Islam dan Kebudayaan - Dr. Ngatawi Al Zastrouw, M.Si

แชร์
ฝัง
  • เผยแพร่เมื่อ 31 ธ.ค. 2024

ความคิดเห็น •

  • @albertia6937
    @albertia6937 3 ปีที่แล้ว +9

    Tiada berkesudahan kasih setia-Mu Tuhan
    Slalu baru rahmat-Mu bagiku
    Hari berganti hari tetap ku lihat kasih-Mu
    Tak pernah berakhir di hidupku
    Tuhan Yesus baik, sungguh amat baik
    Untuk selama-lamanya Tuhan Yesus baik

  • @rafiy7150
    @rafiy7150 3 ปีที่แล้ว +20

    muter muter ngab

  • @muhamadabdulaziz9560
    @muhamadabdulaziz9560 2 ปีที่แล้ว +2

    Definisi secara singkatnya ialah agama menurut para ahli sosiolog dan antropolog adalah kebudayaan yang mana adalah produk manifestasi dari manusia sedangkan agama menurut para ahli agama ialah produk dari tuhan. Dan bukan produk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia.

  • @Kanginoe
    @Kanginoe 3 ปีที่แล้ว

    nderek kyai... abah zastro 🙏🏻

  • @emerald_strawberry
    @emerald_strawberry 4 ปีที่แล้ว

    hadir gus....

  • @Koreabout
    @Koreabout 2 ปีที่แล้ว

    10

  • @emerald_strawberry
    @emerald_strawberry 4 ปีที่แล้ว +1

    Monday, 25 April 2011
    Eksistensi Islam Nusantara Telaah Terhadap Faham Keberagamaan NU - Gus Dur
    Oleh : Agus Sunyoto
    Penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, tapi juga yang paling tidak jelas (Ricklef, 2008). Padahal saudagar-saudagar Islam sudah masuk ke Nusantara sejak pertengahan abad ke-7 Masehi, yakni saat Ratu Simha berkuasa di Kalingga -- bertepatan dengan masa kekuasaan Khalifah Utsman bin Affan -- sebagaimana diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang (Groeneveldt, 1960). Yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara mestinya para saudagar Arab, yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum zaman Islam (Wheatley, 1961).
    S.Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Nusantara yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di Jawa yang disebut Loram atau Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk kronogram abad ke-10 Masehi diperkirakan sebagai bukti kebenaran berita tersebut. Akhir abad ke-13, Marcopolo yang kembali dari Cina lewat lautan ke Teluk Persia, mencatat bahwa di negeri Perlak saat itu sudah ada Saracen Merchants (pedagang-pedagang muslim), yang mendakwahkan Islam kepada penduduk. Penduduk setempat yang masuk Islam hanya sedikit saja di antara warga kota. Di pedalaman, penduduk masih hidup seperti hewan. Mereka masih memakan daging manusia (Hambis, 1955).
    Resistensi terhadap Islam yang terentang selama lebih dari delapan abad, sedikitnya terungkap dari catatan historiografi lokal. Dalam Kitab Musarar Babon Saka ing Rum yang dikutip dalam Primbon Ramal Djajabaja susunan R Tanoyo (1956), diungkapkan bahwa dalam usaha mengisi Pulau Jawa yang masih dihuni jin, siluman, brekasakan, dan berjenis-jenis makhluk halus, Sultan Al-Gabah, penguasa negeri Rum (istilah orang Jawa untuk menyebut Persia-pen) mengirim 20.000 keluarga muslim Rum ke Pulau Jawa di bawah pimpinan Patih Amirul Syamsu dan Jaka Sengkala. Mereka tinggal di Gunung Kendheng di pantai utara Jawa. Dikisahkan bahwa ke-20.000 keluarga muslim itu diserang makhluk-makhluk halus, banyak yang mati dan tersisa hanya 200 keluarga. Mendengar laporan itu Sultan Al-Gabah marah dan mengutus ulama., orang sakti dan syuhada ke Jawa untuk memasang “tumbal”. Salah seorang di antara ulama yang terkenal sakti adalah Syekh Subakir.
    Tahun 1405 Cheng Ho yang datang ke Jawa mencatat bahwa di Tuban, Gresik dan Surabaya terdapat masing-masing 1000 orang keluarga Cina muslim. Dalam tujuh kali muhibahnya ke selatan, belum ada catatan yang menunjuk bahwa Islam secara luas dianut oleh penduduk pribumi. Haji Ma Huan yang ikut muhibah Cheng Ho ketujuh pada 1433, justru mencatat bahwa warga pribumi Jawa masih kafir, memuja roh dan hidup sangat kotor (Hirth, 1966). Migrasi penduduk muslim terbesar terjadi antara 1446 - 1471, ketika negeri Campa terlibat perang dan dikalahkan Vietnam. Penduduk muslim Campa lari ke selatan dan menghuni pantai timur Sumatera dan pantai utara Jawa (Cabaton, 1981; Arnold, 1977).
    Kurang disambutnya usaha-usaha penyebaran Islam - yang disebarkan kalangan pedagang -- di sebagian besar wilayah Nusantara, dapat diasumsikan berhubungan erat dengan sejumlah faktor yang mengkendala, baik yang bersifat struktural, sosio-kultural maupun religi masyarakat. Kendala yang pertama-tama menghadang usaha-usaha penyebaran Islam, terletak pada belum ditemukannya metode dakwah yang tepat dari para Saracen Merchants (pedagang-pedagang muslim) asal Arab dan Persia untuk menembus kuatnya ajaran agama-agama yang dianut masyarakat Nusantara, yaitu agama Kapitayan, Hindu dan Buddha. Kedua, masyarakat Nusantara sebelum kehadiran Saracen Merchants adalah masyarakat yang sudah maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi melebihi Saracen Merchants. Ketiga, struktur masyarakat yang terstratifikasi dan menempatkan kedudukan pribumi sebagai orang agung (wwang yukti) di satu pihak dan kedudukan orang asing sebagai pelayan rendah (wwang kilalan) di pihak lain.
    *selanjutnya di kolom komentar*

