar loh...jdi solusinya tugas mencerdaskan pelaku demokrasinya itu harus dilakukan oleh semua orang, dengan cara dan kemampuan nya masing2, mulai dari keluarga terdekat, di ajari cara memmilih pemimpin dan wakil rakyat yg baik dan benar, klo yg muslim y dengan kisi2 dari ajaran islam, y sah aja
PASTIKAN DULU DIRIMU, BAHWA NEGARA INI BUKAN NEGARA AGAMA, BUKAN NEGARA SEKULER, NEGARA INI BERKETUHANAN YG MAHA ESA DAN MUSYAWARAH MUFAKAT @pandjipragiwaksono Salam (kepal tangan keatas) MERDEKA!!!! MERDEKA!!! MERDEKA!!! dari BALI-Indonesia 'skip
intronya keren banget, btw makasih para member😊
Medan merdeka,pusat,barat,selatan,
utara,timur,pertempuran bumi nusantara.satu orang satu konstitusi x 270 juta,petbedaan menjadi satu dalam ikatan pita merah putih.
Ini baru setuju! Kalaupun proesor punya hak multiple sedangkan mayoritas orang tidak mendukungnya, blm lagi "kekuatan militer" gaak akan jalan negara tuh jangan halu deh.
Disparitas bukanya dibenahi ini malah di romantisasi kocak
Bang hati2 kalo balik ke US, gw takut banget pas lu naik subway tiba-tiba ada yg nembak lu,, 😢😢😢😢😢, jangan lupa do'a terus y bang.
Masalahnya bang, si profesor itu mampu menganalisa dan memberikan vote kepada calon pemimpin yg program kerjanya pro terhadap si tukang kayu. Tapi si tukang kayu mungkin tdk cukup kapasitas utk menganalisa pemimpin mana yg program kerjanya bagus bahkan utk dirinya sendiri.
Mayoritas di video ini bener kok, tapi masalah nya kalau one person one itu diterapkan at literal mean kepada whole population itu problematic.
Masalahnya adalah gak semua orang itu peduli politik, mayoritas manusia itu bahkan gak tau siapa bupati/walikota yang sedang menjabat.
Again, pembahasan beginian memang terlalu abstrak
One man one vote, kalo mayoritas votersnya Dumb yaaa pemenangnya bakal yang Dumb juga.
Apalagi sekarang orang utk mendapatkan akses pendidikan sangat sulit, katanya seolah ini akan dilestarikan.
Kudu diperbanyak dulu Orang dengan Pendidikan Tinggi agar yang menang nanti yang Smart juga.
yang jadi masalah soal one man one vote itu klo mnurut saya ya...
"yang vote dari hasil berpikir dan yang vote karena bansos/bayaran itu sama2 dihitung satu"
krna itu terjadi di daerah saya.......
tapi blm ada solusi lain saat ini selain one man one vote....
one person one vote, suara tersalurkan, tapi ga sampai ke telinga wakil rakyar, rakyat tetap lapar, tidak sejahtera, dan terbelakang.
one person one vote, variabel jadi banyak, negara jadi ga jelas, dan selalu ada yang jadi "puppeteer" menunggangi ketidakjelasan tersebut.
Di Indonesia klo berbeda pandangan dengan Professor di sebut Dungu. Wkwkwkwk
Perlu dirilis
Masalahnya menurutku yaa ada di demokrasi itu sendiri bang, sistem ini bikin stabil. Kalo pendidikan rakyatnya bagus yaa stabil bagusnya. Kalo pendidikannya rusak yaa stabil rusaknya
Negara yang bisa maju dengan cepat pasti demokrasinya gak demokrasi banget. Cenderung otoriter tapi dipimpin orang yang bijak, pintar dan takut akan Tuhan
one man one vote sangat optimis dengan semua pelaku demokrasinya bisa mengidentifikasi permasalahan hidupnya masing2 dan setidaknya bisa memilih orang yang mereka anggap bisa mencari solusinya. sayangnya saat ini kita bangsa dengan rata2 iq 78.49, sebagian besar akan salah mengidentifikasi masalah, dan cuma bakal mencapai solusi yang salah juga: bansos
ga masalah orang dari kalangan bawah ikut vote demi mememperjuangkan haknya, itu malah bagus artinya yg ikut berpartisipasi membangun negeri bukan cuma orang kalangan atas.