    • @emerald_strawberry
      @emerald_strawberry 4 ปีที่แล้ว

      Jauh sebelum Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan - yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme -- yaitu agama yang memuja sesembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindera. Orang Jawa mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “ tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna ‘daya gaib’ yang bersifat adikodrati.
      Tu atau To adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. Tu yang bersifat Kebaikan disebut Tu-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Tu yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.
      Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut Tu atau To itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama berkait dengan kata Tu atau To seperti wa-Tu, Tu-gu, Tu-ngkub, Tu-lang, Tu-nda, Tu-nggul, Tu-k, Tu-ban, Tu-mbak, Tu-nggak, Tu-lup, Tu-rumbuhan, un-Tu, pin-Tu, Tu-tud, Tu-tuk, To-peng, To-san, To-pong, To-parem, To-wok, To-ya. Dalam rangka melakukan puja bhakti kepada Sanghyang Taya, penganut Kapitayan menyediakan sesaji berupa Tu-mpeng, Tu-mpi (kue dari tepung), Tu-mbu (keranjang persegi dari anyaman bambu), Tu-ak, Tu-kung (jenis ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti Tu-ngkub, Tu-nda, wa-Tu, Tu-gu, Tu-k (mata air), Tu-ban (air terjun), Tu-rumbuhan (pohjon beringin), TuTu-k (lubang gua, mulut). Orang-orang yang punya maksud melakukan Tu-ju (tenung) memuja Sanghyang Tu-nggal dengan persembahan khusus yang disebut Tu-mbal. Sementara untuk beribadah menyembah Sanghyang Taya langsung dilakukan di tempat bernama Sanggar, yaitu bangunan persegi empat dengan Tu-tuk (lubang ceruk di dinding sebagai lambang kehampaan Ilahi).
      Dalam bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di sanggar, penganut Kapitayan mula-mula melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap TuTu-k dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam Tutu-d (hati). Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep (memegang ke-aku-an diri pribadi). Proses Tu-lajeg ini dilakukan dalam tempo relatif lama. Setelah Tu-lajeg selesai, dilakukan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam tempo relatif lama. Lalu dilanjutkan posisi Tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya). Selama melakukan Tu-lajeg, Tu-ngkul, Tu-lumpak, dan To-ndhem dalam waktu berjam-jam itu penganut Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang Hampa) yang sudah disemayamkan di dalam Tu-tud (hati).
      Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (Tu-ah) dan yang bersifat negatif (Tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-Tu atau dha-Tu. Mereka yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah,gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh Pi, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-Tu atau dha-Tu, menyebut diri dengan kata ganti diri: Pi-nakahulun. Jika berbicara disebut Pi-dato. Jika mendengar disebut Pi-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut Pi-wulang. Jika memberi petuah disebut Pi-tutur. Jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh. Jika menghukum disebut Pi-dana. Jika memberi keteguhan disebut Pi-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut Pi-tapuja yang lazimnya berupa Pi-nda (kue dari tepung), Pi-nang, Pi-tik, Pi-ndodakakriya (nasi dan air), Pi-sang. Jika memancarkan kekuatan wibawa disebut Pi-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut Pi-tara. Seorang ra-Tu atau dha-Tu, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ra-Tu adalah citra Pribadi Sanghyang Tunggal.

    • @emerald_strawberry
      @emerald_strawberry 4 ปีที่แล้ว

      Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-Tu dan dha-Tu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-Tu yang dituntut keharusan fundamental memiliki Tu-ah dan Tu-lah, tidak bisa mewariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-Tu harus berjuang keras memperoleh Tu-ah dan Tu-lah, dengan tapa brata. Untuk membuktikan Tu-ah dan Tu-lah, seseorang mula-mula membuktikan diri mampu menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-Tu. Dengan demikian, ra-Tu adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan saktinya dalam memperoleh Tu-ah dan Tu-lah yang dimilikinya.
      Para Saracen Merchants yang mendakwahkan Islam di Nusantara tidak memahami ajaran Kapitayan yang menjadi mainstream kepercayaan masyarakat di luar keraton. Namun seiring kedatangan migran muslim asal Campa pada 1446-1471 yang ditandai kemunculan tokoh Syekh Hasanuddin di Karawang, Syekh Datuk Kahfi di Cirebon, murid Syekh Hasanuddin, Sunan Ampel di Surabaya, Raja Pandhita Ali Murtadho di Gresik, Sunan Bonang dan Sunan Drajat, keduanya putera Sunan Ampel, Sunan Giri murid Sunan Ampel, dan ulama asal Pasai, Gujarat, Malaka, Mesir, Maroko, dan Asia Tengah seperti Syekh Dara Putih, Syekh Siti Jenar, Sunan Gunung Jati, Syekh Maulana Maghribi, yang melanjutkan dakwah ulama pendahulu mereka seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim, Syekh Jumadil Kubro, Syekh Ibrahim Asmarakandi, Syekh Dada Pethak, dan Nyampo, terjadi asimilasi dan sinkretisasi antara ajaran Kapitayan dengan ajaran Islam (Atjeh, 1985; Atja, 1972; Lombard, 2005; Sunyoto, 2004; Saksono, 1995; Rinkes, 1996; Sofwan, 2000).
      Dengan kearifan para guru sufi yang disucikan - yang disebut susuhunan dalam konteks ajaran Hindu-buddha - Islam ‘dipribumikan’ lewat ajaran Kapitayan yang sudah dikenal masyarakat. . Itu sebabnya, Islam hasil dakwah ulama yang datang ke Nusantara pada pertengahan abad ke-15 itu, sarat ditandai istilah-istilah lokal keagamaan Kapitayan. Demikianlah, istilah-istilah Islam yang aslinya berasal dari bahasa Arab ‘dipribumikan’ mengikuti istilah-istilah Kapitayan seperti sebutan Susuhunan untuk menggantikan Syekh, Kyayi gelar kebangsawanan lokal kaum brahmana yang setara dengan gelar Sayyid, Habib, Syarif dalam Islam, Guru menggantikan Ustadz, Sembahyang menggantikan Shalat, Upawasa menggantikan Shoum, Selam sebutan untuk Khitan, Swarga menggantikan Jannah, Neraka menggantikan Jahannam, Bidadari menggantikan Hurin, Langgar yang diambil dari Sanggar Kapitayan tidak mengubah sedikit pun bentuk fisik bangunan termasuk perangkat bedhug, dan tradisi-tradisi keagamaan Kapitayan seperti Tumpeng, Tumbal, meyakini tu-ah benda-benda
      Menurut Soekmono (1959) yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia jaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan. Yang dimaksud kebudayaan purba dalam konteks itu adalah kebudayaan Malaio-Polinesia pra-Hindu yang oleh Prof Dr C.C Berg (1938) dan Pof Dr G.J. Held (1950) disebut animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki “daya sakti” dan kepercayaan terhadap arwah. Proses Islamisasi kebudayaan purba sebagaimana ditengarai Soekmono, adalah bukti asimilasi yang dilakukan para penyebar Islam pada pertengahan abad ke-15 yang sebagian besar berasal dari Campa yang belakangan dikenal dengan sebutan Wali Songo. Namun apa yang disebut Berg dan Held sebagai animisme dan dinamisme itu sejatinya adalah Kapitayan, termasuk sisa-sisa pemujaan Kapitayan terhadap wa-Tu, Tu-gu, Tu-ngkub, dan Tu-nda yang oleh kalangan arkeolog disebut Menhir, Dolmen, Punden Berundak peninggalan jaman Megalithikum (Hoop, 1932; Sunyoto, 2004).