yang jadi masalah, yg kalangan bawah ini, tanpa memandang pekerjaan atau pendidikan, mereka yg ga melek politik. one man yg masalah adalah one man yg ga melek politik, terima serangan fajar padahal merugikan 5 tahun bahkan lebih, milih pemimpin cuma dari tampilan, sibuk kerja cuma mau happy tanpa mikirin permasalah rumit politik, bahkan memilih karena 1 golongan atau fanatik terhadap personal calon, itu yang merusak. mereka dikasih pendidikan, beli tentu mau, bahkan kasiannya, belum tentu mereka sempat. bisa karena sibuk mengurus anak dan rumah atau urusan perut mereka besok makan apa. makanya one man one vote itu cacat.
sayangny kebanyakan kaum buruh memilih bukan karena kebutuhan mereka akan kebijkan upah yang layak, kemakmuran,dll tapi karena duit buat makan. itu yang buat rusak 1 man 1 vote. sedangkan kaum intelektual memilih karena membaca dan mengkritisi program-program yang akan dibawakan oleh calon pemimpin.
Gw agak sangsi kalau bang Pandji ga ngerti intensi dari pendapat si orang yang ngasih pendapat itu.
Kataku, klo mau ngobrol ttg ini klo ke indo ketemu ust Felix lagi dah bang. Silahkan berdiskusi perkara ini. Entah dikontenkan atau nggak
Parpol satu satunya yg berhak mencalonkan pemimpin negara dari eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah itu masalahnya kalau parpolnya kurang bagus rekrutmen pemimpin kurang bagus pemimpin yg di hasilkan kurang bagus perbaikan parpol dan tingkat pendidikan warga negara agar bisa memilih pemimpinnya secara rasional gitu bung Panji
One man one vote nya udah bener, cuman kita gak punya banyak pilihan. Apalagi yang bener2 mewakili suara kita.
gw agak ga setuju sama pandji soal ini. ya tentu betul one man one vote itu sesuatu ideal yg ingin kita capai, tapi konteks bapak2 itu ngeliat kondisi kita hari ini yang menyebabkan one man one vote menjadi celah yang bisa di "hack"
Bang serius nanya ..apa abangkuh masih percaya presiden terpilih adalah pilihan rakyat..?
mau pinter, mau kagak, bobotnya sama (one person one vote), bayangkan banyakan yang mana, kemudian didorong milih pemimpin, berdasarkan mayoritas suara, sudah terbayangkan siapa yang menang, karena yang paling kemungkinan dipilih bukan calon berdasarkan gagasan isi kepala, melainkan hal lain.
Demokrasi definisi bisa berbeda beda, kalau gitu siapa penguasa bisa sesuka hati mendefeni kan Demokrasi , melawan anggap radikal
cara pandji menitikberatkan tanggung jawab ke rakyat tidak sepenuhnya benar. memang benar masyarakat masih perlu banyak belajar. dan klo pun mayoritas masyarakat udh berpendidikan, tapi apa daya mereka karna memang sistemnya aja udah busuk. harus berjalan beriringan itu, perbaikan sistem dan perbaikan kualitas rakyat.
Bagaimana one man one vote tapi baru bisa vote kalau lulus SMA Dan sederajat?
Mencengkram,mencengkam
,menggemgam,meremat - remat,remuk,jadi bubuk,meredam,
membungkam suara kebebasan.
Bang Pandji ga takut dituntut orang gara-gara bikin kolesterol apa ya, tiap hari disuapin daging mulu.
3:50
Ke orang begini lebih baik tanya balik aja *"Terus Sistem nya harus gimana?"*