    • @emerald_strawberry
      @emerald_strawberry 4 ปีที่แล้ว

      Pengaruh dominan dari para migran Campa ke Nusantara selain berupa asimilasi dan sinkretisasi ajaran Islam dengan Kapitayan, juga berupa asimilasi budaya Campa yang terpengaruh Syiah ke dalam tradisi keagamaan Islam di Nusantara. Salah satu tradisi keagamaan muslim Campa yang dianut di Nusantara adalah dianutnya kebiasaan untuk memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000, talqin, haul, pemuliaan terhadap ahlul bait, kenduri, peringatan maulid, rabu akhir bulan Safar, asyuro di bulan Muharram yang dijalankan masyarakat muslim Nusantara sejak perempat akhir abad ke-15 (Sunyoto, 2004; Cabaton, 1981; Simuh, 1988; Saksono, 1995).
      Asimilasi terhadap kepercayaan lama Nusantara yang terjadi dengan kepercayaan muslim Campa, terlihat dari keberadaan makhluk-makhluk halus yang diyakini hidup di sekitar manusia. Menurut Sedyawati (1994) kepercayaan orang-orang Majapahit terhadap makhluk halus terbatas pada makhluk-makhluk yang dianggap setengah dewa seperti “yaksha, raksasa, pisaca, pretasura, gandharwa, bhuta, khinnara, widhyadara, mahakala, nandiswara, caturasra, rahyangta rumuhun, sirangbasa ring wanua, sang mangdyan kahyangan, sang magawai kedhaton”, sementara kepercayaan orang Campa muslim meliputi berbagai jenis makhluk halus seperti gandharwa, kelong wewe, kuntilanak, pocong, tuyul, kalap, siluman, jin muslim, hantu penunggu pohon, arwah penasaran, dsb. Di dalam proses asimilasi kepercayaan itu, orang-orang muslim Nusantara selain terpengaruh oleh kepercayaan terhadap makhluk halus Campa juga terpengaruh takhayul khas Campa seperti percaya terhadap hitungan suara tokek, tabu mengambil padi di lumbung pada malam hari, menyebut harimau dengan sebutan “eyang” (Cabaton, 1981).
      Berdasar uraian di atas, jelaslah bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari berbagai negara di penjuru dunia seperti Cina, Campa, India, Persia, Arab, Mesir, Maroko, dan Asia Tengah, di mana masing-masing penyebar Islam tersebut membawa pengaruh kebudayaannya yang diasimilasikan dengan kebudayaan yang sudah ada di Nusantara, terutama kebudayaan yang berlatar kepercayaan lama Kapitayan. Proses asimilasi dan bahkan sinkretisasi ajaran agama sebagaimana terjadi di Nusantara, hanya mungkin terjadi ketika Islam disiarkan oleh kalangan ulama tasawuf yang sangat longgar dalam menyampaikan pemahaman agama kepada masyarakat dibanding ulama fiqih yang cenderung skripturalis. Itu sebabnya, James L. Peacock (1978) menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap ke dalam sinkretisme.
      Dengan mengetahui latar historis perkembangan Islam di Nusantara - yang sebagian kecil terpapar pada makalah ini - dapatlah difahami kenapa Islam di Nusantara memiliki corak yang berbeda dengan Islam yang ada di negara-negara lain terutama di Timur Tengah. Itu berarti, Islam Nusantara yang dicirikan oleh tradisi keagamaan yang khas, dalam rana sejarah merupakan Islam yang dibangun di atas pluralitas dan multikulturalitas agama-agama dan budaya antara bangsa yang berbeda satu sama lain. Ke-bhinneka-an amaliah peribadatan yang diterima sebagai keniscayaan tradisi keagamaan - dengan mengacu pada prinsip ushuliyah mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik - Islam Nusantara tumbuh dan berkembang dalam eksistensinya di tengah arus sejarah peradaban manusia.
      Dalam pasang dan surut perkembangan Islam di Indonesia telah terjadi pelbagai peristiwa yang terkait dengan kekurang-fahaman terhadap eksistensi Islam Nusantara yang dianggap penuh bid’ah, takhayul dan khurafat serta praktek-praktek syirik dari agama pagan. Untuk itu Islam Nusantara yang pluralis dan multikultural yang terbentuk oleh proses sejarah penyebaran Islam di Nusantara, oleh kalangan terpelajar berlatar pendidikan Barat sering disalah-fahami dan dipandang rendah sebagai Islam Tradisional yang dianut masyarakat pedesaan yang terbelakang dan tidak mampu memahami ajaran Islam secara benar. Usaha keras menggugat eksistensi Islam Nusantara, dilakukan secara sistematis oleh kalangan muslim yang berlatar pendidikan Barat dan sebagian lagi oleh muslim berfaham Wahabi melalui kritik-kritik dan isu pemberantasan penyakit TBC (Tachayul-Bid’ah-Churafat) yang merusak akidah umat Islam. Reaksi para ulama yang berusaha mempertahankan eksistensi Islam Nusantara dari serangan sistematis itulah yang pada tahun 1926 mewujud dalam organisasi sosial keagamaan Nahdlatoel Oelama’ alias NO (Gibb, 1932; Alfian, 1969; Noer, 1973; Maulana, 2007; Huda, 2007).
      Islam Nusantara yang secara formal diwadahi dalam organisasi keagamaan NO (kemudian ditulis NU karena perubahan ejaan yang distandarkan pemerintah - pen) dipandang sebagai Islam adat (costumary Islam), sedang Islam yang menggugat Islam adat disebut Islam revivalis (revivalist Islam) yang sering disebut dengan “Islam fundamentalis” atau “Wahabisme” (Kurzman, 1988). Seiring perjalanan sejarah, Islam Nusantara yang disebut Islam adat tetap menjadi aliran mainstream yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia sampai abad ke-21 ini. Dan secara representatif, citra Islam Nusantara yang memiliki latar belakang ke-bhinneka-an itu tercermin dari pandangan-pandangan, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan kongkrit yang dilakukan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sangat menghargai keberbedaan dengan kesadaran yang penuh toleransi, di mana citra itu melekat secara inheren kepada komunitas jama’ah maupun jam’iyyah yang disebut Nahdlatul Ulama.
      sumber : >>> *PESANTREN.BUDAYA.BLOGSPOT.COM*